Ramai soal Rahim Copot, Apa Istilah Medisnya?
- Belakangan ini, masyarakat Indonesia digemparkan oleh kasus rahim copot yang pernah ditangani oleh dr. Gia Pratama dan Dr. dr. F. C. Christofani Ekapatria SpOG., Subsp FER, MIGS di RSUD Garut, Jawa Barat pada 27 April 2010.
Namun, apa itu rahim copot dan apakah ada istilah medisnya?
“Disebut inversio uteri, atau rahimnya ikut turun. Jadi, posisinya terbalik. Aturan di dalam perut, turun sampai keluar vagina dengan posisi terbalik,” jelas dr. Ni Komang Yeni DS, Sp.OG, MM, MARS, saat dihubungi pada Kamis (20/11/2025).
Mengenal inversio uteri atau “rahim copot”
Rahim dan jaringan penggantungnya yang sangat kuat
Rahim memiliki jaringan yang memungkinkannya untuk “menggantung” di perut bagian bawah. Jaringan yang terletak di bagian kanan, kiri, depan, dan belakang rahim ini sangatlah kuat
Kata dr. Yeni, jaringan penggantung rahim bisa kuat, karena ibu menjaga asupan nutrisinya dengan baik sepanjang kehamilan. Kendati demikian, jaringan bisa lemah karena berbagai faktor.
“Mungkin jaringannya sendiri kualitasnya enggak bagus, ibunya mengalami anemia. Kemudian sudah nekrosis namanya, jadi jaringannya sudah rapuh banget, jelek banget, karena dipelintir sana-sini (untuk mengeluarkan plasenta yang tidak kunjung keluar),” ujar dr. Yeni.
Apakah bisa copot?
Ibu yang melakukan persalinan di fasilitas kesehatan yang mumpuni, dan dibantu dengan tenaga kesehatan terlatih seperti bidan atau dokter, tidak akan mengalami "rahim copot”.
Sebab, rahim tidak bisa copot secara spontan alias lepas dengan sendirinya, kecuali dimanipulasi oleh penolong persalinan. Dalam kasus rahim copot, orang yang membantu persalinan adalah paraji alias dukun beranak.
“Kemungkinan besar adalah ari-ari (plasenta) tidak lahir-lahir, kemudian ditarik keluar, dipaksa, terus ternyata mengalami yang disebut inversio uteri. Karena kalau misalnya tidak dipotong atau dipelintir-pelintir, sepertinya memang tidak mungkin bisa putus pada kondisi normal,” tutur dr. Yeni.
Hal serupa juga pernah dialami oleh dr. Yeni ketika bertugas di Nusa Tenggara Timur. Ia menemui kasus inversio uteri karena seorang ibu melahirkan di paraji, sehingga rahim sebagian terlepas.
“Tetapi, itu ada manipulasi entah dipelintir atau dipotong, karena (rahim) tidak mungkin terlepas secara spontan sendiri,” lanjut dr. Yeni.
Tak perlu takut untuk hamil dan melahirkan
Tidak bisa dipungkiri bahwa kasus rahim copot membuat banyak perempuan takut untuk hamil dan melahirkan.
Selain karena mereka tidak akan punya rahim lagi, tetapi juga karena terbayang-bayang oleh rasa sakit ketika rahim tertarik sampai copot.
Kendati demikian, dr. Yeni kembali menegaskan bahwa rahim tidak akan copot dengan sendirinya jika melahirkan di bidan atau dokter yang sudah mumpuni.
“Enggak akan ada apa-apa yang bisa menyebabkan rahim terbalik karena ditarik. Kemungkinan besar, sebagian besar kejadiannya karena ari-ari yang tidak lahir dipaksa ditarik. Itu ditarik sama penolong persalinan, sehingga rahim ikut turun ke bawah,” terang dia.
“Jadi rasanya sih tidak mungkin kalau lahir biasa dengan cara persalinan yang baik. Rahim tidak mungkin lepas,” lanjut dr. Yeni.
Biasanya plasenta akan keluar dengan sendirinya setelah bayi keluar. Jika ada kondisi yang membuat plasenta tidak kunjung keluar, bidan atau dokter tidak akan menarik paksa dengan kekuatan penuh.
Ada teknik yang sudah mereka pelajari untuk membantu plasenta keluar, sehingga proses persalinan aman sampai akhir.
Ramai kasus rahim copot di dalam kantung kresek
Sebelumnya, dalam sebuah podcast, dr. Gia Pratama menceritakan bahwa seorang pria pernah datang ke IGD RSUD saat ia bertugas, membawa sebuah kantong kresek. Setelah dicek, menurut dr. Gia, isi kantong tersebut diduga adalah rahim.
Menurut penjelasannya, kondisi itu terjadi setelah persalinan yang ditangani dukun beranak yang menarik paksa plasenta. Padahal, plasenta sebenarnya dapat lahir sendiri dalam waktu tertentu tanpa perlu ditarik.
Dihubungi secara terpisah oleh Kompas.com pada Selasa (18/11/2025), dr.Christofani yang kini bertugas di Siloam Hospitals Lippo Village mengatakan, saat itu ada tiga dokter residen yang bertugas, yakni dr. Jonas Nara Baringbing, dr. Agus Pribadi, dan dr. Christofani.
“Itu kasus saya 15 tahun lalu di RSUD Garut. Saat itu, rahim terlepas dari tubuh karena tindakan paraji (dukun beranak),” jelasnya.
“Posisinya, saya dokter residen dan dr. Gia adalah koas jaga saya. Kami bersama menangani pasien itu,” tambah dr. Christofani.
Sebagai informasi, dokter residen adalah dokter yang sedang menempuh pendidikan spesialis, sedangkan koas adalah dokter muda.
Menurut dr. Christofani, rahim yang copot tersebut sepenuhnya disebabkan oleh tindakan paraji dan tidak mungkin terjadi secara alami.
“Pada kasus yang kami hadapi, penyebabnya adalah tindakan yang tidak memiliki dasar medis yang dilakukan paraji,” ujarnya.
Ia menambahkan, rahim yang terlepas tersebut sudah tidak bisa dipasang kembali. Adapun, penanganan yang dilakukan adalah menghentikan perdarahan (bleeding control) dan membuang sisa jaringan rahim hingga ke bagian leher rahim.
“Kami melakukan bleeding control dan membuang sisa rahim sampai leher rahim. Setelah itu dilakukan transfusi,” ucap dr. Christofani.
Menurut dia, itu adalah satu-satunya kasus rahim copot yang pernah ia tangani, dan ia berharap tidak lagi menemukan kasus serupa.