Pekerja Migran Ilegal adalah Korban Sistem yang Gagal
Jenazah Basri, Pekerja Migran Indonesia (PMI) asal Riau korban penembakan aparat maritim Malaysia tiba di terminal kargo Bandara SSK II Pekanbaru, Rabu (29/1/2025) sore. Keluarga pasrahkan kasus kepada pemerintah. (Tribunpekanbaru.com/Rizky Armanda)
09:12
1 Februari 2025

Pekerja Migran Ilegal adalah Korban Sistem yang Gagal

FAJAR baru saja menyingsing di perairan Tanjung Rhu, Selangor, Malaysia, ketika suara tembakan memecah ketenangan.

Lima pekerja migran Indonesia yang berusaha menyeberang perbatasan laut dengan perahu kecil tiba-tiba menjadi sasaran tembakan Agensi Penguatkuasaan Maritim Malaysia (APMM).

Dalam insiden tragis itu, satu orang tewas di tempat, sementara empat orang lainnya mengalami luka-luka.

Kabar kejadian ini dengan cepat menyebar ke Indonesia, memicu kemarahan dan gelombang protes di Jakarta.

Di depan Kedutaan Besar Malaysia Jakarta, puluhan demonstran berkumpul. Mereka berteriak menuntut keadilan, sementara telur-telur beterbangan menghantam pagar dan tembok gedung.

Suasana memanas, simbol kemarahan yang tak bisa lagi dibendung. Insiden ini kembali membuka luka lama tentang nasib pekerja migran Indonesia yang kerap menghadapi ketidakpastian dan perlakuan keras di negeri orang.

Menyikapi insiden tersebut, Presiden Prabowo Subianto langsung bertindak. Dalam pertemuan bilateral dengan Perdana Menteri Malaysia, Datuk Seri Anwar Ibrahim, Prabowo menegaskan pentingnya menertibkan persoalan ketenagakerjaan dan memperkuat kerja sama lintas negara.

Ia juga menyinggung secara khusus insiden penembakan ini, menuntut investigasi yang transparan dan akuntabel.

Di hadapan publik, Prabowo turut memberikan peringatan keras kepada warga negara Indonesia yang berniat bekerja di luar negeri. Ia menegaskan bahwa jalur ilegal bukanlah pilihan.

"Risiko menyelundup ke negara asing sangat fatal," ujar Prabowo.

Pemerintah, katanya, berkomitmen memperbaiki sistem tenaga kerja migran agar kasus serupa tidak kembali terulang.

Dari sisi Malaysia, Perdana Menteri Anwar Ibrahim juga mengambil langkah serius. Pada Jumat, 31 Januari 2025, ia memastikan pemerintahannya akan melakukan investigasi mendalam dan transparan terkait penembakan ini.

Ia telah menginstruksikan agar hasil penyelidikan sementara segera disampaikan ke Kedutaan Besar RI di Kuala Lumpur, sebagai bentuk tanggung jawab kepada pemerintah Indonesia.

Tragedi di perairan Tanjung Rhu bukanlah kejadian yang berdiri sendiri. Ia hanya satu dari sekian banyak kasus yang menimpa pekerja migran Indonesia di Malaysia.

Dari waktu ke waktu, cerita tentang kekerasan, eksploitasi, dan perlakuan tidak manusiawi terus bergulir, menciptakan luka mendalam dalam hubungan kedua negara.

Pekerja migran Indonesia yang bekerja di Malaysia sering kali menghadapi berbagai persoalan, mulai dari kekerasan fisik dan psikologis, eksploitasi tenaga kerja, hingga penahanan sewenang-wenang.

Kasus pemukulan, pelecehan seksual, serta intimidasi oleh majikan atau pihak berwenang bukan lagi hal asing dalam keseharian mereka.

Ketika melaporkan kejadian tersebut, mereka sering kali dihadapkan pada sistem hukum yang tidak berpihak, mempersempit peluang mendapatkan keadilan.

Selain itu, kondisi kerja yang tidak layak menjadi permasalahan utama. Banyak pekerja dipaksa bekerja dalam jam kerja panjang dengan upah rendah, tanpa perlindungan hukum yang memadai.

Jika terjadi kecelakaan atau masalah kesehatan, akses terhadap layanan medis sering kali sulit didapat, baik karena biaya yang tinggi maupun diskriminasi dalam pelayanan kesehatan.

Ketidakberdayaan ini semakin diperparah lemahnya perlindungan hukum terhadap pekerja migran.

Tak sedikit dari mereka yang juga terjebak dalam jerat pemalsuan identitas dan dokumen. Agen perekrutan yang tidak bertanggung jawab sering kali memberikan dokumen palsu, membuat pekerja berada dalam posisi rentan terhadap deportasi, bahkan kriminalisasi.

Sementara itu, penahanan oleh otoritas Malaysia atas tuduhan pelanggaran imigrasi kerap dilakukan tanpa mempertimbangkan aspek kemanusiaan.

Deportasi massal menjadi momok yang terus menghantui mereka yang bekerja di sektor informal atau tanpa dokumen resmi.

Kasus penembakan terhadap lima pekerja migran di perairan Malaysia hanyalah puncak dari gunung es persoalan yang lebih kompleks.

Kasus kematian mengingatkan ada risiko nyata yang harus ditanggung oleh mereka yang mencari penghidupan di negeri orang.

Bagi Indonesia dan Malaysia, tragedi ini seharusnya menjadi momentum untuk menata ulang kebijakan perlindungan pekerja migran, bukan sekadar merespons insiden secara reaktif setiap kali tragedi terjadi.

Kasus ini menjadi pengingat betapa rapuhnya perlindungan bagi pekerja migran yang menempuh jalan tak resmi.

Tragedi kemanusiaan ini bukan pertama kali terjadi. Banyak kasus-kasus serupa menimpa pekerja migran Indonesia bekerja di Malaysia.

Pada akhirnya, yang dipertaruhkan bukan hanya hubungan diplomatik kedua negara, tetapi juga nasib ratusan ribu pekerja migran Indonesia yang berharap bisa bekerja dengan aman dan bermartabat.

Tanpa perbaikan sistem dan penegakan hukum yang lebih adil, tragedi seperti di Tanjung Rhu akan terus terulang, menjadi bayang-bayang kelam bagi mereka yang sekadar ingin mencari nafkah.

Namun, sangat disayangkan kedua pemimpin negara tersebut tidak melihat insiden tersebut sebagai pelajaran, kenapa tragedi kemanusiaan sering terjadi.

Masih banyak warga Indonesia memilih berangkat ke Malaysia secara ilegal karena cepat dan mudah. Sementara warga Malaysia masih banyak menerima pekerja ilegal karena lebih mudah dan murah.

Estimasi jumlah Pekerja Migran Indonesia (PMI) ilegal di Malaysia bervariasi. Menurut data dari Kementerian Luar Negeri Indonesia pada 2020, terdapat sekitar 2,7 juta PMI di Malaysia. Sekitar 1,6 juta di antaranya melalui jalur resmi sementara sekitar 1,1 juta PMI bekerja secara ilegal.

Namun, Duta Besar Indonesia untuk Malaysia, Hermono, pada 2023 memperkirakan bahwa jumlah PMI ilegal di Malaysia mencapai 1,3 juta orang.

Perbedaan angka ini mencerminkan tantangan dalam memperoleh data akurat mengenai PMI ilegal, mengingat sifat migrasi yang tidak terdata dan dinamis.

Perbedaan pekerja migran ilegal dengan kasus ilegal lain

Ketika berbicara tentang pekerja migran ilegal, kita tidak dapat serta-merta menyamakan mereka dengan pelanggar hukum lainnya.

Ada perbedaan mendasar antara mereka yang mencari nafkah di negeri orang dengan mereka yang terlibat dalam aktivitas ilegal murni, seperti penyelundupan atau kejahatan terorganisir.

Presiden Prabowo perlu memahami bahwa pekerja migran ilegal bukan hanya sekadar pelanggar aturan keimigrasian, tetapi juga bagian dari fenomena sosial dan ekonomi yang lebih luas.

Berikut perbedaan pekerja ilegal dengan kasus ilegal lainnya.

Pertama, korban sistem yang melanggar hak asasi manusia dalam mendapatkan pekerjaan dan berimigrasi.

Pekerja migran ilegal tidak berangkat ke luar negeri untuk melakukan kejahatan, melainkan karena keterbatasan kesempatan kerja di dalam negeri.

Regulasi ketat dalam penempatan tenaga kerja dan tingginya biaya proses legal sering kali memaksa mereka mencari jalur pintas.

Sementara itu, kasus ilegal lainnya seperti perdagangan narkoba atau pencurian biasanya berakar pada motif kriminal atau pelanggaran hukum yang disengaja.

Ketika negara asal dan negara tujuan tidak memfasilitasi hak individu untuk mendapatkan pekerjaan secara sah, hal ini dapat dikategorikan sebagai pelanggaran hak asasi manusia.

Kedua, konsekuensi hukum yang berbeda. Meskipun memasuki suatu negara secara ilegal tetap melanggar hukum, konsekuensi bagi pekerja migran ilegal lebih bersifat administratif.

Mereka mungkin dideportasi, didenda, atau dilarang kembali ke negara tujuan dalam jangka waktu tertentu.

Berbeda dengan kasus ilegal lainnya, di mana pelanggar bisa menghadapi hukuman pidana berat, mulai dari denda besar hingga hukuman penjara yang lama.

Ketiga, dampak sosial dan ekonomi yang positif. Meski statusnya ilegal, pekerja migran tetap memberikan dampak ekonomi positif bagi negara asal.

Mereka mengirimkan remitansi yang mendukung perekonomian keluarga, bahkan berkontribusi pada stabilitas ekonomi nasional.

Sebaliknya, kasus ilegal lainnya, seperti pencucian uang atau perdagangan manusia, cenderung merugikan masyarakat dan tidak membawa manfaat ekonomi bagi negara asal.

Keempat, mendapat kepedulian publik. Negara asal dan aktivis kemanusiaan biasanya tidak tinggal diam terhadap nasib pekerja migran, meskipun mereka masuk secara ilegal.

Upaya penanganan sering dilakukan untuk melindungi mereka dari eksploitasi atau penyalahgunaan wewenang di negara tujuan.

Berbeda dengan pelaku kasus ilegal lainnya. Jika mereka tertangkap di luar negeri, umumnya tidak mendapat pembelaan dari publik.

Pada akhirnya, meskipun pekerja migran ilegal melanggar aturan keimigrasian, mereka bukanlah kriminal dalam pengertian konvensional.

Ada faktor ekonomi, sosial, dan kebijakan yang turut berperan dalam menciptakan kondisi yang memaksa mereka mencari jalan alternatif.

Oleh karena itu, pendekatan terhadap pekerja migran ilegal seharusnya lebih humanis, bukan hanya sekadar represif.

Reformasi tata kelola ketenagakerjaan

Tragedi kemanusiaan yang terjadi di perairan Tanjung Rhu, dengan penembakan terhadap pekerja migran ilegal, bukan hanya sekadar peristiwa yang menyayat hati.

Lebih dari itu, insiden ini mencerminkan kegagalan sistem yang dibangun oleh Indonesia dan Malaysia, dua negara yang seharusnya memiliki komitmen lebih dalam melindungi hak-hak pekerja migran.

Selama ini, kerja sama ketenagakerjaan antara kedua negara seringkali hanya menjadi wacana kosong, tanpa ada upaya nyata untuk memberikan perlindungan memadai bagi tenaga kerja.

Di lapangan, kenyataan yang terungkap jauh lebih pahit. Banyak warga Indonesia yang terpaksa memilih jalur ilegal untuk bekerja di Malaysia.

Proses yang lebih cepat dan mudah menjadi daya tarik utama, meskipun risiko yang harus dihadapi sangat besar.

Di sisi lain, pengusaha Malaysia cenderung menerima pekerja ilegal karena mereka dianggap lebih murah dan tidak menuntut banyak hal.

Hal ini menciptakan situasi yang saling menguntungkan bagi mereka yang terlibat dalam sistem ilegal.

Sementara para pekerja yang terjebak dalam lingkaran ini harus membayar harga yang sangat mahal—baik dalam bentuk pelanggaran hak asasi manusia maupun nyawa yang hilang.

Sistem penempatan tenaga kerja yang ada saat ini jelas gagal mengakomodasi realitas pasar kerja yang ada. Bukannya mempermudah proses migrasi, sistem ini justru menciptakan berbagai hambatan.

Prosedur berbelit-belit, regulasi rumit, dan ketidakjelasan status hukum seringkali memaksa banyak pekerja untuk memilih jalur pintas yang berisiko tinggi.

Ketika mereka terjebak dalam sistem yang salah, negara, baik Indonesia maupun Malaysia, lebih banyak berpura-pura tidak tahu, seolah tak ada yang perlu diperbaiki.

Adanya mindset keliru yang berkembang di tengah birokrasi: Berangkat secara legal pasti memakan waktu lama dan penuh dengan persyaratan, sementara berangkat ilegal dianggap cepat dan mudah.

Jalur legal sebenarnya dapat dipercepat dengan adanya kelembagaan dan regulasi yang lebih efisien, yang dapat mengurangi waktu tunggu dan mempermudah proses, tanpa mengorbankan perlindungan terhadap pekerja.

Untuk itu, sudah saatnya bagi pemerintah Indonesia dan Malaysia untuk berhenti berperan sebagai pemadam kebakaran—hanya datang saat ada tragedi.

Kedua negara harus mengambil langkah nyata dengan merumuskan sistem ketenagakerjaan yang lebih responsif dan cepat. Paling penting, memberikan perlindungan memadai bagi pekerja migran.

Jika mereka gagal, maka rakyat, baik di Indonesia maupun di Malaysia, akan terus menjadi korban dari sistem yang gagal total ini.

Masalah ini bukan hanya soal moralitas, tetapi juga persoalan ekonomi yang terkait erat dengan hukum dasar supply and demand. Malaysia membutuhkan pekerja, sementara Indonesia membutuhkan lapangan kerja.

Namun, selama kedua negara tidak menyusun sistem yang lebih adaptif, tragedi seperti ini akan terus berulang. Penembakan, pelanggaran hak asasi manusia, dan kecelakaan tragis lainnya akan terus terjadi.

Jika tata kelola yang dibangun benar, maka mayoritas pekerja akan menggunakan jalur resmi. Dalam sistem yang ideal, pelanggaran hanya akan terjadi pada angka yang sangat kecil, tidak lebih dari lima persen.

Namun kenyataannya, sekitar 60 persen lebih pekerja migran Indonesia di Malaysia masuk secara ilegal. Angka ini bukan anomali, melainkan bukti nyata bahwa sistem yang ada telah gagal total.

Sistem yang rumit, dengan syarat kompetensi tinggi dan kontrak kerja yang panjang, seringkali justru menjadi lahan subur bagi praktik mafia penempatan tenaga kerja dan perdagangan orang.

Bukannya memberikan perlindungan, sistem ini malah memperburuk keadaan, menciptakan jalur-jalur gelap yang lebih banyak menguntungkan para pelaku kejahatan ketimbang pekerja itu sendiri.

Presiden Prabowo Subianto dan Perdana Menteri Anwar Ibrahim tidak bisa lagi berdiam diri atau hanya muncul saat tragedi besar terjadi.

Mereka harus bertindak sekarang, bukan hanya memandang akibat yang ditimbulkan dari pekerja migran ilegal.

Reformasi tata kelola hubungan ketenagakerjaan antara kedua negara harus segera dilakukan. Tata kelola ketenagakerjaan yang lebih sesuai dengan kenyataan di lapangan—yang lebih cepat, lebih mudah, dan lebih adil—harus segera dibentuk.

Reformasi ini bukan lagi sekadar pilihan, tetapi sebuah keharusan. Jika tidak, maka tragedi ini akan terus berulang.

Setiap kali itu terjadi, kita akan terus menambah daftar panjang korban dari sistem yang gagal.

Tag:  #pekerja #migran #ilegal #adalah #korban #sistem #yang #gagal

KOMENTAR