



Tolak Makan Bergizi Gratis, Apakah Haram?
AKSI unjuk rasa menolak program Makan Bergizi Gratis (MBG) menggema di Papua, diikuti ribuan pelajar dari berbagai jenjang pendidikan, mulai dari sekolah dasar hingga SMA.
Mereka turun ke jalan di berbagai distrik di Provinsi Papua Induk dan Papua Pegunungan, menyuarakan ketidakpuasan terhadap kebijakan pemerintah.
Para pelajar membawa spanduk bertuliskan tuntutan seperti "Kami Butuh Pendidikan, Bukan Makanan", "Hentikan Militerisasi di Dunia Pendidikan", dan "Makan Bergizi Gratis Bukan Solusi untuk Berdayakan SDM Papua".
Mereka menegaskan bahwa program MBG bukanlah prioritas utama, karena yang lebih dibutuhkan adalah pendidikan terjangkau dan berkualitas.
Dengan lantang, mereka menyerukan agar pemerintah lebih fokus pada pendidikan gratis sebagai investasi jangka panjang bagi masa depan Papua.
Aksi yang awalnya berlangsung damai perlahan memanas. Ketegangan meningkat, hingga pihak kepolisian menembakkan gas air mata untuk membubarkan massa.
Para demonstran berhamburan, sementara sejumlah pemuda diamankan, memperparah situasi yang sudah tegang.
Di sisi lain, pemerintah pusat justru memandang penolakan ini sebagai upaya yang menghambat kesejahteraan rakyat.
Kepala Komunikasi Kepresidenan (PCO) menilai aksi tersebut tidak sejalan dengan tujuan pemerintah. Sementara kepolisian mengaitkan demonstrasi ini dengan gerakan separatis, menuding adanya keterlibatan Komite Nasional Papua Barat (KNPB).
Alih-alih merangkul aspirasi masyarakat, pemerintah justru menciptakan polarisasi. Mereka yang menolak dianggap penghambat pembangunan atau bahkan anti-pemerintah, sementara pendukungnya digambarkan sebagai pembela kepentingan rakyat.
Narasi hitam-putih semacam ini berbahaya bagi demokrasi. Cara seperti ini mengingatkan pada era Orde Baru, ketika kritik terhadap kebijakan pemerintah kerap dicap sebagai tindakan subversif.
Selain membungkam kritik, hal ini juga mempersempit ruang diskusi rasional, yang pada akhirnya melemahkan demokrasi.
Rakyat berhak menolak MBG?
MBG bukanlah kebijakan yang sepenuhnya buruk, tetapi pertanyaannya adalah: apakah ini benar-benar yang paling dibutuhkan rakyat saat ini?
Apakah MBG solusi terbaik untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia (SDM), ataukah hanya kebijakan populis untuk pencitraan politik?
Sebagai program yang didanai oleh anggaran negara—berasal dari pajak rakyat, bukan dana pribadi presiden atau kabinetnya—masyarakat berhak mengawasi dan mengkritisi kebijakan ini.
Dalam sistem demokrasi, penggunaan anggaran negara harus tepat sasaran dan berdasarkan kebutuhan prioritas, bukan sekadar strategi politik jangka pendek.
Meskipun MBG telah disetujui Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), rakyat tetap berhak mengevaluasi rasionalitasnya.
Indonesia, dengan populasi terbesar keempat di dunia, sering menghadapi defisit anggaran akibat belanja negara yang melebihi pendapatan.
Program MBG menargetkan 82,9 juta penerima manfaat, mencakup anak sekolah dan ibu hamil, dengan kebutuhan anggaran sekitar Rp 400 triliun per tahun.
Pada tahap awal, pemerintah mengalokasikan Rp 71 triliun untuk menjangkau 19,47 juta penerima hingga Juni 2025.
Menanggapi keterbatasan dana, Presiden Prabowo menyatakan akan menambah Rp 100 triliun dari hasil efisiensi berbagai kementerian dan lembaga.
Total anggaran MBG mencapai Rp 171 triliun, yang diharapkan dapat memperluas cakupan penerima manfaat dan meningkatkan kualitas gizi masyarakat.
Namun, besarnya anggaran ini menuntut transparansi dan akuntabilitas. Rakyat berhak mempertanyakan apakah kebijakan ini benar-benar prioritas atau justru mengalihkan perhatian dari masalah yang lebih mendesak, seperti pendidikan dan akses layanan kesehatan.
Selain itu, pemangkasan anggaran berbagai kementerian demi membiayai MBG dapat memicu guncangan ekonomi, menghambat program yang telah berjalan, dan berpotensi menciptakan ketidakseimbangan dalam pembangunan nasional.
Sebagai pemegang kedaulatan, rakyat harus terus mengawasi agar dana publik digunakan secara efektif demi kesejahteraan jangka panjang bangsa, bukan sekadar kepentingan politik sesaat.
Namun ironisnya, Wakil Presiden menanggapi isu tersebut dengan mengatakan bahwa makan bergizi gratis itu penting, pendidikan gratis penting, pengecekan kesehatan gratis penting, semuanya penting.
Dalam menyusun kebijakan, pemerintah tidak boleh menggunakan pendekatan "semuanya penting" tanpa skala prioritas yang jelas.
Jika semua dianggap penting tanpa pertimbangan yang matang, maka justru tidak ada yang benar-benar diprioritaskan.
Ini seperti seorang kepala keluarga yang memiliki penghasilan terbatas, tetapi ingin memenuhi semua kebutuhan sekaligus—membeli rumah, mobil, liburan mahal, dan pendidikan terbaik untuk anak-anaknya—tanpa mempertimbangkan kemampuan finansialnya.
Tanpa skala prioritas yang jelas, anggaran negara bisa habis tanpa menghasilkan dampak nyata bagi kesejahteraan rakyat.
Tetap bisa majukah anak bangsa
Belajar dari beberapa negara yang menyelenggarakan makanan bergizi gratis, apakah generasi mereka menjadi berkualitas karena makanan bergizi gratis tersebut?
Keberhasilan Korea Selatan dan Jepang dalam melahirkan generasi hebat bukanlah hasil dari program makanan bergizi gratis, melainkan dari kombinasi strategi yang jauh lebih kompleks dan menyeluruh.
Kedua negara ini membangun sumber daya manusia yang unggul melalui sistem pendidikan yang ketat, budaya disiplin yang kuat, investasi dalam riset dan teknologi, serta kebijakan ekonomi yang tepat.
Jika keberhasilan mereka hanya bergantung pada makanan bergizi, maka banyak negara lain dengan akses pangan melimpah seharusnya sudah lebih maju.
Mereka memahami bahwa gizi yang baik memang penting bagi perkembangan anak. Namun, tanpa pendidikan yang unggul, potensi generasi muda tidak akan maksimal.
Bangsa tidak akan maju hanya dengan program makan gratis jika tidak dibarengi dengan sistem pendidikan yang kuat dan menghasilkan SDM yang siap bersaing di tingkat global.
Jika harus memilih, pendidikan berkualitas lebih layak menjadi prioritas utama dibandingkan makanan bergizi gratis.
Makanan bergizi memang penting untuk mendukung pertumbuhan fisik dan kesehatan anak, tetapi tanpa pendidikan yang berkualitas, potensi manusia tidak akan berkembang secara optimal.
Jepang dan Korea Selatan adalah contoh nyata bahwa keberhasilan suatu bangsa lebih ditentukan oleh sistem pendidikan yang kuat, budaya disiplin, serta investasi dalam teknologi dan riset.
Bahkan tanpa program makanan bergizi gratis, mereka tetap mampu mencetak generasi unggul karena fokus pada pendidikan yang membentuk karakter, keterampilan, dan daya saing global.
Sebaliknya, negara dengan akses pangan melimpah, tetapi tanpa sistem pendidikan yang baik sering kali gagal menghasilkan SDM unggul.
Aksi yang mengguncang Papua serta berbagai penolakan terhadap program MBG menyampaikan pesan kuat dari para pelajar: orangtua mereka sudah mampu menyediakan makanan, tetapi yang mereka butuhkan adalah pendidikan gratis.
Makanan siang mungkin gratis, tetapi jika orangtua mereka tidak memiliki kemampuan ekonomi untuk membiayai sekolah, masa depan mereka tetap terancam.