



Langkah Tegas Atasi Sampah Plastik, Bali Larang Gunakan Botol Air Mineral Kecil
Langkah berani ditempuh Pemerintah Provinsi Bali. Mulai Januari 2026, produksi dan peredaran botol air mineral kemasan berkapasitas di bawah satu liter akan dilarang. Kebijakan ini bukan tanpa sebab. Pulau yang dikenal sebagai surga pariwisata itu kini menghadapi darurat sampah plastik.
Hampir seluruh Tempat Pembuangan Akhir (TPA) di Bali telah penuh. Tumpukan plastik mendominasi, terutama dari botol air sekali pakai. Situasi ini mendorong Gubernur Bali, I Wayan Koster, untuk mengambil tindakan tegas.
"Para pelaku usaha harus segera menghentikan produksi mereka dan menjual stok yang tersisa. Per tahun depan, botol air mineral (dalam kemasan) di bawah satu liter tidak akan lagi diedarkan di seluruh Bali," tegasnya dalam pertemuan bersama produsen air mineral di Denpasar.

Langkah ini mendapatkan dukungan dari pemerintah pusat. Bagi Koster, ini bukan sekadar urusan sampah. Ini soal masa depan Bali.
"Bali merupakan tempat yang dikagumi berkat budaya dan alamnya. Jika penuh dengan sampah, siapa yang akan berkunjung? Jika wisatawan menghilang, ekonomi akan berhenti tumbuh," ujarnya.
Data memperkuat urgensi kebijakan ini. Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional mencatat, sepanjang 2023, Bali menghasilkan 1,2 juta ton sampah. Denpasar menyumbang sepertiga dari total itu.
Tak hanya itu. Menurut laporan Institute for Essential Services Reform (IESR), timbulan sampah Bali meningkat 30 persen dalam dua dekade terakhir. Penyebab utamanya: rendahnya kesadaran masyarakat dan minimnya infrastruktur pengelolaan sampah.
"Meningkatnya tumpukan sampah, yang tidak dibarengi dengan kemampuan pengelolaan atau ketersediaan infrastruktur sampah di Bali, menyebabkan TPA-TPA tersebut tidak mampu lagi untuk mengakomodasi peningkatan volume sampah," terang Direktur Eksekutif IESR, Fabby Tumiwa.
Namun alih-alih sekadar melarang, Bali juga menyiapkan ekosistem pendukung. Pada April lalu, pemerintah daerah menerbitkan surat edaran yang melarang penggunaan plastik sekali pakai—seperti kantong dan sedotan—di kantor pemerintahan, tempat usaha, pasar, lembaga publik, dan tempat ibadah.
Tempat-tempat tersebut diwajibkan memiliki sistem pengelolaan sampah. Mulai dari pemilahan limbah, pengomposan bahan organik, hingga penyediaan fasilitas daur ulang. Pelanggaran atas kebijakan ini berkonsekuensi serius: pencabutan izin usaha atau penghentian bantuan sosial bagi desa yang abai.
Pendekatan ini menandai pergeseran dari penindakan semata ke arah pencegahan dan partisipasi aktif. Pemerintah Bali ingin pelaku usaha, desa, dan masyarakat bergerak bersama.
Kepada produsen air kemasan, Koster juga menyampaikan pesan yang tak kalah penting. Ia mendorong munculnya inovasi yang selaras dengan kelestarian lingkungan.
Koster juga menyerukan kepada produsen botol air mineral dalam kemasan agar bersikap inovatif dan kreatif dalam menjaga kebersihan Bali dari polusi dan sampah.
Langkah ini pun disambut baik di tingkat internasional.
"Banyak negara telah menyatakan apresiasi mereka terhadap pelarangan tersebut. Ini bukanlah pelarangan biasa. Ini merupakan langkah strategis bagi Bali untuk menjadi contoh global," kata Koster.
Wajib Kelola Sampah Kemasan
Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) akan mewajibkan produsen mengelola sampah kemasan produk mereka. Kebijakan ini menjadi bagian dari upaya menekan timbulan sampah plastik di Indonesia.
Dalam peringatan Hari Lingkungan Hidup 2025 di Jakarta, Kamis, Menteri Lingkungan Hidup/Kepala BPLH Hanif Faisol Nurofiq menyatakan KLH akan memanggil para produsen untuk membahas peningkatan Extended Producer Responsibility (EPR), atau tanggung jawab produsen yang diperluas.
"Di negara maju ini sudah merupakan mandatory, kita masih voluntary. Kita mau tingkatkan dari voluntary menjadi mandatory. Artinya kalau kamu memproduksi 5 ton maka 5 ton itu yang wajib kamu tangkap," kata Hanif.
KLH kini tengah merancang revisi Peta Jalan Pengurangan Sampah Oleh Produsen, seiring belum optimalnya kepatuhan para pelaku usaha. Penyusunan ini juga bertepatan dengan berakhirnya Kebijakan dan Strategi Nasional Pengelolaan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga (Jakstranas).
Target Jakstranas dalam Perpres Nomor 97 Tahun 2017 adalah pengurangan sampah sebesar 30 persen dan penanganan 70 persen pada 2025. Namun, hingga kini capaian pengelolaan baru 39,01 persen.
Proses pembaruan kebijakan dilakukan melalui pembahasan lintas Kementerian/Lembaga, serta sosialisasi dengan pemangku kepentingan.
"Kita minta bulan Agustus paling lambat (selesai), rencana kebijakan strategis nasional terkait dengan penanganan sampah bisa kita selesaikan," ujar Hanif.
Data Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN) menunjukkan, dari 34,2 juta ton sampah yang tercatat pada 2024 di 317 kabupaten/kota, sekitar 19,74 persen di antaranya merupakan sampah plastik.
Tag: #langkah #tegas #atasi #sampah #plastik #bali #larang #gunakan #botol #mineral #kecil