



Lembaga Fobia Tawa
PADA pertengahan tahun 1990-an, Michael Titze melihat keanehan dari beberapa pasiennya. Tiap dengar suara orang lain tertawa, tiba-tiba saja mereka merasa cemas dan takut.
Setelah psikoterapis dari Jerman itu menyelidiki, gejala tersebut bukanlah social phobia atau social anxiety—tidak nyaman berinteraksi dengan orang lain.
Kasus yang Titze temui ini hal baru. Ia kemudian menamainya sebagai gelotophobia, dari bahasa Yunani gelos (tawa) dan phobos (ketakutan).
Buat orang-orang yang takut ditertawakan ini, suara tertawa ibarat tombol ‘ON’ untuk mendatangkan pikiran “yang tidak-tidak”.
Suara tawa bagi penderita gelotophobia merupakan hinaan, semacam tanda kalau ada yang salah dengan diri mereka, padahal tidak selalu demikian.
Penderita gelotophobia seringkali merasa semua tawa ditujukan pada dirinya. Yang sering terjadi sih justru sebaliknya; mereka saja yang sok-sok-an merasa (The Psychology of Humor: An Integrative Approach, 2nd edition – Martin & Ford, 2018, h.131-2).
Fast forward 30 tahunan kemudian, gelotophobia mulai masuk ke diskursus politik.
Senin (20/10/25), organisasi sayap Partai Golkar, Angkatan Muda Partai Golkar (AMPG), mendatangi Polda Metro Jaya. Mereka melaporkan akun media sosial yang diduga menjadikan Ketua Umum Partai Golkar, Bahlil Lahadalia, bahan untuk meme.
Kata mereka, meme yang menampilkan foto Bahlil itu telah menyerang pribadi, martabat, dan muruah “kakandanya”.
Makanya, mereka sampai berani menyatakan tidak cuma pembuat yang bakal diperkarakan, tetapi juga yang ikut-ikutan me-repost meme tersebut.
Butuh asesmen serta observasi profesional untuk membuktikan bahwa seseorang menderita gelotophobia. Namun, saya yakin cuma butuh akal sehat bagi rakyat untuk menilai gerak-gerik AMGP ini sebagai bentuk institutional gelotophobia.
Ada organisasi politik di negeri ini yang ternyata takut mendengar tertawaan publik—meski bukan secara spesifik ditujukan untuknya.
Tanah kita ini kebetulan suburnya minta ampun. Tanah kita bukan hanya rumah nyaman bagi beragam flora, tetapi juga institutional gelotophobia itu.
Terima kasih pada pupuk feodalisme yang masih tersisa hingga mampu menyuburkannya. Efeknya, pejabat publik diperlakukan ibarat orang suci, figur sakral, yang ditertawakan saja haram hukumnya.
Kenapa harus takut sama meme?
Dalam summer course “Humour, Satire, and Memes in Media” yang penulis ikuti di Masaryk University, Ceko, Juli 2025 lalu, meme sebenarnya hanyalah bentuk korektif kekinian.
Ia cuma model baru dari kartun, cerpen dan novel, pertunjukan komedi, sampai mural. Medium-medium itu lebih dulu populer untuk menyuarakan kritik pada elite.
Meme—terutama yang bersifat resistensi atau kritis—juga merupakan praktik dari demokrasi itu sendiri.
Pasalnya, medium humor ini punya sifat polyvocal. Artinya, lewat meme, beragam suara dan sudut pandang bisa tersalurkan (Internet Memes and Society: social, cultural, and political contexts – Denisova, 2019, h.35).
Meme sebenarnya bisa jadi arena dialog yang netral buat rakyat dan elite. Namun, institutional gelotophobia telah merusaknya.
Buat apa AMPG geram dengan uploader dan reposter meme Bahlil ber-caption “wudu pakai bensin”?
Kreator dan penyebar meme itu cuma menyuarakan ketidakpuasannya atas kebijakan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral yang menimbulkan kelangkaan bahan bakar minyak di pom bensin swasta, kemudian membungkusnya jadi hiperbola imajinatif, kok.
Begitu pula dengan meme Bahlil yang terbubuh tulisan “lempar jumroh dengan batu bara”. Itu cuma bentuk kreativitas sekaligus kejenakaan netizen yang mengaitkan imaji baru Bahlil yang agamis—setelah terpilih sebagai Ketua Dewan Pembina Masjid Dunia—dengan kebijakannya yang terlalu ramah terhadap industri ekstraktif.
Tawa yang muncul dari meme-meme itu hanyalah cara publik menagih pertanggungjawaban Bahlil sebagai pejabat publik belaka. Institutional gelotophobia sama sekali tidak dibutuhkan di sini.
Ah, tapi jelas susah melihat hal-hal macam itu secara jernih bagi lembaga yang sudah lebih dulu fobia terhadap tawa.
Tidak usah berekspektasi apa-apa juga ke depan. Mereka akan sibuk dengan tugas-tugas baru.