



Membaca Arah Amnesti dan Abolisi di Era Prabowo...
- Langkah Presiden Prabowo Subianto memberikan amnesti kepada Sekretaris Jenderal (Sekjen) PDI-P Hasto Kristiyanto dan abolisi kepada mantan Menteri Perdagangan Thomas Trikasih Lembong (Tom Lembong) menjadi sorotan publik.
Kebijakan ini menjadi keputusan hukum dan politik besar pertama Prabowo sejak dilantik sebagai Presiden, sekaligus menandai babak baru dinamika hubungan antara politik kekuasaan dan penegakan hukum di Indonesia.
Dua Keppres dalam sehari
Pada 1 Agustus 2025, Presiden Prabowo menandatangani dua Keputusan Presiden (Keppres) sekaligus.
Pertama, Keppres Nomor 17 Tahun 2025 tentang pemberian amnesti kepada 1.178 orang, termasuk Hasto Kristiyanto.
Kedua, Keppres Nomor 18 Tahun 2025 tentang pemberian abolisi kepada Thomas Trikasih Lembong.
“DPR RI telah memberikan pertimbangan dan persetujuan terhadap Surat Presiden Nomor R.43/PRES/07/2025 tanggal 30 Juli 2025 tentang permintaan pertimbangan DPR RI atas pemberian abolisi atas nama saudara Tom Lembong,” ujar Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad di Kompleks Parlemen, Kamis (31/7/2025) malam.
“Pemberian persetujuan dan pertimbangan atas Surat Presiden Nomor R42/PRES/07/2025 tanggal 30 Juli 2025 tentang amnesti terhadap 1.116 orang yang telah terpidana diberikan amnesti, termasuk saudara Hasto Kristiyanto,” sambung Dasco.
Hasto bebas lewat amnesti
Sekjen PDI-P Hasto Kristiyanto dibebaskan dari Rumah Tahanan KPK pada 1 Agustus 2025 malam, setelah menerima surat resmi amnesti dari Istana melalui Kementerian Hukum.
Sebelumnya, Hasto divonis 3 tahun 6 bulan penjara oleh Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Jakarta dalam perkara suap terkait Pergantian Antar Waktu (PAW) anggota DPR.
Dalam putusan itu, majelis menyatakan Hasto terbukti memberikan uang kepada eks Komisioner KPU Wahyu Setiawan untuk kepentingan politik partai.
Namun, dalam perkara perintangan penyidikan (obstruction of justice) terkait buronan Harun Masiku, Hasto dinyatakan tidak bersalah.
Setelah Keppres diterima, Hasto langsung meninggalkan rutan KPK sekitar pukul 21.23 WIB.
Ketua KPK Setyo Budiyanto menegaskan, keputusan amnesti merupakan kewenangan penuh Presiden sebagaimana diatur dalam konstitusi.
“Itu kewenangan Presiden sesuai Pasal 14 UUD 1945,” kata Setyo saat dihubungi Kompas.com, Kamis (31/7/2025).
Abolisi untuk Tom Lembong
Berbeda dengan Hasto, mantan Menteri Perdagangan Thomas Trikasih Lembong memperoleh abolisi, yaitu penghentian proses hukum secara penuh.
Tom sebelumnya divonis 4,5 tahun penjara dalam perkara dugaan korupsi izin impor gula periode 2015–2016.
Namun, dalam pertimbangan Presiden, tidak ditemukan niat jahat (mens rea) atau keuntungan pribadi dari kebijakan tersebut.
Melalui Keppres Nomor 18 Tahun 2025, Presiden menghentikan seluruh proses hukum dan menghapus akibat hukum terhadap Lembong.
Tom dibebaskan dari Rutan Cipinang pada hari yang sama dengan keluarnya Keppres.
Dari pihak Kejaksaan Agung, Direktur Penuntutan Jampidsus Sutikno menegaskan bahwa abolisi tidak berarti penghapusan kesalahan.
“Ini pemberian abolisi, ya. Bukan pernyataan tidak bersalah dan sebagainya. Tolong dipahami itu,” kata Sutikno saat ditemui di kawasan Kejaksaan Agung, Jakarta, Jumat (1/8/2025).
Menurut dia, abolisi hanya menghentikan perkara yang belum berkekuatan hukum tetap.
“Proses itulah yang dihentikan dengan segala akibat hukumnya. Itu sesuai dengan bunyi Keppresnya seperti itu,” kata Sutikno.
Alasan pemerintah dan kritik masyarakat
Menteri Hukum (Menkumh) Supratman Andi Agtas mengatakan, kebijakan pemberian amnesti dan abolisi didasarkan pada pertimbangan persatuan nasional dan stabilitas politik, sekaligus dalam rangka peringatan HUT ke-80 Kemerdekaan RI.
“Pertimbangannya sekali lagi dalam pemberian abolisi ataupun amnesti itu pasti pertimbangannya demi kepentingan bangsa dan negara, berpikirnya tentang NKRI. Jadi itu yang paling utama,” kata Supratman, dalam konferensi pers di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Kamis (31/7/2025) malam.
Meski sah secara hukum, keputusan ini memicu perdebatan luas.
Sejumlah pakar hukum dan kelompok masyarakat sipil menilai amnesti dan abolisi seharusnya diberikan untuk kasus politik, bukan perkara korupsi.
Ketua Umum Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) M Isnur menegaskan, pemberian amnesti atau abolisi kepada pelaku korupsi, sekalipun disertai syarat pengembalian kerugian negara, bertentangan dengan asas keadilan.
“Ini sangat bertentangan dengan prinsip di mana korupsi adalah kejahatan yang luar biasa sehingga tentu ini akan merusak rasa keadilan masyarakat,” ujar Isnur, saat dihubungi Kompas.com, Senin (23/12/2024).
Isnur menilai, kerugian akibat korupsi tidak bisa ditebus semata dengan uang.
“Kalau kerugian bukan dalam bentuk uang, bisa enggak dia (koruptor) mengembalikan lubang-lubang tambang yang sudah rusak? Bisa enggak mengembalikan banyak anak-anak yang meninggal gara-gara lubang tambang?” ujar dia.
“Dampaknya adalah membunuh nyawa banyak orang, orang enggak bisa punya pekerjaan, banyak orang kecelakaan akibat jalan ini korupsi, banyak orang enggak bisa sekolah,” tambah dia.
Isnur menilai, pemberian amnesti dan abolisi bertentangan dengan prinsip keadilan.
“Jadi, bertentangan dengan asas keadilan, dengan prinsip perlindungan warga negara. Itu bertentangan (amnesti untuk koruptor),” imbuh dia.
Upaya rekonsiliasi
Pakar Komunikasi Politik Universitas Gadjah Mada (UGM) Nyarwi Ahmad menilai, keputusan Presiden Prabowo memberi amnesti kepada Hasto dan abolisi kepada Tom Lembong sarat muatan politik.
“Keputusan presiden itu bukan sekadar punya dimensi hukum, tetapi pasti punya muatan politik, itu satu. Kedua, pasti punya implikasi politik. Yang ketiga, pasti punya pertimbangan politik,” ucap Nyarwi, dalam program Gaspol Kompas.com, Sabtu (9/8/2025).
Menurut Nyarwi, keputusan itu juga bisa dibaca sebagai upaya rekonsiliasi dan penataan hubungan politik.
“Katakanlah menata sesuatu yang dianggap Presiden perlu turun tangan. Menurut saya, ada hal-hal tertentu yang itu layak diberikan atau pantas dan bahkan mungkin harus (diberikan),” tutur dia.
Ia menyinggung pernyataan para pembantu Presiden yang menyebut kebijakan ini dilakukan demi persatuan nasional dan harmoni politik.
“Dari para pembantu Presiden, tokoh-tokoh yang ada di lingkaran istana itu misalnya (bilang) ini demi persatuan, katakanlah untuk menjaga harmoni, penting bagi rekonsiliasi dan seterusnya,” ucap dia.
Menurut Nyarwi, abolisi terhadap Tom Lembong juga dapat memperluas simpati publik terhadap Prabowo, terutama dari kalangan pendukung Tom yang kecewa dengan putusan pengadilan.
“Ini yang disebut membangun rekonsiliasi, persatuan, harmoni, itu di sana. Bukan sekadar ke elite saja,” kata Nyarwi.