Rahim Copot, Salah Satu Risiko Melahirkan di Dukun Beranak
- Kasus “rahim copot” yang ramai dibicarakan belakangan ini, menjadi salah satu contoh ekstrem akan risiko melahirkan di paraji atau dukun beranak yang tidak berkompeten.
Menurut dr. Ni Komang Yeni DS, Sp.OG, MM, MARS, hal tersebut tidak akan terjadi apabila ibu melahirkan di bidan atau dokter kandungan. Meskipun plasenta sulit keluar dengan sendirinya, tenaga kesehatan yang mumpuni tidak akan menarik paksa keluar plasenta tersebut.
“Kasus plasenta sulit keluar sendiri selalu ada, namanya retensi plasenta. Kalau bidan atau dokter yang melakukan persalinan, tidak akan mungkin dibetot (ditarik paksa dengan kekuatan penuh). Biasanya dirujuk ke penyedia kesehatan yang lebih tinggi,” tutur dr. Yeni saat dihubungi Kompas.com pada Kamis (20/11/2025).
Berapa lama plasenta keluar setelah melahirkan?
Menurut dr. Yeni, umumnya plasenta akan keluar dengan sendirinya maksimal 30 menit setelah bayi lahir, melalui kontraksi yang sama seperti akan melahirkan.
Sepanjang durasi tersebut, bidan atau dokter tidak akan berdiam diri menunggu plasenta keluar. Mereka akan melihat apakah kontraksinya baik atau tidak.
“Kalau kontraksinya kurang, kami tambah obat untuk kontraksi. Kami juga akan periksa denyut jantung ibu, tensi, nadi, dan lain sebagainya supaya jangan sampai terjadi perdarahan atau hal lain di dalam,” jelas dr. Yeni.
Plasenta ditarik pada beberapa kasus
Seperti yang disebutkan sebelumnya, retensi plasenta memungkinkan plasenta untuk tidak keluar dalam waktu 30 menit setelah ibu melahirkan.
Dikutip dari situs web Direktorat Jenderal Kesehatan Lanjutan (Ditjen Keslan) yang dikelola oleh Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (Kemenkes RI), Minggu (23/11/2025), retensi plasenta dibagi menjadi beberapa jenis.
Pertama adalah retensi plasenta jenis placenta adherens, yakni ketika kontraksi rahim tidak cukup kuat untuk mengeluarkan plasenta karena ibu kelelahan setelah melahirkan. Kedua adalah plasenta akreta.
Ilustrasi ruang persalinan.
Plasenta akreta terjadi ketika plasenta tumbuh terlalu dalam di dinding rahim, sehingga kontraksi saja tidak cukup untuk mengeluarkannya. Ketika adalah trapped placenta, yaitu ketika plasenta sudah terlepas dari dinding rahim, tetapi belum keluar karena menutupnya leher rahim sebelum plasenta bisa keluar.
“Plasenta itu dia lepas sendiri. Kalau ditarik, karena memang kami bantu saja. Tapi, ada tekniknya supaya rahim tidak ikut turun. Dan kami menarik plasenta perlahan, dan rahim ditahan di atas supaya tidak ikut turun,” tutur dr. Yeni.
“Dampak plasenta keluar dipaksa pastinya terjadi perdarahan kemungkinan besar, dan efeknya kalau ditarik pasti inversio uteri,” lanjut dia.
Sebagai informasi, inversio uteri adalah kondisi ketika rahim turun dan menonjol keluar vagina karena berbagai faktor, salah satunya adalah proses persalinan yang tidak ditangani oleh tenaga kesehatan yang sudah ahli, seperti bidan atau dokter kandungan.
Proses persalinan yang tidak ditangani oleh bidan atau dokter kandungan bisa membahayakan ibu dan janin, dengan kasus “rahim copot” sebagai contoh ekstrem yang bisa membahayakan ibu.
Ramai kasus rahim copot di dalam kantung kresek
Sebelumnya, dalam sebuah podcast, dr. Gia Pratama menceritakan bahwa seorang laki-laki pernah datang membawa sebuah kantong kresek. Setelah dicek, menurut dr. Gia, isi kantong tersebut diduga adalah rahim.
Menurut penjelasannya, kondisi itu terjadi setelah persalinan yang ditangani dukun beranak yang menarik paksa plasenta. Padahal, plasenta sebenarnya dapat lahir sendiri dalam waktu tertentu tanpa perlu ditarik.
Dihubungi secara terpisah oleh Kompas.com pada Selasa (18/11/2025), dr. Christofani yang kini bertugas di Siloam Hospitals Lippo Village mengatakan, saat itu ada tiga dokter residen yang bertugas yakni dr. Jonas Nara Baringbing, dr. Agus Pribadi, dan dr. Christofani.
“Itu kasus saya 15 tahun lalu di RSUD Garut. Saat itu, rahim terlepas dari tubuh karena tindakan paraji (dukun beranak),” jelasnya.
Menurut dr. Christofani, rahim yang copot tersebut sepenuhnya disebabkan oleh tindakan paraji dan tidak mungkin terjadi secara alami.
“Pada kasus yang kami hadapi, penyebabnya adalah tindakan yang tidak memiliki dasar medis yang dilakukan paraji,” ujarnya.
Ia menambahkan, rahim yang terlepas tersebut sudah tidak bisa dipasang kembali. Adapun penanganan yang dilakukan adalah menghentikan perdarahan (bleeding control) dan membuang sisa jaringan rahim hingga ke bagian leher rahim.
“Kami melakukan bleeding control dan membuang sisa rahim sampai leher rahim. Setelah itu dilakukan transfusi,” ucap dr. Christofani.
Menurut dia, itu adalah satu-satunya kasus rahim copot yang pernah ia tangani, dan ia berharap tidak lagi menemukan kasus serupa.
Tag: #rahim #copot #salah #satu #risiko #melahirkan #dukun #beranak