Kebiasaan Diagnosis Diri Sendiri Lewat Internet Bisa Jadi Bumerang: Makin Stres, Bukan Sembuh!
– Di era digital saat ini, sangat mudah untuk mendiagnosis diri sendiri (self diagnosis) lewat pencarian internet dengan kata lain internet kerap menjadi dokter instan yang memberi diagnosis online.
Mulai dari rasa gampang lelah, susah tidur, hingga gejala emosional yang muncul tiba-tiba. Kebiasaan ini bisa lebih membahayakan ketimbang membantu.
Cukup ketik gejala di mesin pencari, dan dalam hitungan detik muncul kemungkinan diagnosis dari gangguan kecemasan hingga penyakit tertentu.
Penelitian dalam BMC Medical Informatics and Decision Making, menunjukkan bahwa self diagnosis online dapat mengganggu hubungan pasien dan profesional, menimbulkan harapan yang tidak realistis, serta memperumit proses pemeriksaan yang sebenarnya.
Mengapa kita tergoda melakukan self diagnosis?
Alasan utama adalah kemudahan akses, internet selalu ada, banyak artikel atau daftar gejala, dan kita ingin segera tahu apa yang salah dengan saya.
Namun, penting dipahami bahwa diagnosis yang akurat membutuhkan lebih dari sekadar mencocokkan gejala.
Banyak faktor tersembunyi mulai dari riwayat kesehatan, konteks emosional, bahkan kondisi medis lain yang hanya dapat dievaluasi oleh profesional.
Melansir dari laman yourtango pada Jumat (07/11), self diagnosis daring bisa memperkuat bias kognitif seperti confirmation bias, yakni saat kita hanya mencari informasi yang sesuai dengan asumsi diri, dan mengabaikan data yang berbeda.
Penting untuk mencari bantuan dari profesional berlisensi untuk mendapatkan diagnosis yang akurat dan perawatan yang efektif.
Berikut bahaya dari mendiagnosis sendiri secara online (self diagnosis);
1. Kesalahan label dan penundaan pengobatan yang tepat
Seseorang mungkin meyakini dirinya memiliki kondisi serius hanya karena membaca gejala di internet, padahal kondisi yang dialami bisa berbeda, hingga akhirnya pengobatan atau evaluasi profesional tertunda.
2. Membesar-besarkan gejala dan menimbulkan kecemasan
Self diagnosis bisa memperkuat rasa takut atau kurang percaya diri, karena label penyakit yang belum tentu benar diberikan sendiri tanpa keahlian.
Fenomena ini sering memperburuk stres dan memperkuat persepsi salah tentang kondisi kesehatan.
3. Risiko salah langkah akibat informasi tidak tervalidasi
Forum dan media sosial sering berisi pengakuan atau tips dari non professional, akan pengguna dan melakukan pengobatan diri berbahaya.
Penelitian dalam National Library of Medicine tahun 2025, Kaum muda dewasa yang mencari layanan kesehatan mental menunjukkan bahwa informasi yang diperoleh dari media sosial sering digunakan untuk mendiagnosis diri sendiri.
Melakukan self diagnosis setelah terpapar konten kesehatan mental di media sosial, tanpa verifikasi klinis.
4. Mengabaikan penyebab yang sebenarnya
Fokus diagnosis digital bisa menutup kemungkinan bahwa masalah disebabkan seperti stres, pola tidur buruk, atau beban hidup lainnya.
Risiko pengobatan diri dan informasi tak tervalidasi menggunakan aplikasi, forum, atau video viral sebagai dasar tindakan medis bisa berbahaya.
Hal yang harus dilakukan sebagai alternatif untuk tidak melakukan self diagnosis:
- Pahami bahwa internet boleh untuk mencari informasi,bukan untuk menetapkan diagnosis.
- Jika anda merasa ada yang salah, buat janji dengan dokter atau psikolog.
- Jaga keseharian anda, pola tidur yang baik, aktivitas fisik, waktu istirahat, hubungan sosial, sambil menunggu diagnosis.
- Hindari membandingkan diri dengan viral checklist atau trend diagnosis di media sosial.
Gunakan internet sebagai sumber edukasi awal, bukan sebagai alat mendiagnosis diri sendiri, dan langsung memberi label.
Jika Anda merasa ada yang tidak beres, buat catatan tentang gejala dan konsultasikan ke dokter atau psikolog.
Pemeriksaan klinis yang melibatkan wawancara, observasi, dan tes medis tetap menjadi cara paling akurat.
Tag: #kebiasaan #diagnosis #diri #sendiri #lewat #internet #bisa #jadi #bumerang #makin #stres #bukan #sembuh