Belajar dari Kasus Rahim Copot, Bagaimana Cara Mencegah Inversio Uteri?
- Kasus “rahim copot” sedang ramai dibicarakan setelah dr. Gia Pratama membagikan pengalamannya menangani kasus tersebut di RSUD Garut, Jawa Barat, pada April 2010 silam, dalam sebuah podcast.
Dalam kasus tersebut, diceritakan bahwa seorang ibu melahirkan dengan bantuan paraji atau dukun beranak, sampai rahimnya "copot" dan ditaruh ke dalam kantung kresek. Dalam dunia kedokteran, istilah medisnya adalah inversio uteri. Lantas, bagaimana cara mencegahnya?
“Kalau lahirnya di penyedia kesehatan yang benar, itu (inversio uteri) sudah tidak pernah terjadi, tidak akan pernah terjadi, tidak usah khawatir. Itu kan kasus ekstrem yang amat sangat jarang terjadi, sudah termasuk kasus luar biasa,” kata dr. Ni Komang Yeni DS, Sp.OG, MM, MARS, saat dihubungi Kompas.com pada Kamis (20/11/2025).
Cara mencegah rahim copot saat melahirkan
Apa itu inversio uteri?
Inversio uteri adalah kondisi ketika rahim turun dan menonjol keluar vagina karena berbagai faktor, salah satunya adalah proses persalinan yang tidak ditangani oleh tenaga kesehatan yang sudah ahli, seperti bidan atau dokter kandungan.
Faktor lainnya adalah kondisi seperti plasenta akreta. Dikutip dari situs web Eka Hospital, Jumat (21/11/2025), plasenta akreta adalah kondisi ketika plasenta menempel terlalu kuat pada otot rahim.
Kondisi tersebut sangat berbahaya karena bisa menyebabkan pendarahan hebat saat melahirkan, bahkan bisa mengancam keselamatan ibu dan bayi.
Cara mencegah inversio uteri
1. Lakukan persalinan di bidan atau dokter
Rahim copot atau inversio uteri bisa terjadi karena berbagai faktor, salah satunya melahirkan tanpa bantuan tenaga medis yang profesional.
Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, inversio uteri jarang terjadi apabila ibu melakukan persalinan di bidan atau dokter kandungan.
Sebab, mereka mempelajari anatomi dan sudah terlatih untuk menangani ibu hamil sehingga bisa membantu proses persalinan berjalan dengan aman dan lancar.
Apabila harus melahirkan di paraji, dr. Yeni mengatakan bahwa persalinan tetap harus didampingi oleh bidan desa.
“Sudah ada peraturannya bahwa paraji seharusnya didampnigi oleh bidan dalam melahirkan. Tapi, sekarang tahun 2025, pemerintah juga sudah bagus sekali menyediakan rumah sakit dengan penyedia kesehatan yang baik untuk melahirkan,” jelas dia.
Dengan demikian, dr. Yeni kembali mengimbau agar calon ibu tetap melahirkan dengan bantuan bidan atau dokter kandungan karena secara medis sudah terlatih.
2. Rutin periksa kandungan
Selanjutnya adalah rutin memeriksakan kandungan ke klinik, puskesmas, atau rumah sakit, untuk mempersiapkan diri dan janin agar persalinan berjalan lancar kelak.
“Salah satu (penyebab) plasenta tidak lahir juga karena kontraksi yang tidak begitu baik. Memang kita harus mengontrol ke dokter untuk memastikan tidak ada ari-ari (plasenta) yang lengket ke rahim sehingga memudahkan lahirnya plasenta pada saat melahirkan nanti,” terang dr. Yeni.
3. Banyak bertanya
Rahim copot atau inversio uteri bisa terjadi karena berbagai faktor, salah satunya melahirkan tanpa bantuan tenaga medis yang profesional.
Saat memeriksakan kandungan, manfaatkan waktu untuk banyak bertanya kepada bidan atau dokter kandungan.
Selain soal kesehatan janin, ibu bisa bertanya soal kontraksi yang baik seperti apa dan apakah ibu mengalami anemia atau tidak. Sebab, semuanya berkaitan dengan kesehatan dan kekuatan jaringan rahim.
“Tapi pada prinsipnya, tidak usah takut. Itu (inversio uteri) kejadian yang amat sangat jarang terjadi,” pungkas dr. Yeni.
Ramai kasus rahim copot di dalam kantung kresek
Rahim copot atau inversio uteri bisa terjadi karena berbagai faktor, salah satunya melahirkan tanpa bantuan tenaga medis yang profesional.
Sebelumnya, dalam sebuah podcast, dr. Gia Pratama menceritakan bahwa seorang laki-laki pernah datang membawa sebuah kantong kresek. Setelah dicek, menurut dr. Gia, isi kantong tersebut diduga adalah rahim.
Menurut penjelasannya, kondisi itu terjadi setelah persalinan yang ditangani dukun beranak yang menarik paksa plasenta. Padahal, plasenta sebenarnya dapat lahir sendiri dalam waktu tertentu tanpa perlu ditarik.
Dihubungi secara terpisah oleh Kompas.com pada Selasa (18/11/2025), dr. Christofani yang kini bertugas di Siloam Hospitals Lippo Village mengatakan, saat itu ada tiga dokter residen yang bertugas yakni dr. Jonas Nara Baringbing, dr. Agus Pribadi, dan dr. Christofani.
“Itu kasus saya 15 tahun lalu di RSUD Garut. Saat itu, rahim terlepas dari tubuh karena tindakan paraji (dukun beranak),” jelasnya.
“Posisinya, saya dokter residen dan dr. Gia adalah koas jaga saya. Kami bersama menangani pasien itu,” tambah dr. Christofani.
Sebagai informasi, dokter residen adalah dokter yang sedang menempuh pendidikan spesialis, sedangkan koas adalah dokter muda.
Menurut dr. Christofani, rahim yang copot tersebut sepenuhnya disebabkan oleh tindakan paraji dan tidak mungkin terjadi secara alami.
“Pada kasus yang kami hadapi, penyebabnya adalah tindakan yang tidak memiliki dasar medis yang dilakukan paraji,” ujarnya.
Ia menambahkan, rahim yang terlepas tersebut sudah tidak bisa dipasang kembali. Adapun penanganan yang dilakukan adalah menghentikan perdarahan (bleeding control) dan membuang sisa jaringan rahim hingga ke bagian leher rahim.
“Kami melakukan bleeding control dan membuang sisa rahim sampai leher rahim. Setelah itu dilakukan transfusi,” ucap dr. Christofani.
Menurut dia, itu adalah satu-satunya kasus rahim copot yang pernah ia tangani, dan ia berharap tidak lagi menemukan kasus serupa.
Tag: #belajar #dari #kasus #rahim #copot #bagaimana #cara #mencegah #inversio #uteri