6 Kepribadian Orang yang Gemar Mencari Validasi Lewat Media Sosial Menurut Psikologi
Ilustrasi media sosial. (freepik.com)
10:26
24 November 2024

6 Kepribadian Orang yang Gemar Mencari Validasi Lewat Media Sosial Menurut Psikologi

 


Media sosial telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan modern.

Seperti yang kita lihat, media sosial kini menjadi tempat bagi banyak orang untuk berbagi cerita, pencapaian, atau sekadar kehidupan sehari-hari.

Namun menurut psikologi, ada sebagian orang yang menggunakan platform ini untuk mencari validasi dari orang lain.

Perilaku ini sering kali dipengaruhi oleh karakter atau kepribadian tertentu yang haus akan pengakuan dan penerimaan.

Seperti dikutip dari Geediting, ternyata inilah enam tipe kepribadian orang yang cenderung mencari validasi lewat media sosial dan memamerkan kebaikan yang dilakukan.

1. Butuh Perhatian

Dalam dunia yang penuh dengan kamera dan koneksi internet, orang-orang tertentu memandang kebaikan sebagai panggung untuk menonjolkan diri.

Aksi mereka tidak hanya dilakukan, tetapi juga diabadikan dengan detail yang mencolok.

Foto atau video sering diunggah dengan caption yang sengaja dirancang untuk memancing pujian dan simpati.

Motivasi ini terlihat jelas dari cara mereka memastikan bahwa setiap langkah kebaikan yang dilakukan terekam dan tersebar ke sebanyak mungkin penonton.

Misalnya, seseorang memberikan donasi kepada orang yang membutuhkan, tetapi proses pemberian tersebut direkam dari berbagai sudut kamera.

Jika tidak ada penonton, motivasi mereka untuk melakukan kebaikan tersebut akan berkurang secara drastis.

Dalam situasi ini, perhatian publik bukan sekadar bonus, tetapi menjadi alasan utama di balik tindakan mereka.

Tanpa reaksi dari media sosial, semangat mereka untuk "berbuat baik" biasanya memudar.

2. Butuh Validasi Secara Konstan

Orang yang berbuat baik demi popularitas sering kali haus akan validasi dari lingkungan sekitar.

Setiap komentar positif, jumlah like, atau share dari unggahan mereka menjadi semacam pengakuan yang memperkuat rasa diri.

Hal ini menjadikan mereka sangat bergantung pada respons publik untuk membangun kepercayaan diri dan citra sosial.

Sebagai contoh, setelah memposting video aksi sosial, mereka terus memantau respons audiens.

Jika postingan tersebut tidak mendapatkan perhatian yang cukup, mereka merasa kecewa bahkan cemas.

Bagi mereka, validasi menjadi bahan bakar utama untuk tetap melakukan tindakan "baik".

Namun, masalah muncul ketika fokus mereka bergeser dari membantu orang lain ke mengejar pengakuan.

Aksi yang seharusnya tulus berubah menjadi ajang pencarian validasi semata, dan tujuan membantu menjadi sekadar alat untuk mencapai pengakuan sosial.

3. Niat atau Kebaikan yang Dangkal

Meski tidak bisa dipukul rata, namun di balik aksi kebaikan yang dilakukan orang-orang di media sosial tidak jarang memiliki niat cukup dangkal.

Mereka mungkin terlihat peduli, tetapi hubungan emosional dengan aksi tersebut biasanya minim.

Fokus utama adalah bagaimana tindakan mereka terlihat, bukan dampak nyata dari perbuatan tersebut, atau bahkan hanya untuk mencari keuntungan dari konten yang di bagikan.

Misalnya, seseorang mungkin menyumbangkan makanan kepada kaum marginal, tetapi lebih peduli pada pose sempurna di depan kamera atau insight media daripada memastikan bahwa makanan tersebut benar-benar membantu.

Kebaikan mereka cenderung hanya sampai di permukaan, tanpa komitmen untuk memberikan dampak yang lebih berarti.

Hal ini menjadi paradoks, di mana aksi yang dirancang untuk menunjukkan "kepedulian" sebenarnya minim empati.

Motivasi untuk tampil baik mengalahkan niat untuk benar-benar berbuat baik.

4. Sikap Kompetitif yang Tidak Sehat

Persaingan untuk menjadi yang paling "baik" di media sosial sering kali memunculkan sisi kompetitif yang tidak sehat.

Orang-orang ini cenderung membandingkan diri mereka dengan individu lain yang juga mempublikasikan aksi sosial.

Mereka ingin menjadi yang paling menonjol, bahkan dalam konteks yang seharusnya murni untuk kepentingan bersama.

Ketika seseorang mendapatkan lebih banyak pujian atau perhatian, mereka merasa iri dan tidak puas.

Sebagai contoh, jika ada orang lain yang memposting aksi kebaikan dan mendapatkan ribuan like, mereka mungkin merasa terancam dan segera merancang aksi yang lebih besar.

Fokus mereka adalah pencitraan, bukan dampak positif dari tindakan itu sendiri.

5. Kurang Empati

Empati sering kali menjadi korban ketika tujuan utama adalah popularitas.

Orang yang berbuat baik demi sorotan biasanya tidak terlalu peduli pada kebutuhan atau perasaan orang yang mereka bantu.

Misalnya, mereka mungkin mempublikasikan foto seseorang yang sedang dalam kondisi sulit tanpa meminta izin.

Foto itu diunggah dengan caption dramatis untuk menarik simpati dari audiens, tetapi tanpa memikirkan dampak psikologis bagi orang yang difoto.

Tindakan seperti ini menunjukkan kurangnya penghargaan terhadap privasi dan martabat individu yang dibantu.

Empati sejati, yang seharusnya menjadi inti dari aksi kebaikan, tersisihkan oleh ambisi untuk mendapatkan pengakuan.

6. Egois

Pada akhirnya, semua tindakan kebaikan yang mereka lakukan bermuara pada satu hal: keuntungan pribadi.

Keinginan untuk dikenal sebagai "orang baik" sering kali menjadi motivasi utama, sementara dampak nyata dari perbuatan tersebut hanya menjadi aspek sampingan.

Mereka menggunakan kebaikan sebagai alat untuk membangun citra diri yang positif, meningkatkan popularitas, atau bahkan mendapatkan keuntungan finansial.

Sebagai contoh, beberapa influencer mungkin mendapatkan sponsor atau pendapatan dari unggahan yang menunjukkan aksi sosial mereka.

Hal ini membuat esensi dari perbuatan baik menjadi kabur. Fokus utama adalah diri sendiri, bukan manfaat bagi orang lain.

Akibatnya, tindakan kebaikan tersebut kehilangan makna dan hanya menjadi bentuk pencitraan kosong.


***

Editor: Novia Tri Astuti

Tag:  #kepribadian #orang #yang #gemar #mencari #validasi #lewat #media #sosial #menurut #psikologi

KOMENTAR