Menertawakan Demokrasi dengan Me-''Roasting'' Sesama Capres
Capres nomor urut satu Anies Baswedan (kanan), capres nomor urut dua Prabowo Subianto (kiri), dan capres nomor urut tiga Ganjar Pranowo beradu gagasan dalam debat ketiga Pilpres 2024 di Istora Senayan, Jakarta, Minggu (7/1/2024). Debat kali ini bertemakan pertahanan, keamanan, hubungan internasional, globalisasi, geopolitik, dan politik luar negeri. (NTARA FOTO/Aditya Pradana Putra/foc.)
10:52
9 Januari 2024

Menertawakan Demokrasi dengan Me-''Roasting'' Sesama Capres

ROASTING metode komunikasi yang bertendensi kritis terhadap seseorang yang memiliki kedudukan sosial tertentu. Metode ini biasa digunakan komika dalam stand up comedy, untuk mengekspresikan candaan, kritik, saran.

Narasi dalam metode ini bisa membingkai wacana humor atau seni pertunjukan yang diharapkan memancing tawa penikmat humor atau penonton.

Roasting bisa digunakan untuk branding politik, atau sebaliknya sebagai “serangan” atau kritik politik ke lawan politik.

Roasting bagian dari pengembangan genre stand up comedy, yang dikenalkan oleh para komika di Universitas Oxpford, 1966.

Lalu, metode komunikasi ini dikenalkan di Indonesia pada 1970-an, yang dikemas melalui film-film Warkop. Dalam bagian tertentu, aksi panggung para aktor Srimulat bisa dikategorikan stand up konvensional.

Stand up modern sebagai panggung pertunjukan, dimotori oleh Pandji Pragiwaksono dan Raditya Dika, mulai 2010.

Dia menggagas kompetisi stand up yang disiarkan televisi swasta. Acara ini didukung oleh komika senior seperti Indro Warkop dan Butet Kertaradjasa. Mereka mendukung dengan menjadi juri kompetisi komika.

Sejak penampilan komika solo popular, roasting muncul menjadi semacam genre baru yang dikemas dalam bentuk stand up comedy roasting, yang menjadikan tokoh tertentu sebagai objek “yang digoreng”.

Sebelum ini, komika-komika Amerika telah melakukannya dan materi roasting seputar politik.

Melalui panggung stand up, talk show yang menjemukan menjadi menarik dan geer. Apalagi, materinya seputar politik, panggung stand up menjadi ajang pendewasaan demokrasi.

Apa hubungannya dengan debat capres? Melihat dinamika dalam debat calon presiden (capres) putaran tiga (7/1/2024), saya membayangkan materi debat tentang pertahanan memiliki bobot yang berat. Suasana debat yang tegang menghias sebagian besar durasi waktu talk show tersebut.

Saya menduga, suasana tegang dan kaku itu tidak terjadi andaikata setiap capres bisa menggunakan bahasa-bahasa joke dan narasi cair, yang digunakan oleh komika-komika, atau, bahkan bahasa awam.

Memang sih, debat capres dan debat sejenis lainnya belum pernah menggunakan metode roasting beserta jokes-jokes-nya. Suasana debat yang layaknya tontonan yang menghibur dan tuntunan menjadi pedoman pemilih, tidak didapatkan dalam forum debat capres-cawapres yang diselenggarakan Komisi Pemilihan Umum (KPU).

Metode roasting dalam skala minimum sebenarnya telah diterapkan dalam debat oleh capres nomor urut satu Anies Baswedan dan capres nomor urut dua Ganjar Pranowo.

Mereka menerapkan metode itu untuk memancing capres nomor dua Prabowo Subianto, untuk mengungkapkan berbagai kelemahan dalam program Kementerian Pertahanan, institusi yang dipimpinnya.

Persoalan keterbukaan anggaran kementerian, transparansi belanja alutsista, relevansi belanja alat/senjata dan kebutuhan pertahanan yang aktual, sampai pada problem kepemilikan ribuan hektare lahan pribadi dan perusahaan milik capres dikaitkan dengan kebutuhan asrama polisi dan tentara, menjadi materi set up dan puncline.

Dalam dialog berikut, Anies: “Pak Ganjar memberikan penilaian kinerja pemerintah di bidang hukum. Bagaimana dengan penilaian terhadap kinerja Prabowo sebagai Menteri Pertahanan?

Ganjar: ”Saya memberikan nilai 5. Ada bukti-bukti yang saya siapkan di meja kerja saya, atas penilaian itu.”

Ganjar bertanya ke Anies, “berapa Anda memberikan nilai kineja Prabowo? Ayo, mas Anies nggak usah takut, sebut saja angkanya berapa, kayak saya ini, jangan bilang di bawah lima.”

Anies merespons, “nilai kinerja Prabowo 11 dari 100.”

Ganjar komentar, “Ini sedikit mengajarkan agar mas Anies lebih berani.”

Sepenggal dialog itu menjadikan suasana debat menjadi cair, lentur bagi dua pasangan capres itu. Mereka seakan memainkan elemen jokes yang dibuat bersambut antara set up dan punchline.

Dengan dialog singkat itu, persoalan-persoalan pertahanan yang berat itu bisa dibahas dan dicerna dengan mudah.

Saya membayangkan bagaimana kalau para capres menggunakan jokes-jokes dalam menyampaikan visi, mengajukan, dan menjawab pertanyaan, maka suasana panggung debat akan dimeriahkan dengan suasana riang-gembira, bukan saling melotot antarcapres.

Prabowo semula bermaksud menerapkan metode serupa ketika dia mengatakan tiga kali pendapatnya sama dengan Ganjar.

Prabowo bermaksud mengumpan Ganjar untuk menekan Anies Baswedan. Ini sekaligus menjadikan capres nomor urut pertama sebagai “korban” roasting-nya.

Namun strategi Prabowo itu untuk menyeret Ganjar ke dalam kubunya gagal ketika Ganjar berbalik menjadi partner Anies. Yang terjadi, pertanyaan dan pertanyaan Anies-Ganjar gaung-bersambut. Akibatnya Prabowo menjadi korban roasting mereka berdua.

Harapan debat yang mengalir itu, semestinya terjadi pada putaran berikutnya. Terlepas dari siapa “dikorbankan” dalam roasting, cara ini menjadikan panggung debat menjadi hidup.

Terdapat persoalan serius untuk mengubah debat sebagai forum stand up roasting. Pertama, setting peran aktor di panggung debat sangat formalistik. Misalnya, moderator layaknya tukang angon, kerjanya memperingatkan capres waktunya habis, pendukung jangan ramai.

Kesannya, debat itu identik cerdas-cermat anak-anak sekolah. “Bapak/ibu pertanyaan panelis masih disegel, silakan capres mendengarkan, kami tidak mengulangi pertanyaan dari panelis.”

Kedua, panelis menjadi penonton, pertanyaannya kepada capres telah dicetak dan dibacakan oleh moderator.

Andaikata panelis melontarkan pertanyaan, secara interaktif terhadap capres, suasananya bisa lentur, gestur panelis dan capres yang berinteraksi memungkinkan pemahaman capres lebih dalam terhadap soal-soal yang ditanyakan panelis.

Bahkan, panelisi bisa menyusulkan pertanyaan lanjutan apabila durasi waktu masih tersisa dan mencukupi.

Dalam debat capres-cawapres, audiens ingin mendapat tuntunan sekaligus tontonan. Sejauh ini tuntunan belum dapat karena capres-cawapres sangat formal dalam menyampaikan gagasan, kemasannya tidak menarik.

Tontotannya--kalau dianggap ada-- lebih dominan soal ekspresi capres marah, melontarkan ejeken verbal.

Saya membayangkan debat beriktunya ada tawa, ada canda, ada serius, dan formalitas mekanis debat dilenturkan agar forum menjadi tontonan sekaligus tuntunan yang memberi pengetahuan dan menghibur suasana pada hari libur Ahad.

Apakah itu berarti para capres-cawapres harus mengubah diri menjadi sosok komika atau komedian?

Dalam kapasitas sebagai komunikator, mereka tidak bisa langsung disulap menjadi komika, roastinger. Namun, komunikasi dengan narasi bahasa yang cair, memancing tawa sedikit saja, itu sudah menjadi prestasi besar untuk mengubah ruang debat yang berdebar-debar menjadi ruang publik yang hingar-bingar oleh tawa hadirin.

Dalam konteks itu, panggung demokrasi tidak selalu dikesankan sangar, ajang pertarungan yang sakral.

Demokrasi biarkan hidup dengan canda-tawa karena menertawakan kekurangan di panggung demokrasi justru menjadikan pesta demokrasi menjadi hidup, meriah dan menarik.

Tag:  #menertawakan #demokrasi #dengan #roasting #sesama #capres

KOMENTAR