75
Ilustrasi yang suka bermain sosial media. (Freepik)
09:54
23 November 2024
Fenomena Pencitraan: 6 Sifat Orang yang Mencari Popularitas Lewat Media Sosial
Dalam era digital, melakukan perbuatan baik tidak lagi sekadar soal membantu orang lain atau memberi manfaat bagi sesama.
Semakin banyak orang yang memanfaatkan kebaikan sebagai sarana untuk mendapatkan popularitas di media sosial. Foto aksi sosial dengan caption penuh inspirasi atau video momen mengharukan sering kali lebih dimaksudkan untuk menarik perhatian, bukan sekadar membantu dengan tulus.Tentu tidak ada yang salah dengan membagikan kebaikan, terutama jika itu dapat menginspirasi orang lain. Namun, apa yang terjadi ketika niat di balik kebaikan itu tidak sepenuhnya tulus? Orang-orang yang melakukan perbuatan baik hanya demi popularitas cenderung memiliki pola perilaku tertentu yang mencerminkan tujuan mereka sebenarnya. Dilansir dari Geediting.com, inilah enam kepribadian yang sering dimiliki oleh mereka yang menggunakan kebaikan sebagai alat untuk eksistensi di dunia maya.
1. Mencari Perhatian adalah Tujuan Utama
Dalam dunia yang penuh dengan kamera dan koneksi internet, orang-orang tertentu memandang kebaikan sebagai panggung untuk menonjolkan diri. Aksi mereka tidak hanya dilakukan, tetapi juga diabadikan dengan detail yang mencolok. Foto atau video sering diunggah dengan caption yang sengaja dirancang untuk memancing pujian dan simpati.
Motivasi ini terlihat jelas dari cara mereka memastikan bahwa setiap langkah kebaikan yang dilakukan terekam dan tersebar ke sebanyak mungkin penonton. Misalnya, seseorang memberikan donasi kepada orang yang membutuhkan, tetapi proses pemberian tersebut direkam dari berbagai sudut kamera.
Jika tidak ada penonton, motivasi mereka untuk melakukan kebaikan tersebut akan berkurang secara drastis. Dalam situasi ini, perhatian publik bukan sekadar bonus, tetapi menjadi alasan utama di balik tindakan mereka. Tanpa reaksi dari media sosial, semangat mereka untuk "berbuat baik" biasanya memudar.
2. Butuh Validasi Secara Konstan
Orang yang berbuat baik demi popularitas sering kali haus akan validasi dari lingkungan sekitar. Setiap komentar positif, jumlah like, atau share dari unggahan mereka menjadi semacam pengakuan yang memperkuat rasa diri. Hal ini menjadikan mereka sangat bergantung pada respons publik untuk membangun kepercayaan diri dan citra sosial.
Sebagai contoh, setelah memposting video aksi sosial, mereka terus memantau respons audiens. Jika postingan tersebut tidak mendapatkan perhatian yang cukup, mereka merasa kecewa bahkan cemas. Bagi mereka, validasi menjadi bahan bakar utama untuk tetap melakukan tindakan "baik".
Namun, masalah muncul ketika fokus mereka bergeser dari membantu orang lain ke mengejar pengakuan. Aksi yang seharusnya tulus berubah menjadi ajang pencarian validasi semata, dan tujuan membantu menjadi sekadar alat untuk mencapai pengakuan sosial.
3. Seringkali Dangkal dalam Niat
Di balik aksi yang tampak mulia, tidak jarang niat mereka sebenarnya dangkal. Mereka mungkin terlihat peduli, tetapi hubungan emosional dengan aksi tersebut biasanya minim. Fokus utama adalah bagaimana tindakan mereka terlihat, bukan dampak nyata dari perbuatan tersebut.
Misalnya, seseorang mungkin menyumbangkan makanan kepada kaum marginal, tetapi lebih peduli pada pose sempurna di depan kamera daripada memastikan bahwa makanan tersebut benar-benar membantu. Kebaikan mereka cenderung hanya sampai di permukaan, tanpa komitmen untuk memberikan dampak yang lebih berarti.
Hal ini menjadi paradoks, di mana aksi yang dirancang untuk menunjukkan "kepedulian" sebenarnya minim empati. Motivasi untuk tampil baik mengalahkan niat untuk benar-benar berbuat baik.
4. Sikap Kompetitif yang Tidak Sehat
Persaingan untuk menjadi yang paling "baik" di media sosial sering kali memunculkan sisi kompetitif yang tidak sehat. Orang-orang ini cenderung membandingkan diri mereka dengan individu lain yang juga mempublikasikan aksi sosial.
Mereka ingin menjadi yang paling menonjol, bahkan dalam konteks yang seharusnya murni untuk kepentingan bersama. Ketika seseorang mendapatkan lebih banyak pujian atau perhatian, mereka merasa iri dan tidak puas.
Sebagai contoh, jika ada orang lain yang memposting aksi kebaikan dan mendapatkan ribuan like, mereka mungkin merasa terancam dan segera merancang aksi yang lebih besar. Fokus mereka adalah pencitraan, bukan dampak positif dari tindakan itu sendiri.
5. Kurang Empati pada Orang yang Dibantu
Empati sering kali menjadi korban ketika tujuan utama adalah popularitas. Orang yang berbuat baik demi sorotan biasanya tidak terlalu peduli pada kebutuhan atau perasaan orang yang mereka bantu.
Misalnya, mereka mungkin mempublikasikan foto seseorang yang sedang dalam kondisi sulit tanpa meminta izin. Foto itu diunggah dengan caption dramatis untuk menarik simpati dari audiens, tetapi tanpa memikirkan dampak psikologis bagi orang yang difoto.
Tindakan seperti ini menunjukkan kurangnya penghargaan terhadap privasi dan martabat individu yang dibantu. Empati sejati, yang seharusnya menjadi inti dari aksi kebaikan, tersisihkan oleh ambisi untuk mendapatkan pengakuan.
6. Cenderung Egois dalam Motivasinya
Pada akhirnya, semua tindakan kebaikan yang mereka lakukan bermuara pada satu hal: keuntungan pribadi. Keinginan untuk dikenal sebagai "orang baik" sering kali menjadi motivasi utama, sementara dampak nyata dari perbuatan tersebut hanya menjadi aspek sampingan.
Mereka menggunakan kebaikan sebagai alat untuk membangun citra diri yang positif, meningkatkan popularitas, atau bahkan mendapatkan keuntungan finansial. Sebagai contoh, beberapa influencer mungkin mendapatkan sponsor atau pendapatan dari unggahan yang menunjukkan aksi sosial mereka.
Hal ini membuat esensi dari perbuatan baik menjadi kabur. Fokus utama adalah diri sendiri, bukan manfaat bagi orang lain. Akibatnya, tindakan kebaikan tersebut kehilangan makna dan hanya menjadi bentuk pencitraan kosong.
***
Editor: Novia Tri Astuti
Tag: #fenomena #pencitraan #sifat #orang #yang #mencari #popularitas #lewat #media #sosial