Politik Pangan Nasional, SPI Ungkap Dugaan Pelemahan Bapanas Demi Impor
Ilustrasi lahan pertanian yang menunjang pangan nasional. [Suara.com/ANTARA]
20:32
15 Oktober 2025

Politik Pangan Nasional, SPI Ungkap Dugaan Pelemahan Bapanas Demi Impor

Baca 10 detik
  • Pemerintah dituding sengaja lemahkan lembaga pangan demi liberalisasi.

  • SPI peringatkan bahaya impor pangan, seperti GMO kedelai untuk pakan ternak.

  • Program food estate dinilai hanya menguntungkan korporasi, bukan petani kecil.

Jelang Hari Pangan Sedunia 2025, Serikat Petani Indonesia (SPI) sampaikan kritik pedas terhadap arah kebijakan pangan nasional.

Pemerintah dituding secara sistematis melemahkan lembaga pangan dalam negeri untuk membuka jalan seluas-luasnya bagi liberalisasi dan privatisasi sektor pertanian.

Ketua Umum SPI, Henry Saragih, dalam konferensi pers di Jakarta, menegaskan bahwa ada agenda tersembunyi di balik berbagai kebijakan pangan saat ini.

"Produsen pangan di Indonesia dan melemahkan lembaga-lembaga negara yang mengurus pangan di Indonesia. Kemungkinan termasuk juga Badan Pangan Nasional akan dirombak supaya tidak punya kekuatan dalam menjalankan perdagangan pangan," ujar Henry, Rabu (15/10/2025).

Politik di Balik Piring Nasi

Henry menyoroti bahwa urusan pangan kini semakin sarat dengan kepentingan politik dan ekonomi.

Rencana pembentukan Menteri Koordinator Bidang Pangan, menurutnya, justru akan memperkeruh tata kelola yang sudah ada.

"Di balik soal pangan ini begitu sangat politik dan ekonomi,” katanya.

Ia juga mengkritik lemahnya koordinasi antar-lembaga yang membuat kebijakan menjadi tidak efektif.

"Ketika ditanya kenapa impor, itu urusan Kementerian Perdagangan. Ketika ditanya mengapa produksinya lemah, ini Kementerian Pertanian. Jadi tidak ada satu yang berkoordinasi,” katanya.

Bahkan, pembentukan Badan Pangan Nasional (Bapanas) dinilai justru melemahkan peran daerah dalam menjaga ketahanan pangan.

SPI melihat upaya revisi Undang-Undang Pangan sebagai kelanjutan dari semangat UU Cipta Kerja, yang dinilai pro-liberalisasi.

“Kalau menurut kita ini adalah kelanjutan dari Undang-Undang Cipta Kerja. Masukan SPI kita sekarang sedang mengajukan ke Mahkamah Konstitusi untuk membatalkan Undang-Undang Cipta Kerja,” tegas Henry.

Lebih jauh, ia memperingatkan bahaya dari impor pangan yang tidak terkontrol, baik dari sisi keamanan maupun kesehatan.

Ia mencontohkan impor kedelai yang di negara asalnya hanya diperuntukkan bagi pakan ternak.

“Kacang kedelai yang diimpor ke Indonesia itu produksi rekayasa genetika. Di Eropa, makanan seperti ini tidak untuk manusia, tapi untuk hewan,” kata Henry.

"Tingginya penyakit sekarang ini seperti diabetes dan gangguan lambung, itu berkaitan dengan makanan kita yang tidak aman,” tegasnya.

SPI secara tegas menolak program food estate yang digagas pemerintah, karena dianggap hanya mengulang model perkebunan era kolonial yang menguntungkan korporasi besar.

“Food estate itu kan kalau zaman Belanda dulu namanya plantation estate. Yang mengelola perusahaan besar, sementara petani tetap miskin,” katanya.

Sebagai solusi, SPI mendorong reforma agraria sejati, di mana tanah diberikan langsung kepada petani.

Menurut Henry, kesejahteraan petani tidak akan tercapai jika mereka hanya menggarap lahan sempit.

“Kalau pun harga gabah naik Rp6.500, tapi tanahnya cuma 0,5 hektare, ya tetap saja miskin,” ujarnya.

Sebagai langkah konkret, SPI akan meresmikan 'Kawasan Daulat Pangan' di Jawa Tengah dan Jawa Barat pada akhir Oktober, yang mendorong praktik pertanian agroekologi berbasis pupuk organik.

Reporter : Maylaffayza Adinda Hollaoena

Editor: Chandra Iswinarno

Tag:  #politik #pangan #nasional #ungkap #dugaan #pelemahan #bapanas #demi #impor

KOMENTAR