Skandal Mega Korupsi Beruntun: Rp 271 Triliun Belum Usai, Muncul Rp 193,7 Triliun
Suara dan keinginan masyarakat agar korupsi bisa diberantas tercermin dalam mural yang menghiasi tembok di Kecamatan Setu, Kota Tangerang Selatan, Banten, Minggu (27/8/2023).(KOMPAS/HERU SRI KUMORO)
12:14
26 Februari 2025

Skandal Mega Korupsi Beruntun: Rp 271 Triliun Belum Usai, Muncul Rp 193,7 Triliun

INDONESIA kembali diguncang kasus korupsi besar. Setelah skandal PT Timah yang merugikan negara Rp 271 triliun belum selesai, kini muncul kasus di Pertamina dengan kerugian mencapai Rp 193,7 triliun.

Angka ini belum termasuk kerugian yang harus ditanggung masyarakat pengguna BBM jenis Pertamax yang dimanipulasi.

Kasus-kasus ini menegaskan bahwa korupsi di Indonesia sudah sangat mengkhawatirkan. Meski disebut sebagai extraordinary crime (kejahatan luar biasa), upaya pemberantasannya masih berjalan biasa saja.

Hukuman yang dijatuhkan sering kali ringan dan tidak sebanding dengan dampak finansial yang ditimbulkan, sehingga tidak memberikan efek jera.

Salah satu kelemahan utama dalam pemberantasan korupsi di Indonesia adalah ketimpangan antara besarnya kerugian negara dengan hukuman yang diberikan.

Banyak koruptor hanya divonis beberapa tahun penjara, bahkan ada yang mendapatkan remisi dan bebas lebih cepat.

Pada 2023, misalnya, Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) memberikan remisi kepada 2.136 narapidana korupsi bertepatan dengan peringatan HUT RI ke-78, di mana 16 orang diantaranya langsung bebas.

Kemudian, pada momen Lebaran tahun yang sama, sebanyak 271 narapidana kasus korupsi juga mendapat remisi khusus.

Dari segi hukuman yang diterima koruptor, Indonesia Corruption Watch (ICW) tahun 2023 mencatat bahwa dari 1.649 putusan perkara korupsi dengan 1.718 terdakwa, mayoritas hanya dijerat Pasal 2 dan 3 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Hukuman minimum untuk Pasal 2 hanya 4 tahun penjara, sedangkan Pasal 3 lebih ringan lagi, hanya 1 tahun.

ICW bahkan mengategorikan hukuman ini sebagai ringan jika di bawah 4 tahun, sedang jika 4–10 tahun, dan berat di atas 10 tahun.

Sebagai contoh, dalam kasus korupsi PT Timah, salah satu pelaku utama awalnya hanya divonis 6,5 tahun, sebelum akhirnya diperberat menjadi 20 tahun di tingkat banding.

Namun, mengingat besarnya kerugian yang ditimbulkan, hukuman ini masih terbilang ringan.

 

Dengan ancaman hukuman yang tidak sebanding, korupsi menjadi kejahatan yang berisiko rendah, tetapi memiliki keuntungan luar biasa besar. Bahkan jika tertangkap, seorang koruptor tetap bisa menikmati hasil kejahatannya setelah menjalani hukuman.

Selain hukuman yang ringan, lemahnya pemulihan aset semakin memperburuk masalah ini, karena uang hasil korupsi sering kali tetap bisa dinikmati para pelaku.

Perampasan aset

Lemahnya mekanisme pemulihan aset semakin memperparah keadaan. Rancangan Undang-Undang Perampasan Aset yang dapat menjadi dasar hukum untuk mengembalikan hasil kejahatan korupsi hingga kini belum disahkan.

Setiap periode, RUU ini masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas), tetapi tidak pernah benar-benar dibahas hingga disahkan.

Urgensi untuk mengatasi masalah ini tidak bisa diabaikan. Kasus mega korupsi terbaru menegaskan perlunya tindakan tegas dari pemerintah.

Salah satu solusi yang dapat segera diambil adalah penerbitan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) tentang Perampasan Aset.

Regulasi ini akan mempercepat pemulihan aset negara yang hilang dan mengirimkan sinyal kuat bahwa pemerintah serius dalam memberantas korupsi.

Syarat “hal ihwal kegentingan yang memaksa” untuk menerbitkan Perpu jelas telah terpenuhi, mengingat besarnya kerugian negara akibat dua kasus korupsi besar baru-baru ini.

Lemahnya penegakan hukum juga memperkuat budaya impunitas di kalangan pejabat korup. Ketidaktegasan dalam menjatuhkan hukuman menimbulkan persepsi bahwa korupsi dapat dilakukan tanpa konsekuensi serius, menciptakan lingkungan yang membiarkan praktik tidak etis terus berlangsung.

Masalah ini diperparah keterkaitan pejabat publik dengan kepentingan politik dan ekonomi yang kuat, sehingga sulit menuntut pertanggungjawaban mereka.

Oleh karena itu, selain memperberat hukuman, langkah-langkah pencegahan juga harus dioptimalkan melalui reformasi regulasi dan transparansi birokrasi.

Pemerintah harus memprioritaskan pengesahan undang-undang anti-korupsi yang lebih komprehensif. Ini mencakup tidak hanya RUU Perampasan Aset, tetapi juga kebijakan peningkatan transparansi dalam pengadaan barang dan jasa di sektor publik.

Penguatan kapasitas aparat penegak hukum dalam menyelidiki dan menuntut kasus korupsi sangat penting.

Hal ini dapat dilakukan dengan memberikan sumber daya tambahan, pelatihan, dan dukungan bagi lembaga anti-korupsi agar mereka dapat menjalankan tugasnya secara efektif.

Melihat lambannya proses legislasi terhadap pembentukan RUU ini, bila memang pemerintah memiliki komitmen pemberantasan korupsi, Presiden dapat mengeluarkan Perpu.

Terungkapnya dua mega korupsi dalam waktu berdekatan menunjukkan bahwa negara sedang tidak baik-baik saja. Hal ikhwal kepentingan memaksa sebagaimana yang menjadi prasyarat diterbitkannya Perpu seharusnya sudah terpenuhi.

Tanpa regulasi yang kuat, penegakan hukum yang tegas, dan keterlibatan publik, korupsi akan terus merajalela.

Pemerintah harus segera bertindak untuk mencegah kerugian negara yang lebih besar di masa depan.

Upaya yang terkoordinasi dalam memperkuat kerangka hukum, meningkatkan kapasitas penegakan hukum, dan mendorong transparansi adalah satu-satunya jalan untuk mengatasi masalah korupsi yang mengakar dan memulihkan kepercayaan masyarakat terhadap institusi negara.

Tag:  #skandal #mega #korupsi #beruntun #triliun #belum #usai #muncul #1937 #triliun

KOMENTAR