Tantangan Komunikasi di 2026: Semua Bisa Viral, Tapi Tidak Semua Bisa Bermakna
Indonesia Marketing Communication Outlook 2026. (Dok. MIX)
17:08
15 Desember 2025

Tantangan Komunikasi di 2026: Semua Bisa Viral, Tapi Tidak Semua Bisa Bermakna

Baca 10 detik
  • Indonesia Marketing Communication Outlook 2026 di Jakarta menyoroti dominasi konten taktis di media sosial brand.
  • Para ahli menegaskan bahwa AI adalah alat pendukung, bukan pengganti empati dan visi strategis brand.
  • Industri sepakat pentingnya konsistensi pesan terintegrasi dan relevansi empatik di tengah perilaku konsumen yang berubah.

Di era AI dan algoritma yang serba cepat, brand hari ini hidup dalam tekanan konstan: harus relevan, harus viral, harus muncul setiap hari di feed audiens.

Konten diproduksi kilat, format makin seragam, dan tujuan jangka panjang sering kali terpinggirkan. Yang ramai menang, yang bermakna sering tertinggal.

Fenomena ini jadi sorotan utama dalam Indonesia Marketing Communication Outlook 2026, yang digelar MIX MarComm dari SWA Media Group, Kamis (11/12/2025) di LSPR Institute of Communication & Business, Jakarta.

Lewat riset digital listening menggunakan Ripple10 dari Ivosights, terlihat pola yang cukup mencolok: kampanye brand yang paling hidup di media sosial justru didominasi konten-konten taktis—promo konsumen, tutorial singkat, event recap, hingga testimoni.

Sebaliknya, video kampanye strategis yang bicara soal nilai, visi, dan positioning brand hampir tak terdengar gaungnya.

Padahal, data ini dikumpulkan dari empat industri besar—personal care, telko & ISP, perbankan, hingga transportasi—di platform yang paling akrab dengan keseharian digital kita: YouTube dan Instagram.

Pertanyaannya pun mengemuka: apakah brand kini sepenuhnya dikendalikan algoritma yang menuntut kecepatan dan kuantitas? Atau justru ini momen bagi brand untuk kembali memegang kendali—menghadirkan konten yang lebih kreatif, lebih manusiawi, dan punya makna jangka panjang?

Dalam forum ini, para pelaku industri sepakat pada satu hal penting: teknologi adalah alat, bukan pengganti jiwa brand.

Desniar Budi, Client President WPP Media, menegaskan bahwa AI memang membuka peluang personalisasi luar biasa, tapi tidak bisa menggantikan empati dan visi.

“AI hanya memperkuat. Kreativitas dan pemahaman manusia tetap pembeda sejati,” ujarnya.

Nada serupa disampaikan Dr. Ardi Wirdamulia dari Prompt Research. Di tengah fragmentasi kanal dan banjir konten, ia menekankan pentingnya pesan yang terintegrasi dan strategi yang konsisten. Tanpa itu, brand mudah kehilangan arah—terlihat aktif, tapi tak benar-benar hadir di benak audiens.

Sementara itu, Kristyanto dari Ivosights mengingatkan bahwa konsumen kini bergerak bebas lintas channel—online, offline, sosial media, hingga website. Brand dituntut hadir mulus di setiap titik interaksi, bukan sekadar muncul di satu platform.

Dari sisi perilaku konsumen, Haris Fajar Rahmanto (Illuminate Asia) memaparkan realitas yang juga terasa di kehidupan sehari-hari: konsumen Indonesia makin defensif.

Pengeluaran gaya hidup ditekan, prioritas bergeser ke kebutuhan pokok. Artinya, brand bukan hanya ditantang untuk kreatif, tapi juga relevan secara empatik dengan kondisi audiensnya.

Sejalan dengan outlook ini, MIX MarComm juga kembali menggelar Indonesia Brand Communication Excellence 2025—ajang tahunan yang memberi apresiasi pada brand-brand yang dinilai mampu menjaga konsistensi makna di tengah hiruk-pikuk algoritma.

Bukan sekadar soal viral, tapi soal bagaimana brand dirawat, dijaga, dan dikembangkan secara strategis oleh para “brand guardian”-nya.

Di tengah dunia yang makin cepat dan serba instan, forum ini seperti pengingat: bahwa komunikasi brand, seperti hidup, tak bisa hanya mengejar angka. Ada nilai, cerita, dan arah yang tetap perlu dijaga—agar brand tak sekadar terlihat, tapi juga terasa.

Editor: Vania Rossa

Tag:  #tantangan #komunikasi #2026 #semua #bisa #viral #tapi #tidak #semua #bisa #bermakna

KOMENTAR