



Desakan Reformasi Polri di Masa Setahun Prabowo-Gibran
- Kemarahan publik terhadap Polri memuncak pada akhir Agustus 2025 setelah seorang pengemudi ojek online, Affan Kurniawan, tewas setelah dilindas kendaraan taktis Brimob di Pejompongan, Jakarta Pusat, saat aparat melakukan pengamanan kericuhan.
Gelombang protes muncul. Para pengemudi ojek daring turun ke jalan, sementara sejumlah kantor polisi di Jakarta, seperti di Kwitang, menjadi sasaran amarah massa.
Peristiwa itu membuka kembali luka lama: kekerasan aparat terhadap warga sipil yang berulang, serta menurunnya kepercayaan publik terhadap kepolisian.
Dari sinilah isu besar yang lama terpendam kembali mengemuka yakni reformasi Polri.
Tewasnya Affan dan kekerasan aparat kepolisian terhadap masyarakat pada akhir Agustus 2025 menjadi pemantik desakan moral agar Presiden Prabowo Subianto melakukan reformasi menyeluruh terhadap institusi kepolisian.
Iring-iringan pengemudi ojek online (ojol) mengantarkan jenazah Affan Kurniawan ke TPU Karet Bivak di Jakarta, Jumat (29/8/2025). Jenazah pengemudi ojol Affan Kurniawan yang meninggal dunia usai terlindas mobil rantis Brimob saat Aksi 28 Agustus itu dimakamkan di TPU Karet Bivak.
Desakan reformasi Polri muncul lagi. Aspirasi publik yang dirumuskan aktivis dan pemengaruh dalam 17+8 memasukkan poin reformasi Polri sebagai aspek yang harus dipenuhi dalam tenggat sampai 31 Agustus 2026.
Reformasi Polri
Desakan agar Polri direformasi menguat setelah sejumlah tokoh lintas agama dan masyarakat sipil yang tergabung dalam Gerakan Nurani Bangsa (GNB) menyampaikan aspirasi langsung kepada Presiden di Istana Kepresidenan, Jakarta, Kamis (11/9/2025).
Mereka menilai, Polri perlu segera direformasi baik dalam struktur, budaya organisasi, maupun perilaku anggotanya agar dapat kembali memperoleh kepercayaan publik.
Tokoh-tokoh yang hadir antara lain istri Presiden ke-4 RI Sinta Nuriyah Abdurrahman Wahid, teolog Romo Franz Magnis-Suseno SJ, cendekiawan Muslim Prof M Quraish Shihab, dan kiai karismatik KH Ahmad Mustofa Bisri.
Pembentukan komisi atau tim reformasi Polri menjadi tuntutan utama GNB. Pendeta Gomar Gultom menegaskan, gagasan itu lahir dari keresahan masyarakat terhadap kinerja dan budaya di tubuh kepolisian.
Menteri Agama Nasaruddin Umar, yang turut hadir dalam pertemuan tersebut, mengungkapkan bahwa aspirasi GNB sejalan dengan konsep yang telah dirancang Presiden Prabowo.
“Ini gayung bersambut ya, apa yang ada dalam (Gerakan) Nurani Bangsa itu juga dalam nurani saya, kata Bapak Presiden. Jadi, harapan-harapan yang diminta oleh teman-teman itu juga malah sudah dalam konsepnya Bapak Presiden,” kata Nasaruddin.
“Jadi, istilahnya tadi itu gayung bersambut ya apa yang dirumuskan teman-teman ini justru itu yang sudah akan dilakukan oleh Bapak Presiden terutama menyangkut masalah reformasi dalam bidang kepolisian.” ucapnya.
Sebagai tindak lanjut, pada 17 September 2025, Presiden menunjuk Komjen (Purn) Ahmad Dofiri sebagai Penasihat Khusus Presiden Bidang Keamanan, Ketertiban Masyarakat, dan Reformasi Kepolisian. Langkah ini dinilai sebagai sinyal kuat bahwa reformasi Polri kembali menjadi prioritas nasional.
Menindaklanjuti hal tersebut, Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo membentuk Tim Transformasi Polri pada akhir September 2025. Polri mencanangkan agenda transformasi dan reformasi menyeluruh di tubuh Korps Bhayangkara.
Sigit menegaskan, reformasi Polri harus dilakukan dari dalam, bukan semata diserahkan kepada komite atau komisi bentukan Presiden.
“Jadi saya kira kalau kita enggak me-reform diri kita sendiri, tentunya seberapa hebat pun komite ataupun komisi yang dibentuk, orang-orang yang ada di dalamnya, kalau kita enggak mau me-reform kita sendiri ya percuma,” kata Sigit dalam program Rosi Kompas TV, Kamis (25/9/2025).
Ia menjelaskan, tim akselerasi dibentuk untuk menumbuhkan komitmen dan semangat yang sama di internal Polri agar siap melakukan transformasi dan perbaikan.
“Jadi justru dengan kita bentuk tim yang kemudian mempunyai semangat yang sama untuk melakukan reform, melakukan transformasi perbaikan, tentunya ini menjadi penting,” kata Listyo.
“Karena semangatnya ini kemudian menjadi sama dengan apa yang menjadi harapan dan kebijakan dari Presiden pada saat membentuk komite. Dan juga, saya pikir ini yang menjadi harapan publik,” ucapnya.
Sigit menekankan, niat baik dan keseriusan dari dalam tubuh Polri sangat menentukan keberhasilan agenda reformasi.
“Sekali lagi, reform harus dilakukan dari dalam oleh kita. Niat baik kita harus memiliki semangat untuk perbaikan terhadap institusi,” kata Kapolri.
“Begitu kita memiliki frekuensi yang sama, memiliki niat yang sama, tentunya semua yang menjadi keputusan kebijakan strategis yang ada di komisi reformasinya Bapak Presiden itu bisa berjalan.” ucapnya.
Sementara, Ketua Tim Transformasi Reformasi Polri, Komjen (Pol) Chryshnanda Dwilaksana, menegaskan bahwa perubahan ini tidak hanya menyentuh aspek fisik atau birokrasi, tetapi juga diarahkan pada transformasi nilai.
“Transformasi ini adalah keberanian untuk belajar dari masa lalu, memperbaiki kesalahan, menghadapi tantangan dan harapan masyarakat di masa kini, serta menyiapkan masa depan yang lebih baik,” kata Chryshnanda dalam keterangan tertulis, Selasa (23/9/2025).
Ia menyebut, transformasi Polri mencakup moral, kemanusiaan, keterbukaan, serta peningkatan pelayanan publik.
“Menegakkan hukum bukan sekadar menghukum, tetapi membangun peradaban dan menyelesaikan konflik secara beradab,” katanya.
Ketua Tim Transformasi Reformasi Polri, Komjen (Pol) Chryshnanda Dwilaksana
Chryshnanda menambahkan, transformasi Polri juga merupakan bagian dari pembangunan budaya tertib dan kepastian hukum agar Polri semakin profesional, humanis, dan mampu menjawab tuntutan zaman.
“Polisi juga hadir untuk mencegah agar konflik tidak meluas, serta memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada para korban maupun pencari keadilan,” ujar Chryshnanda.
Ibu korban pembunuhan berencana Nofriansyah Yosua Hutabarat atau Brigadir J, Rosti Simanjuntak memegang foto anaknya saat hadir di sidang vonis dengan terdakwa, Ferdy Sambo di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Senin (13/2/2023).
Keraguan publik terhadap reformasi Polri bukan tanpa alasan. Dalam beberapa tahun terakhir, sejumlah kasus besar mencoreng wajah kepolisian.
Kasus Ferdy Sambo pada 2022 menjadi simbol penyalahgunaan kekuasaan di tubuh Polri. Mantan Kadiv Propam itu divonis seumur hidup karena menembak ajudannya sendiri, Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat.
Setelah Sambo, publik kembali diguncang oleh kasus Irjen Teddy Minahasa, yang juga divonis seumur hidup karena menjual barang bukti sabu hasil sitaan.
Irjen Teddy Minahasa terlihat cengar-cengir sebelum sidang pembacaan vonis di PN Jakarta Barat, Selasa (9/5/2023).
Kedua kasus tersebut memperlihatkan bahwa persoalan di tubuh Polri bukan hanya soal “oknum”, melainkan penyakit struktural dan kultural yang belum tuntas dibereskan.
“Momentum Baik” Reformasi
Komisioner Kompolnas Choirul Anam menilai langkah Presiden dan Kapolri membentuk tim reformasi merupakan momentum penting untuk memperbaiki kepolisian.
“Saya kira pertama-tama harus dipandang begini, momentum ini adalah momentum yang baik, apa pun istilahnya. Apakah transformasi ataukah transisi. Tapi langkah itu menjadi langkah yang baik dan disambut baik oleh internal kepolisian,” kata Anam saat berbincang dengan Kompas.com, Rabu (15/10/2025).
Ia menjelaskan, di internal Polri sendiri sebenarnya sudah ada sejumlah inisiatif positif, seperti memperkuat peran Bhabinkamtibmas yang bersentuhan langsung dengan masyarakat, serta seruan berulang agar tindakan polisi lebih humanis.
Namun, Anam mengingatkan bahwa reformasi kepolisian tak bisa dilakukan Polri sendirian. Diperlukan ekosistem hukum yang sehat dan kesadaran publik untuk turut mengawasi.
“Yang paling penting tidak hanya internal kepolisian yang berbenah, tapi juga ekosistem. Kesadaran soal hukum, pengawasan, dan transparansi harus dibangun di semua level,” ujarnya.
Soal perekrutan polisi
Anam menekankan perlunya penguatan merit system dalam proses rekrutmen dan promosi jabatan agar praktik “bayar-membayar” dapat dihapus. Menurutnya, sistem berbasis integritas dan rekam jejak profesional harus menjadi budaya baru di Polri.
“Langkah-langkah yang diambil oleh kepolisian secara internal, seperti mempersiapkan bahan dan sebagainya, kami lihat di level kepolisian sebenarnya sudah sangat positif dan serius. Ada tindakan-tindakan konkret yang dilakukan,” kata Anam
“Namun, sekali lagi, dalam konteks reformasi yang berada di bawah kepresidenan, semuanya bergantung pada Presiden. Karena ini lahir dari sikap politik Presiden dan itu yang paling penting,” imbuhnya.
Komisioner Kompolnas, Muhammad Choirul Anam atau Cak Anam memberikan keterangan kepasa pers si Gereja Kristen Protestan Angkola, Bendungan Hilir, Jakarta Pusat, Senin (8/9/2025)
Selain itu, pengawasan internal dan eksternal juga perlu diperkuat. Anam mengusulkan agar Divisi Propam diberi kewenangan lebih besar, bahkan untuk menangani dugaan pidana oleh anggota polisi, serta meningkatkan statusnya menjadi lembaga dengan pimpinan bintang tiga.
Untuk pengawasan eksternal, Kompolnas juga perlu diperkuat dan dibuat lebih independen. Sejak dipisahkan dari TNI pada 1999, Polri telah menjalani berbagai fase reformasi.
Namun, sebagian besar masih berhenti pada level administratif.
Kematian Affan Kurniawan, kasus Sambo, dan Teddy Minahasa menjadi pengingat bahwa reformasi Polri tak boleh berhenti di retorika.
Kini, dengan dukungan politik dari Presiden dan tekanan publik yang terus meningkat, peluang untuk memperbaiki wajah kepolisian terbuka lebar.
Namun, sebagaimana diingatkan Choirul Anam, kunci perubahan ada pada kemauan politik dan partisipasi publik. Polri perlu membuka data etik secara transparan, memperkuat sistem promosi berbasis merit, serta menanamkan nilai empati sejak pendidikan dasar kepolisian.
Lebih dari dua dekade setelah reformasi 1998, tuntutan masyarakat terhadap Polri tetap sama: hadir sebagai pelindung, bukan penguasa; pelayan, bukan penindas.
Tag: #desakan #reformasi #polri #masa #setahun #prabowo #gibran