



Pemerintahan Berbasis Bukti
PRESIDEN Prabowo Subianto, pada saat sidang kabinet paripurna satu tahun pemerintahannya, menyatakan bahwa pemerintahan yang dipimpinnya adalah pemerintahan berbasis bukti, yaitu pemerintahan yang akan menjawab keraguan dengan kinerja yang bisa dirasakan, diukur, dan diverifikasi. Lontaran Presiden tersebut perlu dibaca sebagai sebuah komitmen dan gagasan.
Pemerintahan berbasis bukti lahir dari kesadaran bahwa pembangunan tidak dapat lagi disandarkan pada narasi pencitraan, laporan yang dipoles, atau angka-angka statistik yang menghibur. Ia menuntut verifikasi empiris atas setiap klaim keberhasilan, dan membuka ruang koreksi atas setiap kekeliruan. Dalam tatanan seperti ini, pemerintahan tidak lagi menjadi panggung untuk memperagakan prestasi, melainkan laboratorium untuk membuktikan komitmen.
Pemerintahan berbasis bukti menolak keangkuhan angka-angka tanpa makna. Ia bertanya dengan rendah hati, apakah rakyat benar-benar merasakan manfaat dari program yang diluncurkan? Apakah kebijakan publik berdampak pada kualitas hidup mereka? Apakah kesejahteraan yang dilaporkan benar-benar menyentuh yang paling miskin, paling terpencil, dan paling tidak berdaya? Pertanyaan-pertanyaan inilah yang membedakan pemerintahan berbasis klaim dari pemerintahan berbasis realitas.
Dalam paradigma berbasis bukti, kinerja pemerintah tidak diukur dari berapa banyak rencana yang selesai, tetapi dari berapa banyak kehidupan yang berubah. Pemerintahan berbasis bukti menuntut kejujuran epistemik, yaitu keberanian untuk menyebut kegagalan sebagai kegagalan, tanpa takut kehilangan muka. Ia mendorong para pengelola pemerintahan untuk berhenti sejenak dan bertanya, apakah kita benar-benar sedang berjalan di arah yang benar?
Pemerintahan berbasis bukti adalah pemerintahan yang menghargai proses belajar. Ia bersedia mengubah arah kebijakan ketika data menunjukkan kesalahan, dan tidak bersikeras mempertahankan kebijakan yang jelas-jelas tidak efektif.
Lawan pemerintahan berbasis bukti adalah pemerintahan berbasis klaim, yang biasanya terjebak pada obsesi untuk membangun citra. Laporan keberhasilan disusun untuk menyenangkan atasan. Indikator kinerja dipilih karena mudah dicapai, bukan karena relevan dengan kebutuhan rakyat.
Pemerintahan berbasis bukti juga memulihkan makna trust dalam relasi antara pemerintah dan rakyat. Presiden Prabowo dalam beberapa pidatonya selalu menyatakan bahwa di tengah era banjir informasi, rakyat tidak lagi mudah percaya pada klaim. Mereka ingin melihat, menyentuh, dan merasakan hasil kerja orang-orang yang mereka beri mandat kepercayaan.
Pemerintahan berbasis bukti bukan hanya soal evaluasi kinerja, tetapi juga perubahan paradigma berpikir. Ia menempatkan pengetahuan, riset, dan data sebagai bahan bakar utama pengambilan keputusan. Setiap kebijakan harus memiliki dasar ilmiah yang jelas dan mekanisme penilaian yang transparan. Sehingga, setiap rupiah yang dibelanjakan negara dapat dipertanggungjawabkan tidak hanya secara administratif, tetapi juga secara moral dan sosial.
Pemerintahan berbasis bukti adalah negara yang berjalan dengan kaki realitas dan menatap dengan mata kejujuran. Ia tidak sibuk membangun narasi kemenangan, tetapi menyiapkan sistem pembelajaran. Ia tahu bahwa pemerintahan bukanlah seni memamerkan capaian, melainkan seni menegakkan apa yang dirasakan oleh warganya.
Pemerintahan berbasis bukti tidak menutupi kekurangannya dengan angka yang direkayasa, tetapi menyampaikannya secara terbuka agar rakyat dapat ikut serta mencari solusi. Transparansi bukan tanda kelemahan, melainkan bukti bahwa negara mempercayai kecerdasan publiknya. Sebab rakyat yang mengetahui kenyataan apa adanya akan lebih siap berpartisipasi dan memberikan gagasan dibanding rakyat yang hanya disuguhi laporan keberhasilan yang direka.
Jika suatu kementerian, upamanya, belum mencapai target pembangunan, maka yang diperlukan bukan manipulasi data, melainkan keberanian menjelaskan mengapa dan apa kendalanya. Bisa jadi hambatannya bersumber dari faktor struktural seperti birokrasi yang lamban, tumpang tindih regulasi, lemahnya koordinasi antarlembaga, atau keterbatasan fiskal yang menghambat eksekusi program prioritas.
Atau, bisa juga karena faktor kultural, seperti rendahnya disiplin kerja, minimnya inovasi kebijakan, atau resistensi terhadap perubahan di tingkat pelaksana.
Keterbukaan atas kendala akan membuka ruang pembelajaran kolektif. Dari situ publik dapat memahami bahwa pemerintahan bukan sekadar mesin pencapaian, melainkan proses panjang mencari cara terbaik mewujudkan cita-cita bersama. Dalam gagasan pemerintahan berbasis bukti, pengakuan atas kekurangan bukanlah bentuk keputusasaan atau dalih untuk berlindung di balik permainan politik fatalistik, menyerahkan segala sesuatu pada nasib dan takdir. Justru sebaliknya, keterbukaan atas kekurangan merupakan titik awal dari upaya sistematis untuk memperbaiki dan mengejar yang belum tercapai.
Keterbukaan bukan sekadar mengakui bahwa target belum tercapai, melainkan mengundang publik untuk bersama-sama merumuskan langkah korektif. Pemerintah yang berani menatap kekurangan dengan jujur akan memetik dua kekuatan sekaligus, yaitu kepercayaan rakyat dan arah pembelajaran yang lebih tepat.
Pemerintahan berbasis bukti menolak cara berpikir fatalistik karena ia berorientasi pada perbaikan berbasis data, bukan takdir. Setiap kegagalan harus menjadi pelajaran, bukan alasan untuk menyerah. Dengan analisis yang jernih terhadap hambatan, pemerintah bisa menyusun strategi baru, menetapkan prioritas yang lebih realistis, dan memastikan bahwa setiap langkah perbaikan memiliki dasar yang terukur.
Rakyat yang Objektif
Dalam gagasan pemerintahan berbasis bukti, kejujuran dan keterbukaan pemerintah harus diimbangi dengan sikap objektif dari rakyatnya. Rakyat yang dewasa secara politik tidak menilai kinerja negara dengan prasangka apriori. Tidak menuduh sebelum melihat data, dan tidak menolak sebelum memahami konteks.
Objektivitas publik menjadi bagian penting dari ekosistem pemerintahan berbasis bukti. Karena hanya dengan keterbukaan dua arah, dari pemerintah yang jujur dan rakyat yang objektif, kepercayaan dapat tumbuh dengan sehat.
Selain mengkritisi yang memang belum optimal rakyat juga harus berani mengapresiasi kinerja pemerintah yang benar-benar berhasil. Kritik yang lahir dari pemahaman data jauh lebih berharga daripada tuduhan yang dibangun atas emosi, apalagi bias politik.
Dalam pemerintahan berbasis bukti, kebenaran tidak boleh dikaburkan oleh opini publik yang bias. Menjadi objektif berarti mengakui bahwa ada capaian yang nyata, ada pula pekerjaan yang masih berjalan, dan ada kendala yang sedang diatasi. Sikap rakyat seperti ini tidak meniadakan fungsi kontrol publik, justru memperkuatnya, karena kritik yang berbasis fakta akan mendorong kebijakan menjadi lebih akurat dan berdaya guna.
Dengan demikian, pemerintahan berbasis bukti bukan hanya tanggung jawab pemerintah, tetapi juga kedewasaan rakyat dalam menilai bukan dengan kecurigaan apriori.
Tag: #pemerintahan #berbasis #bukti