



Pimpinan Komisi XIII DPR Soal Kasus Sirkus OCI: Negara Tak Boleh Diam!
- Wakil Ketua Komisi XIII DPR RI, Dewi Asmara, mendorong penegak hukum bergerak mengusut dugaan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang dialami oleh eks karyawan Oriental Circus Indonesia (OCI).
“Kasus Oriental Circus Indonesia harus menjadi titik balik bagi kita semua. Negara tidak boleh diam. Kita punya instrumen hukum nasional dan internasional, tinggal bagaimana kita memastikan implementasinya di lapangan,” kata Dewi kepada wartawan, Rabu (23/4/2025).
Dewi mendapat informasi para eks pemain sirkus OCI telah dirundung eksploitasi seperti praktik kerja paksa, kekerasan, pembatasan kebebasan, diskriminasi, hingga indikasi perdagangan orang.
Dewi menilai negara harus bertindak tegas agar pelanggaran HAM serupa tidak terjadi di masa depan.
“Kasus OCI menunjukkan lemahnya perlindungan terhadap pekerja sektor hiburan non-formal, yang kerap beroperasi di luar jangkauan regulasi dan pengawasan negara," ujar Dewi.
"Ini bukan hanya pelanggaran ketenagakerjaan, tapi pelanggaran HAM yang serius, sekaligus sebagai pembuka kotak pandora terhadap kasus serupa pada industri hiburan, untuk perbaikan regulasi kedepannya," sambungnya.
Anggota Fraksi Partai Golkar ini pun merekomendasikan langkah hukum progresif guna mendorong pemerintah mengambil langkah konkret atas kasus tersebut. Pertama, ia mendorong dibentuk Tim Investigasi Independen.
Komnas HAM dan Kementerian Ketenagakerjaan diharapkan membentuk tim investigasi bersama untuk menelusuri secara menyeluruh dugaan pelanggaran terkait OCI.
Kedua, Satuan Tugas (Satgas) penegakan hukum perlu turun tangan untuk menangani kasus ini.
Menurutnya, Kejaksaan Agung dan Kepolisian perlu membentuk satuan tugas khusus untuk menangani kasus ini, termasuk kemungkinan pelanggaran Undang-Undang (UU) HAM, UU Ketenagakerjaan, dan UU TPPO.
Ketiga, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) diminta harus segera memberikan perlindungan menyeluruh, baik fisik maupun psikologis, kepada para korban, serta bantuan hukum untuk menuntut hak mereka, termasuk ganti rugi dan kompensasi.
Legislator dari daerah pemilihan Jawa Barat IV itu juga menilai perlu ada pembentukan regulasi khusus sektor hiburan dan industri nonformal lainnya.
"Perlu dibuat payung hukum khusus yang mengatur standar kerja, perlindungan pekerja, dan sistem pengawasan di sektor hiburan seperti sirkus dan lainya sebagainya yang cenderung berpindah-pindah lokasi dan mempekerjakan kelompok rentan, termasuk anak-anak," imbuhnya.
Lebih lanjut, ia juga menyorot bahwa Indonesia sudah meratifikasi Konvensi International Labour Organization (ILO) Nomor 29 tentang Kerja Paksa melalui Keputusan Presiden Nomor 83 Tahun 1998.
Indonesia juga sudah meratifikasi Konvensi ILO Nomor 95 tentang Perlindungan Upah melalui Keputusan Presiden Nomor 78 Tahun 1957.
Berdasarkan Konvensi ILO, segala bentuk kerja yang dilakukan di bawah ancaman, tanpa kesukarelaan, serta disertai pemalsuan dokumen dan pembatasan kebebasan, termasuk dalam kategori kerja paksa.
Selanjutnya, praktik tidak ada upah, pemotongan upah sewenang-wenang, dan pembayaran nontunai yang tidak wajar melanggar ketentuan Konvensi ILO Nomor 95.
“Jika benar terdapat unsur pemaksaan, kekerasan, dan penyekapan, maka ini bukan hanya kerja paksa, tapi juga bisa masuk kategori perdagangan orang sebagaimana diatur dalam UU No. 21 Tahun 2007,” tegas Dewi.
Di sisi lain, Dewi menekankan pentingnya edukasi dan kesadaran publik tentang hak pekerja dan larangan kerja paksa, khususnya di komunitas hiburan.
Menurut Dewi, sosialisasi terhadap aparat penegak hukum juga diperlukan agar mereka lebih siap menangani kasus-kasus eksploitasi di sektor informal.
Diketahui, sirkus OCI sedang menjadi polemik dan sorotan publik. Para eks pemain sirkusi mengaku selama bekerja mendapat eksploitasi dan penyiksaan.
Di hadapan jajaran Komisi XIII DPR RI ini, Fifi Nur Hidayah, salah satu korban, mengaku mendapat penyiksaan selama dirinya dilatih sirkus baik oleh OCI atau Taman Safari Indonesia.
Malahan, penyiksaan semakin terjadi ketika Fifi dipindah ke Taman Safari Indonesia sekitar tahun 1980-an.
Bukan hanya pukulan, Fifi juga sempat disetrum hingga dipasung akibat pernah kabur namun tertangkap.
“Saya pikir hidup saya lebih baik di sana. Saya tidak dapat penyiksaan. Ternyata di taman safari saya lebih,” ungkap Fifi sembari menangis.
“Lebih keras lagi saya dilatih. Saya dapat penyiksaan lagi pak. Sampai saya melarikan diri Karena saya enggak tahan,” sambung dia.
Secara terpisah, Founder Oriental Circus Indonesia (OCI) dan Komisaris Taman Safari Indonesia, Tony Sumampau, membantah semua tuduhan para eks pemain sirkus.
Menurut Tony, pelatihan sirkus memang menuntut kedisiplinan tinggi, namun bukan berarti ada praktik kekerasan atau penyiksaan seperti yang dituduhkan oleh sejumlah pihak.
"Betul, pendisiplinan itu kan dalam pelatihan ya, pasti ada. Saya harus akui. Cuma kalau sampai dipukul pakai besi, itu nggak mungkin," ujar Tony di Jakarta pada Kamis (17/4/2025).
Tony juga menepis kabar mengenai penyiksaan terhadap pemain sirkus yang beredar di media.
Ia menyebut tudingan itu tidak masuk akal dan cenderung dibuat-buat untuk menarik simpati masyarakat.
"Kalau dibilang penyiksaan, ya itu membuat sensasi saja. Supaya orang yang dengar jadi kaget, serius gitu ya. Kalau benar-benar seperti itu, ya tidak masuk akal," ujarnya.
Tag: #pimpinan #komisi #xiii #soal #kasus #sirkus #negara #boleh #diam