



Menjaga Napas Panjang MBG
- Setahun kabinet merah putih, Makan Bergizi Gratis (MBG) menjadi satu dari sekian banyak program andalan Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka.
MBG merupakan implementasi langsung dari 8 Program Hasil Terbaik Cepat (PHCT) pemerintahan Prabowo-Gibran, yang salah satunya adalah pemberian makan bergizi dan susu gratis di sekolah serta pesantren.
Namun, dalam implementasinya, program ini kerap menemui berbagai tantangan.
Dalam menjaga napas panjang program yang menyangkut kepentingan publik ini, sorotan hingga kritik telah disuarakan.
Setahun Prabowo, Badan Gizi Nasional (BGN) menyampaikan bahwa jumlah porsi yang telah disalurkan sejak awal BGN mulai dijalankan pada 6 Januari 2025, mencapai lebih dari 1 miliar porsi.
Jumlah Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) juga terus mengalami peningkatan, dan hingga kini telah beroperasional hingga saat ini 13 Oktober 2025 mencapai 11.504 unit.
“Capaian jumlah SPPG yang operasional telah mencapai 11.504 dan telah melayani kurang lebih 34,6 juta penerima manfaat," ucap Dadan kepada Kompas.com, Senin (13/10/2025).
Adapun program andalan Presiden tersebut ini awalnya ditargetkan mampu membuka 32.000 SPPG dengan 82,9 juta penerima manfaat.
Namun seiring banyaknya kasus keracunan, hingga ditetapkan sebagai Kejadian Luar Biasa (KLB), Presiden akhirnya tak paksakan target 82,9 juta penerima MBG.
"Tapi kita tidak bisa paksakan untuk lebih cepat. Sekarang saja bisa terjadi penyimpangan. Bayangkan kalau kita paksakan dengan secepat-cepatnya. Mungkin penyimpangan dan kekurangan bisa lebih dari itu," kata Prabowo di Munas PKS, Hotel Sultan, Jakarta, Senin (26/9/2025).
Di sisi lain BGN hadirnya 25.400 SPPG di kawasan 3T yakni Tertinggal, Terdepan, dan Terluar Indonesia sebanyak 25.400 SPPG dan 6.000 SPPG terpencil.
Anggota Komisi IX DPR RI, Irma Suryani menilai bahwa program unggulan Presiden Prabowo Subianto itu adalah program populis yang bermanfaat untuk anak-anak Indonesia dalam meningkatkan imunitas dan IQ.
“Dalam perjalanannya memang tidak mudah, karena harus diakui (dengan) pengurusnya dari atas kebawah, dan banyak yang belum berpengalaman dalam mengelola program ini,” kata Irma kepada Kompas.com, Senin (13/10/2025).
Petugas PMI mengevakuasi siswa korban keracunan makan bergizi gratis (MBG) di SMP Negeri 3 Kota Banjar, Jawa Barat, Rabu (1/10/2025). Dinas Kesehatan Kota Banjar mengevakuasi siswa yang diduga keracunan MBG untuk dilakukan penangan dan perawatan di rumah sakit RSU Banjar Patroman, RSUD Banjar, dan Mitra Idaman. Pada Kamis (9/10/2025), Direktur Utama BPJS Kesehatan, Ali Ghufron Mukti mengatakan, biaya medis untuk keracunan MBG tanggung jawab Pemda, jika sampai menjadi kejadian luar biasa (KLB)
Dia mengatakan, hal ini adalah wajar, lantaran BGN merupakan lembaga baru, dimana MBG juga merupakan program yang baru. Tetapi ditataran bawah seharusnya pengelola SPPG adalah orang yang berpengalaman.
“Harusnya orang yang berpengalaman dibidang katering. Selain itu akuntabilitas para pengambil keputusan, terkait tim verikator SPPG, dan akuntabilitas petugas BGN di SPPG harus jadi syarat perekrutan,” ungkap dia.
Dengan persyaratan yang ketat, maka vendor SPPG sesuai dengan yang dipersyaratkan. Irma berharap program MBG dapat terus terlaksana dengan baik pasca evaluasi besar-besaran yang melibatkan lintas kementerian dan lembaga pasca terjadinya insiden KLB.
“Setelah kejadian keracunan yang lumayan banyak, komisi IX DPR dan BGN melakukan evaluasi menyeluruh, melibatkan Kemenkes, BKKBN dan BPOM dalam rangka mendapatkan SPPG yang berkualitas dan dapat dipertanggung jawabankan,” ujar dia.
“Semoga dengan evaluasi menyeluruh ini target Presiden untuk meningkatkan gizi, imunitas dan IQ anak-anak bangsa bisa tercapai,” harap dia.
Anggota Komisi IX DPR RI Irma Suryani Chaniago saat ditemui di Gedung DPR RI, Senin (29/9/2025).
Kritik kebijakan publik soal sasaran MBG
Sejumlah akademisi menyoroti pelaksanaan program MBG dalam setahun kepemimpinan Prabowo.
Pengamat kebijakan publik Universitas Lampung (Unila), Dedy Hermawan, menilai program MBG memiliki manfaat besar bagi masyarakat, terutama anak-anak sekolah.
Namun, ia menilai pelaksanaannya masih perlu pembenahan di berbagai aspek.
Dedy mengatakan keputusan politik Presiden Prabowo untuk menjalankan program MBG tergolong tepat dan visioner. Namun, lemahnya pelaksanaan di lapangan membuat program ini menghadapi sejumlah persoalan, termasuk kasus keracunan massal di beberapa daerah.
“Program ini bagus, tapi harus dilakukan evaluasi besar-besaran di tahun pertama. Evaluasi itu mencakup koordinasi, efektivitas pelaksanaan, dan pengawasan di lapangan,” kata Dedy Hermawan saat dihubungi Kompas.com.
Ia berharap pemerintah memanfaatkan kritik dan saran dari berbagai pihak untuk memperbaiki pelaksanaan MBG ke depan.
Lebih lanjut, Dedy menilai pemerintah perlu melakukan penyempurnaan sasaran program agar lebih tepat guna. Di sisi lain, moratorium untuk melakukan evaluasi menyeluruh, terutama karena kesiapan manajemen dan pengawasan di awal program masih lemah.
“Mestinya program ini disasarkan pada masyarakat di daerah-daerah dengan tingkat kemiskinan dan keterbelakangan tinggi, supaya biayanya juga tidak terlalu besar,” ujarnya.
“Karena tim di lapangan belum siap, pengawasan lemah, hingga muncul kasus keracunan. Belum lagi muncul isu nepotisme dan korupsi di dalam program ini. Maka perlu evaluasi total,” tambahnya.
Meskipun demikian, Dedy tetap menilai MBG sebagai investasi penting bagi masa depan bangsa, khususnya dalam membangun generasi yang sehat dan siap menghadapi persaingan global.
Pengamat kebijakan publik Universitas Gadjah Mada (UGM), Wahyudi, menilai program MBG merupakan bentuk komitmen Presiden Prabowo untuk memenuhi janji kampanye.
Namun, ia menekankan perlunya evaluasi serius mengingat anggaran besar yang dialokasikan untuk program ini.
“Sebagai janji politik, tentu patut diapresiasi. Tetapi sebagai program berskala nasional, MBG masih banyak persoalan dari hulu hingga hilir,” ujar Wahyudi.
Ia mengingatkan bahwa kasus keracunan siswa yang mencapai lebih dari 6.000 anak harus menjadi perhatian utama pemerintah.
“Lebih baik secara tegas menghentikan SPPG yang tidak profesional ketimbang menimbulkan masalah baru akibat meluasnya kasus keracunan,” tegasnya.
Wahyudi menilai MBG hanya layak dilanjutkan jika kualitas gizi dan keamanan makanan benar-benar bisa dijamin. Pemerintah juga perlu mengevaluasi mitra pelaksana yang tidak profesional.
Selain itu, ia menyebut pentingnya mengukur sejauh mana MBG mencapai tujuan utamanya, seperti meningkatkan status gizi anak sekolah, meningkatkan prestasi belajar, mengurangi stunting, dan memberantas kemiskinan.
“Kalau tujuan-tujuan itu tidak bisa dicapai, sebaiknya pemerintah mengubah skema MBG dengan program lain yang lebih tepat sasaran,” ujarnya.
Wahyudi menilai skema MBG saat ini masih non-targeted atau tidak spesifik pada masyarakat miskin, sehingga berpotensi salah sasaran dan menimbulkan “inclusion error” yang tinggi.
“Sejak awal MBG tidak tepat sasaran untuk pemberantasan kemiskinan, dan sekarang justru menimbulkan persoalan baru karena keracunan massal,” tutupnya.
Persoalan di lapangan
Soal keracunan MBG
Persoalan pertama dalam penyaluran MBG adalah kasus keracunan dengan jumlah yang tidak sedikit. BGN beralasan bahwa banyaknya kasus keracunan berasal dari produksi makanan dari SPPG yang baru beroperasi.
Berdasarkan data Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), jumlah korban keracunan program MBG mencapai 10.482 anak per 4 Oktober 2025.
Berdasarkan data pada 4 Oktober 2025, lokasi baru yang terdeteksi mengalami keracunan MBG, yakni Sumatera Barat (122 anak) dan Kalimantan Tengah (27 anak).
Sementara itu, lima provinsi dengan korban terbanyak diantaranya, Jawa Timur (620 anak), Jawa Barat (555 anak), Jawa Tengah (241 anak), Sumatera Barat (122 anak), dan Nusa Tenggara Timur (100 anak).
“MBG ini seharusnya menjadi simbol perhatian negara terhadap anak, bukan bukti abainya negara terhadap nyawa mereka. Sudah saatnya pemerintah berhenti menutup mata dan mengutamakan keselamatan anak di atas segalanya. Janganlah jadikan anak sebagai kelinci percobaan MBG dengan mengatasnamakan program pemenuhan gizi,” kata Koordinator Nasional JPPI Ubaid Matraji.
Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin mengaku sudah rutin melaporkan data terkait kasus keracunan akibat makanan program MBG kepada BGN.
"Sudah ada datanya, sudah kita share sama BGN. Nanti yang mengeluarkan BGN, tapi datanya kita tiap hari sudah masuk," kata Budi di Kompleks Istana, Jakarta, Rabu (8/10/2025).
Menkes menjelaskan, data yang diperbarui secara rutin ini berdasarkan laporan masuk di puskesmas. Meski begitu, data yang rutin diperbarui oleh Kemenkes tersebut masih belum bisa dilihat publik.
"Nanti BGN yang buka," ungkap Budi.
Menteri Kesehatan (Menkes) RI Budi Gunadi Sadikin di Istana Kepresidenan, Jakarta, Rabu (8/10/2025).
Sayangnya ketika hal ini dikonfirmasi langsung kepada BGN, tidak ada satupun pejabat yang berkenan menjawab terkait update jumlah keracunan MBG.
Selain masalah keracunan, program MBG juga dinilai memiliki masalah SDM yang tidak jujur. Ombudsman RI menemukan adanya penyimpangan dalam pengadaan bahan baku beras untuk Program MBG di salah satu SPPG wilayah Cimahpar, Bogor.
Kepala Keasistenan Pencegahan Maladministrasi KU III Ombudsman RI, Kusharyanto, mengatakan bahwa beras yang tertulis berkualitas premium saat dibeli, ternyata berjenis medium saat diperiksa di lapangan.
“Yang kami temukan itu adalah bahwa ada penyimpangan ketika pengadaan dilakukan,” ujar Kusharyanto di kantor Ombudsman, Jakarta, Selasa (30/9/2025).
“Di supplier disebut bahwa itu premium, tapi ternyata ketika dicek adalah beras medium, dan itu lolos dari pengecekan SPPG,” kata dia melanjutkan.
Berdasarkan hasil pemeriksaan, Ombudsman menemukan bahwa beras yang diterima memiliki derajat patah di atas 15 persen, yang mengindikasikan bahwa beras tersebut masuk kategori medium, bukan premium seperti yang tertera dalam kontrak.
Mendengar hal itu, Badan Pangan Nasional (Bapanas) Arief Prasetyo Adi menjelaskan bahwa perbedaan antara beras premium dan medium sebenarnya hanya terletak pada kadar mutu, bukan pada keamanan atau kelayakan konsumsi.
“Beras premium dan beras medium itu kan yang membedakan cuma kadar aja, 15 persen (premium) sama 20 persen (medium), cuma itu aja,” kata Arief di Jakarta, Kamis (2/10/2025).
Adapun standar mutu beras premium yakni kadar patah maksimal 15 persen, derajat sosoh minimal 95 persen, dan kadar air maksimal 14 persen.
Sementara itu, beras medium juga memiliki derajat sosoh minimal 95 persen dan kadar air maksimal 14 persen, namun kadar beras kepala minimalnya 75 persen.
Sementra itu, BGN menilai bahwa hal tersebut merupakan ranah bagian pengawasan terhadap pelaksanaan MBG. Termasuk kualitas bahan pangan yang digunakan, akan terus diperketat agar sesuai dengan ketentuan kontrak dan standar gizi yang ditetapkan pemerintah.
“Ya gini, itu kan seharusnya bagian pengawasan. Jadi kalau ada yang begitu-begitu, pasti urusannya harusnya ada pemeriksaan,” tegas Dadan.
Soal higienitas dapur MBG
Masalah kebersihan juga menjadi catatan penting bagi jalannya program MBG. Baru-baru ini, viral di media sosial, SPPG yang berada di Kecamatan Cipatat, Kabupaten Bandung Barat, Provinsi Jawa Barat, kedapatan mencuci ompreng atau wadah makan bergizi gratis dengan air yang kotor.
Menanggapi temuan tersebut, Dadan menegaskan bahwa pihaknya sudah turun langsung sebelum video itu viral.
“Sebelum viral sudah kita tindak,” kata Dadan saat dikonfirmasi Kompas.com, Jumat (3/10/2025).
Dadan mengatakan, pihaknya menurunkan tim untuk melakukan penelusuran. Tim tersebut diturunkan secara khusus untuk mengecek SPPG tersebut.
Dari hasil penelusuran, BGN menemukan beberapa fakta, di antaranya SPPG tersebut tidak sesuai dengan titik pengajuan awal di website BGN.
“Seharusnya titik berada di Desa Cibuyur Kecamatan Padalarang. Fakta di lapangan, titik SPPG berada di Desa Citatah Kecamatan Cipatat (lintas kecamatan),” mengutip hasil temuan BGN.
Fakta selanjutnya, disebut bahwa SPPG tersebut sebelumnya pernah mengajukan di Kecamatan Cipatat, namun ditolak karena kuota penuh.
“Pada akhirnya, mengakali dengan mengunci titik di Kecamatan Padalarang, namun bangunan SPPG tetap di Kecamatan Cipatat,” tambah hasil temuan BGN itu.
Salah satu sekolah menerima MBG setelah launching dapur baru di Kecamatan Tenayan Raya, Kota Pekanbaru, Riau, Senin (13/10/2025).
Disebutkan juga bahwa SPPG itu bermasalah dengan IPAL atau saluran pembuangan limbah yang turun, dan langsung mengganggu warga sekitar.
“Sumber air sumur bor, namun air sangat tidak layak dan keruh. Kemudian tempat pencucian food tray (ompreng) juga kumuh dan tidak layak,” lanjut penjelasan BGN.
SPPG juga diketahui tidak memiliki instalasi ducting, serta tak memiliki rak penyimpanan food tray. Food tray hanya ditumpuk di bawah meja pemorsian.
Selain itu ada banyak persoalan lainnya, seperti isu food try yang mengandung minyak babi, pangan yang tidak sesuai standar gizi, pangan yang tidak mendukung kearifan lokal, hingga ditemukannya belatung pada makanan.
Pencucian Nampan MBG di SPPG Cipatat yang Tidak Higienis, BGN: Ada Masalah IPAL, Air Sumur Keruh
Langkah-langkah pemerintah
Dengan segudang masalah pada program MBG, pemerintah tidak tinggal diam. Bersama kementerian dan lembaga, BGN melakukan kolaborasi bersama untuk memastikan program MBG tak hanya memberikan dampak positif, tapi mengurangi masalah yang selama ini terjadi.
Usai marak temuan kasus keracunan, sejumlah dapur MBG diwajibkan memiliki sertifikat. Ini menjadi syarat mutlak, bukan lagi sekadar administratif.
Diantaranya, sertifikat Hazard Analysis and Critical Control Point (HACCP) atau Analisis Bahaya dan Titik Kendali Kritis, Sertifikasi Laik Higene dan Sanitasi (SLHS) dari Kemenkes, hingga sertifikasi Halal. Proses sertifikasi ini akan ditambah dengan rekognisi atau pengakuan dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM).
"Kami juga sudah menyepakati tadi bahwa BGN akan mewajibkan Sertifikasi Laik Higene dan Sanitasi (SLHS) dari Kemenkes. Kemudian ada satu lagi yang proses HACCP, itu prosesnya berkaitan dengan standar gizi dan manajemen risikonya," ujar Menkes dalam konferensi pers di kantor Kemenkes, Jakarta Selatan, Kamis (2/10/2025).
"Kemudian juga nanti ada sertifikasi dari halal. Nah ketiga proses sertifikasi ini akan ditambah satu lagi rekognisi dari BPOM," ucapnya.
Meski demikian, Anggota Komisi IX DPR RI Irma Chaniago meragukan penerapan SLHS bisa menjadi solusi utama dalam mencegah kasus keracunan massal program MBG.
Irma justru khawatir penerbitan dokumen tersebut diperjualbelikan oleh oknum, sehingga tidak menjamin kualitas dan keamanan SPPG.
"Nah soal misalnya kemarin Pak Qodari bilang soal sertifikasi higienis dan lain sebagainya, kenapa saya kemarin mengatakan saya tidak terlalu respect? Karena sertifikasi-sertifikasi seperti ini itu bisa diperjualbelikan. Kita banyak lihat selama ini, sertifikasi-sertifikasi ini justru malah jadi bancakan," ujar Irma di Kompleks Parlemen, Jakarta, Senin (29/9/2025).
Dia menyebutkan, harga sertifikat itu bisa mencapai Rp 6 juta sampai Rp 10 juta padahal dokumen tersebut tidak didasarkan pada fakta kondisi dapur SPPG.
"Saya kok enggak yakin ya, karena saya pernah mengalami, terus terang di Dapil ya, tapi saya nggak usah sebut karena nanti orangnya juga kena masalah gitu ya. Mereka diminta untuk... ada sertifikasi higienis yang kemudian diperjualbelikan," ungkap Irma.
Masukan perbaikan
Meskipun muncul penolakan dari banyak wali murid buntut kasus keracunan makanan, namun BGN menegaskan bahwa program MBG akan tetap dilanjutkan.
Dadan mengatakan banyak anak Indonesia yang membutuhkan intervensi pemerintah dalam memenuhi kebutuhan gizi mereka.
“Ya begini, karena ini banyak ke anak yang sebetulnya membutuhkan intervensi pemenuhan gizi dengan menu seimbang,” ujar Dadan saat ditemui awak media di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (1/10/2025).
Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) Prasetyo Hadi menilai kasus keracunan MBG semestinya direspons dengan mengevaluasi dan memperbaiki kekurangan yang ada, bukan menyetop program MBG.
"Jadi bukan programnya kemudian harus dihentikan. Tidak. Kekurangan yang terjadi itu yang kita perbaiki," ujar Prasetyo di Monumen Nasional, Jakarta, Minggu (5/10/2025).
Senada, Menteri Koordinator Bidang Pemberdayaan Masyarakat Muhaimin Iskandar atau Cak Imin menyatakan, program MBG akan tetap dijalankan. Pemerintah belum berencana menghentikan program ini meskipun adanya desakan dan usulan penyetopan setelah ditemukan banyak kasus keracunan MBG.
"Tidak ada, tidak ada rencana penyetopan, saya belum mendengar," ujar Cak Imin saat ditemui di Kantor DPP PKB, Jakarta Pusat, Rabu (24/9/2025).
Sementara itu, berbagai masukan untuk perbaikan diserukan juga dari banyak pihak. Anggota Komisi IX DPR Nurhadi mengusulkan agar adanya pembatasan porsi untuk setiap SPPG.
Menurutnya, pembatasan porsi tersebut akan membuat kualitas makanan dari SPPG akan lebih baik dan mencegah kasus keracunan kembali terjadi.
"Kami mengusulkan pembatasan jumlah porsi per dapur, misalnya maksimal 2.000 porsi per hari. Pembatasan ini penting agar kualitas, kesegaran, dan pengawasan makanan lebih mudah terjaga serta beban kerja penyedia lebih seimbang," ujar Nurhadi dalam keterangannya, Senin (29/9/2025).
Sementara itu, Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) menyampaikan keprihatinan terkait kasus keracunan yang dialami anak sekolah yang ikut program MBG.
"Program MBG sejatinya bertujuan mulia untuk meningkatkan status gizi dan kesehatan anak Indonesia, namun kejadian keracunan ini terus berulang yang justru menimbulkan risiko serius bagi keselamatan anak," tulis keterangan resmi dari IDAI, dilansir Minggu (28/9/2025).
"Bahkan, ada balita (bawah lima tahun) dan ibu hamil juga yang terkena dampaknya sehingga kelompok rentan ini sebaiknya turut dimasukkan dalam perhatian utama," tambah IDAI.
Menurut IDAI, kualitas gizi dan keseimbangan menu dalam program MBG juga perlu dijamin. Menu sebaiknya disusun oleh ahli gizi anak agar sesuai dengan kebutuhan nutrisi yang mendukung tumbuh kembang optimal.
Mobil ambulance terparkir saat evakuasi siswa korban keracunan makan bergizi gratis (MBG) di SMP Negeri 3 Kota Banjar, Jawa Barat, Rabu (1/10/2025). Dinas Kesehatan Kota Banjar mengevakuasi siswa korban yang diduga keracunan MBG untuk dilakukan penangan dan perawatan di rumah sakit RSU Banjar Patroman, RSUD Banjar, dan Mitra Idaman.
IDAI juga meminta agar BGN memperketat pengawasan terhadap seluruh pelaksana program MBG. Setiap SPPG wajib tersertifikasi dan diawasi secara rutin. IDAI juga mengimbau agar prosedur mitigasi dan layanan aduan untuk mengantisipasi dan menangani kasus keracunan disiapkan.
Prosedur ini perlu melibatkan pemerintah, sekolah, dokter spesialis anak, tenaga kesehatan, serta masyarakat. Pemberdayaan layanan aduan masyarakat sangat penting agar masalah bisa segera diatasi.
Pengamat kebijakan publik, Eko Prasodjo mengatakan hal yang terpenting dalam program MBG adalah kondisi di lapangan ketika program itu dijalankan.
“Yang paling penting justru di lapangan, bukan di kebijakan. Problem keracunan, tidak layak, gizi, dan lainnya adanya di lapangan,” jelas Eko, Jumat (26/9/2025).
Mengenai kasus keracunan MBG yang terus meningkat, Eko menegaskan bahwa manajemen dan pengawasan untuk program tersebut harus lebih diperkuat.
“Manajemen proyek dan pengawasan (quality assurance) harus diperkuat, karena ini menyangkut nyawa anak-anak sekolah yang mengonsumsi MBG,” jelas Eko.
Sementara itu, Pengamat kebijakan publik dari Universitas Trisakti, Trubus Rahardiansyah, menegaskan bahwa program MBG masih memiliki kelemahan dalam tata kelola dan pengawasan di tingkat daerah.
Salah satu sorotan utama adalah lemahnya peran pemerintah daerah dalam memastikan program berjalan dengan aman dan membawa manfaat langsung kepada masyarakat sekitar.
“Saya melihat memang ini harus dibuat satu peraturan teknis yang mengatur mengenai tata kelola dan sanksi-sanksi itu,” kata Trubus saat dihubungi Kompas.com, (23/7/2025).
Pengamat Kebijakan Publik dari Universitas Trisakti, Trubus Rahadiansyah. Pengmat minta JNE Express beberkan fakta yang sebenarnya terjadi untuk menjaga kepercayaan publik terhadap korporasi besar itu.
“Jika muncul keracunan-keracunan itu, itu kan sebenarnya masalah pengawasan yang lemah, masalah pengawasan kualitas, masalah tata kelola yang tidak transparan,” ujarnya.
Ia menyoroti adanya ketimpangan pelaksanaan di tiap daerah yang belum diimbangi dengan pengawasan dan tanggung jawab memadai dari pemda.
“Jadi kadang-kadang tiap daerah itu beda-beda. Pengawasan pemerintah daerah itu rendah. Sepertinya sudah, kalau sudah menyerahkan kepada dapur SPPG mereka (lepas tangan),” lanjutnya.