Greenpeace Ungkap Kegagalan Peta Jalan Sampah Plastik, Desak Industri Ambil Tanggung Jawab
Sampah Plastik. (Dok. Greenpeace)
14:24
1 Juli 2025

Greenpeace Ungkap Kegagalan Peta Jalan Sampah Plastik, Desak Industri Ambil Tanggung Jawab

Krisis sampah plastik di Indonesia telah melampaui isu kebersihan lingkungan. Ia telah berubah menjadi persoalan kesehatan publik yang serius.

Mikroplastik kini ditemukan di sungai, laut, udara, bahkan produk konsumsi seperti air minum dalam kemasan. Penumpukan di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) juga membuat sistem pengelolaan kewalahan.

Menurut data Bank Dunia (2021), Indonesia menghasilkan sekitar 7,8 juta ton sampah plastik per tahun. Sebanyak 4,9 juta ton di antaranya tidak tertangani dengan baik, dibakar, dibuang ke tempat terbuka, atau bocor dari TPA yang tak dikelola secara semestinya.

Dari sampah plastik yang mencemari laut, 83 persen berasal dari aliran sungai, sisanya langsung dari wilayah pesisir.

Ilustrasi - Sampah Botol Plastik [freepik] Ilustrasi - Sampah Botol Plastik [freepik]

Menyikapi krisis ini, Greenpeace Indonesia menyelenggarakan Multi Stakeholder Forum: Implementasi Peta Jalan Pengurangan Sampah.

Forum yang melibatkan pemerintah, produsen, dan masyarakat sipil ini digelar sebagai ruang terbuka untuk meninjau ulang kebijakan pengurangan sampah dan mendorong solusi nyata di masa depan.

Peta Jalan Pengurangan Sampah oleh Produsen yang dikeluarkan KLHK sejak 2019 dianggap sebagai tonggak penting. Namun setelah enam tahun, implementasinya masih tersendat.

Penegakan hukum lemah, target sistem guna ulang belum ambisius, dan komitmen produsen terhadap pengurangan kemasan sekali pakai seperti saset multilayer masih minim. Sementara solusi daur ulang kimia yang diklaim menjadi alternatif pun belum terbukti berjalan efektif.

Greenpeace menegaskan bahwa solusi tambal-sulam tak lagi cukup.

“Kita tidak bisa terus menambal krisis plastik dengan solusi tambal-sulam di hilir. Akar masalahnya ada di hulu, di produksi plastik sekali pakai yang terus digenjot tanpa kendali. Saatnya industri mengambil tanggung jawab penuh, dan mendukung sistem guna ulang sebagai solusi nyata yang adil dan berkelanjutan,” tegas Ibar Akbar, Juru Kampanye Bebas Plastik Greenpeace Indonesia.

Greenpeace juga menekankan pentingnya penguatan Extended Producer Responsibility (EPR) agar produsen tidak lagi lepas tangan atas limbah produk mereka.

“Extended Producer Responsibility bukan sekadar formalitas birokrasi, ini soal siapa yang bertanggung jawab atas krisis plastik yang kita hadapi hari ini. Tanpa transparansi dan sanksi nyata, peta jalan pengurangan sampah hanya akan menjadi janji kosong di atas kertas,” lanjut Ibar.

Greenpeace juga menyoroti potensi besar dari sistem guna ulang. Jika dijalankan dengan kebijakan dan infrastruktur yang memadai, model ini dapat menciptakan nilai ekonomi bersih hingga Rp 1,5 triliun pada 2030. Lebih dari itu, sistem ekonomi guna ulang berpotensi menciptakan 4,4 juta lapangan kerja baru dalam kurun 2021–2030, di mana 75 persen dapat diisi oleh perempuan, menurut riset Bappenas, UNDP, dan Kedubes Denmark.

“Kita punya kesempatan emas untuk mengubah arah, dari ekonomi plastik menuju ekonomi guna ulang. Inisiatif sudah ada, tinggal kemauan politik dan keberanian industri yang perlu ditingkatkan,” tambah Ibar.

Greenpeace menegaskan bahwa krisis ini hanya bisa diatasi lewat kolaborasi nyata antara semua pihak. Forum ini diharapkan menjadi langkah awal menuju komitmen bersama dan sistem pengelolaan plastik yang lebih adil, transparan, dan berkelanjutan bagi masa depan yang lebih sehat.

Editor: Bimo Aria Fundrika

Tag:  #greenpeace #ungkap #kegagalan #peta #jalan #sampah #plastik #desak #industri #ambil #tanggung #jawab

KOMENTAR