Manusia Angka: Refleksi Akhir Tahun di Cengkeraman Algoritma
Ilustrasi media sosial(Freepik)
10:25
9 Desember 2025

Manusia Angka: Refleksi Akhir Tahun di Cengkeraman Algoritma

DESEMBER selalu menjadi bulan yang penuh kontras. Di satu sisi, ini adalah momen perayaan yang riuh; penuh dengan agenda tukar kado Natal, rencana liburan keluarga, pesta bakar jagung, hingga kesibukan mengejar deadline laporan tutup buku di kantor. Namun, di tengah hiruk-pikuk pesta pora dan tumpukan pekerjaan tersebut, satu dekade terakhir memunculkan ritual baru yang tak kalah bising di ruang digital kita.

Baru saja memasuki pekan pertama Desember, media sudah menyajikan artikel populer bertajuk "50 Kutipan Kenangan Tahun 2025 untuk Status Media Sosial". Fenomena ini seolah menjadi peluit dimulainya musim "panen raya" konten akhir tahun.

Kita tidak lagi diminta untuk merenung dalam sunyi, melainkan didorong secara halus namun masif untuk segera memaketkan kenangan setahun ke dalam caption ringkas yang siap tayang. Desember bukan lagi sekadar bulan penutup kalender, ia telah bertransformasi menjadi ritual datafikasi massal.

Linimasa media sosial kita mulai dibanjiri infografis warna-warni keluaran korporasi: lagu yang paling sering didengar (Spotify Wrapped), rekap belanja daring, total jarak lari (Strava Year in Sport), hingga kolase foto terbaik (Instagram Recap).

Dalam kacamata Ilmu Komunikasi, fenomena ini menarik untuk dibedah. Refleksi akhir tahun yang dulunya bersifat kontemplatif di sela-sela kesibukan, kini berubah menjadi komunikasi massa yang performatif. Tanpa kita sadari, kita sedang merayakan apa yang disebut oleh Deborah Lupton sebagai The Quantified Self—sebuah kondisi kultural di mana eksistensi dan pencapaian manusia divalidasi semata-mata oleh angka-angka.

Pertanyaannya kemudian: ketika kita sibuk membagikan statistik aplikasi di sela-sela pesta akhir tahun, apakah kita benar-benar sedang merefleksikan diri, atau sekadar melakukan pertunjukan panggung di hadapan audiens digital?

Mediasi Rasa dan Matinya Intuisi

Masalah pertama yang muncul dari tren ini adalah pergeseran otoritas "rasa". Dalam studi komunikasi digital, kita mengenal konsep mediasi: teknologi bukan sekadar alat netral, melainkan perantara yang membentuk cara kita memahami realitas.

Hari ini, pemahaman kita tentang diri sendiri (self-concept) semakin dimediasi oleh algoritma. Kita pelan-pelan menyerahkan otoritas untuk menceritakan siapa diri kita kepada mesin. Kita merasa perlu menunggu laporan algoritma musik untuk mengetahui selera kita sendiri. Kita menunggu laporan jam tangan pintar (smartwatch) untuk memvalidasi seberapa lelah tubuh kita setelah setahun bekerja keras.

Terjadi proses pengalihan rasa (outsourcing of sensation). Validitas perasaan subjektif manusia ("Saya merasa tahun ini cukup bahagia") menjadi runtuh dan tidak sah sebelum data objektif menunjukkan grafik pencapaian yang positif. Algoritma kini berperan sebagai juru tafsir emosi kita. Kita tidak lagi percaya pada intuisi, melainkan tunduk pada hitungan mesin.

Bahaya laten dari fenomena ini adalah reduksionisme pengalaman manusia. Hidup yang kaya, rumit, dan penuh nuansa emosional, dipangkas habis-habisan (flattened) menjadi sekadar deretan grafik batang yang dingin.

Panggung Depan dan Jebakan Citra

Ketika kita membagikan "Raport Digital" ini ke Instagram Story atau status WhatsApp, kita tidak sedang berbagi memori murni. Kita sedang melakukan apa yang disebut Erving Goffman dalam teori dramaturgi sebagai pengelolaan kesan (impression management). Kita sedang menata "Panggung Depan" (Front Stage) kita.

Data-data yang kita pilih untuk dibagikan adalah data yang telah dikurasi untuk membangun citra diri tertentu. Kita memamerkan selera musik indie untuk terlihat berbudaya (modal kultural). Kita memamerkan jarak lari untuk terlihat bugar di mata kolega. Kita memamerkan rekap perjalanan (travel recap) untuk menegaskan status ekonomi.

Tentu, tidak ada yang salah dengan personal branding. Di era digital yang kompetitif, jejak digital adalah portofolio modern. Seorang profesional butuh validasi publik untuk menjaga relevansi karier. Namun, garis batasnya menjadi kabur ketika "kemasan" mulai mengkanibal "isi".

Masalah timbul ketika kita melakukan sesuatu hanya demi data yang bisa dipamerkan, bukan demi kenikmatan atau makna kegiatan itu sendiri. Mentalitas performatif ini menjadi berbahaya ketika menular ke ranah publik. Tidak hanya warga biasa yang sibuk memoles citra, para pejabat publik kita pun terjangkit sindrom yang sama.

Lihatlah bagaimana setiap kali ada bencana, para elite berlomba hadir bukan untuk bekerja dalam senyap, melainkan untuk berfoto di titik bencana demi konten. Di sini, logika algoritma menumpulkan empati: bantuan belum tentu sampai, tapi dokumentasi "kepedulian" sudah tayang duluan.

Baik profesional yang membangun citra maupun pejabat yang "cari panggung", keduanya menghadapi risiko yang sama: terjebak pada validasi eksternal. Kita menjadi cemas jika statistik tahunan kita "biasa saja" atau kalah mentereng dibandingkan orang lain. Akibatnya, makna "refleksi" bergeser: dari "melihat ke dalam" (introspeksi) untuk perbaikan diri, menjadi "dilihat dari luar" (ekshibisi) untuk tepuk tangan.

Bias Memori dalam Taman Bertembok

Lebih jauh lagi, ketergantungan pada rekapitulasi platform menciptakan bias memori yang serius. Marshall McLuhan pernah berkata, "The medium is the message". Dalam konteks ini, medium (aplikasi) menentukan pesan apa yang kita ingat tentang hidup kita.

Masalahnya, platform digital beroperasi dalam ekosistem "taman bertembok" (walled garden). Mereka hanya merekam apa yang kita lakukan di dalam aplikasi mereka, demi kepentingan monetisasi data. Akibatnya, memori kita tentang tahun 2025 menjadi terdistorsi. Momen-momen paling bermakna dalam hidup sering kali terjadi secara analog dan luput dari sensor gawai.

Kehangatan makan malam bersama keluarga besar, tawa lepas saat pesta bakar jagung di kampung halaman, atau keheningan khusyuk saat beribadah—semua itu tidak meninggalkan jejak digital (digital footprint).

Ketika kita membiarkan algoritma mendikte narasi "Setahun Kemarin", momen-momen analog tersebut perlahan terhapus dari ingatan kolektif karena tidak ada grafiknya. Kita menghadapi risiko amnesia komunikasi: jika tidak ada datanya, maka dianggap tidak pernah terjadi.

Algoritma menjadi kurator tunggal sejarah hidup kita, dan kurator ini bekerja bukan demi kesehatan mental kita, melainkan demi angka keterlibatan (engagement) pengguna.

Merebut Kembali Otonomi Narasi

Tulisan ini bukan ajakan antiteknologi untuk menghapus semua aplikasi. Data tentu berguna sebagai alat bantu komunikasi untuk memantau kemajuan diri. Namun, kita perlu meletakkan data pada tempatnya yang proporsional: sebagai alat bantu, bukan penentu nilai diri.

Di penghujung 2025 ini, di tengah riuh rendah perayaan tahun baru, mari lakukan eksperimen komunikasi kecil. Sebelum menekan tombol "Share" pada laporan tahunan aplikasi Anda, luangkan waktu sejenak untuk mengingat satu momen berharga yang luput dari rekaman mesin. Ingat kembali kegagalan yang tidak tercatat di LinkedIn, atau kebahagiaan sederhana yang tidak "instagrammable".

Kita perlu merebut kembali kedaulatan atas narasi hidup kita. Menjadi manusia di era digital berarti berani mengakui bahwa bagian terbaik dari diri kita sering kali adalah hal-hal yang tidak bisa dihitung. Jangan sampai kita menjadi "Manusia Angka" yang kaya data tapi miskin makna. Biarkan algoritma menghitung apa yang bisa dihitung, tapi biarkan hati nurani yang menilai apa yang benar-benar berharga.

Tag:  #manusia #angka #refleksi #akhir #tahun #cengkeraman #algoritma

KOMENTAR