Tahan Tangis, Ibu di Papua Bongkar Borok Rasisme di Sekolah dan Tuntut Pelaku Dikeluarkan
Seorang Ibu di Papua Bongkar Borok Rasisme di Sekolah (freepik/ jcomp)
09:48
15 Oktober 2025

Tahan Tangis, Ibu di Papua Bongkar Borok Rasisme di Sekolah dan Tuntut Pelaku Dikeluarkan

Baca 10 detik
  • Seorang ibu di Papua menuntut keadilan atas kasus rasisme dan perundungan yang menimpa anaknya di sekolah.

  • Ia meminta para pelaku perundungan dan wali kelas yang dianggap lalai untuk dikeluarkan dari sekolah.

  • Dengan suara lantang, ia menegaskan bahwa anak-anak Papua berhak mendapat perlakuan setara tanpa diskriminasi.

Sebuah pernyataan keras penuh emosi dari seorang ibu di Papua kini menjadi sorotan publik, menyuarakan luka mendalam akibat perlakuan rasisme dan perundungan yang menimpa anaknya di lingkungan sekolah.

Dengan suara bergetar namun tegas, ia menuntut keadilan tidak hanya bagi putrinya, tetapi juga bagi semua anak Papua yang kerap menjadi sasaran diskriminasi.

Dalam video yang beredar luas, ibu yang mengenakan kemeja merah itu menjadi perwakilan suara para orang tua yang telah memendam kekecewaan.

Ia menyampaikan tuntutan yang tidak main-main, para siswa pelaku perundungan harus dikeluarkan dari sekolah dan bahkan dipulangkan ke daerah asalnya.

Tuntutan ini mengindikasikan bahwa pelaku diduga bukan berasal dari lingkungan masyarakat lokal.

"Tuntutan dari kami, kami ingin anak-anak yang sudah mem-bully itu harus dikeluarkan dari sekolah. Bila perlu, dipulangkan saja," ujarnya di hadapan awak media.

Kemarahan orang tua tidak berhenti pada para siswa. Sosok wali kelas juga menjadi sasaran kekecewaan.

Menurut ibu tersebut, wali kelas telah gagal melindungi murid-muridnya dan membiarkan praktik perundungan terjadi. Kekecewaan yang begitu mendalam membuat para orang tua menuntut sanksi serupa bagi sang guru.

"Kami orang tua sangat kecewa dengan wali kelas. Jadi, kalau perlu wali kelasnya juga dipulangkan ke tempat asalnya," tambahnya dengan nada tegas.

Ibu ini menjelaskan bahwa ada empat anak yang menjadi pelaku utama, namun dua diantaranya adalah yang paling vokal dan agresif.

Ilustrasi kampanye stop rasisme. (Pixabay/Samilustrando) PerbesarIlustrasi rasis di Papua (Pixabay/Samilustrando)

Dampak perundungan ini sangat menghancurkan mental para korban, terutama anak-anak perempuan.

Ia membedakan bagaimana anak laki-laki mungkin memiliki mental yang lebih kuat untuk bertahan, namun bagi putrinya dan siswi lain, serangan verbal dan psikologis itu langsung menusuk ke hati.

"Yang perempuan itu pakai perasaan. Jadi mereka bully anak-anak itu, mereka langsung kena di hati, tidak mau berangkat sekolah," ungkapnya, menggambarkan trauma yang membuat anak-anak enggan kembali ke tempat yang seharusnya aman untuk belajar.

Lebih dari sekadar kasus perundungan biasa, insiden ini berakar pada sentimen rasisme yang menyakitkan.

Inilah yang mendorong sang ibu untuk berbicara lantang di depan umum. Baginya, ini bukan lagi masalah personal, melainkan pertarungan untuk martabat dan harga diri.

"Saya bicara di muka umum supaya semua tahu. Bahwa kami bukan monyet, kami manusia sama seperti kalian!" serunya, sebuah kalimat yang menusuk dan menggema kuat, menyiratkan bahwa anak-anak Papua kerap menerima hinaan rasial yang tidak manusiawi.

Ia menutup pernyataannya dengan sebuah harapan besar: agar kejadian ini menjadi yang terakhir kalinya.

"Stop bully di dalam sekolah ini. Jangan kucilkan kami anak-anak Papua. Kami juga punya hak yang layak sama seperti kalian," tandasnya.

Editor: Sumarni

Tag:  #tahan #tangis #papua #bongkar #borok #rasisme #sekolah #tuntut #pelaku #dikeluarkan

KOMENTAR