Cek 7 Alasan Banyak Generasi Boomer Menghindari ChatGPT, Menurut Psikologi
Ilustrasi. (Pexels.com)
18:36
2 Juli 2025

Cek 7 Alasan Banyak Generasi Boomer Menghindari ChatGPT, Menurut Psikologi

 

JawaPos.com - Jika kamu pernah mendengar seorang kerabat Baby Boomer bertanya, “Sebenarnya apa itu ChatGPT, dan kenapa aku harus percaya padanya?”, kamu tidak sendirian. 

Nada pertanyaannya jarang terdengar sinis—lebih sering terdengar hati-hati, seperti saat seseorang mencoba memahami mobil tanpa pengemudi yang tiba-tiba muncul di jalan masuk rumah.

Dan ternyata, kehati-hatian itu bukan sekadar naluri. Puluhan tahun riset tentang adopsi teknologi (dan juga soal proses penuaan) menunjukkan bahwa orang dewasa yang lebih tua cenderung dipandu oleh perpaduan antara motivasi, kekhawatiran, dan kebiasaan berpikir yang cukup bisa diprediksi.

Berikut adalah tujuh ciri psikologis yang paling sering ditemukan oleh para peneliti pada Generasi Baby Boomer yang cenderung menghindari teknologi seperti ChatGPT, seperti dilansir dari VegOut.

Tentu saja, ada banyak pengecualian. Anggap ini sebagai lensa untuk memahami, bukan label yang membatasi.

1. Kecemasan terhadap Teknologi Semakin Meningkat

Jauh sebelum kecerdasan buatan jadi topik utama, para peneliti sudah mengamati apa yang disebut teknophobia atau gabungan antara rasa takut dan frustrasi yang muncul saat seseorang harus berhadapan dengan perangkat digital baru.

Sebuah studi terhadap orang dewasa berusia 53–88 tahun menemukan bahwa tingkat kecemasan yang tinggi memengaruhi kemauan untuk mencoba perangkat lunak baru, bahkan ketika keterampilan dasarnya cukup memadai.

Antarmuka ChatGPT yang tampak sederhana justru membuat pengguna merasa bahwa kalau terjadi kesalahan, itu adalah kesalahan mereka sendiri. Ditambah dengan pemberitaan soal “halusinasi AI”, rasa khawatir yang awalnya ringan bisa berubah menjadi penghindaran total.

2. Lebih Nyaman dengan Rutinitas yang Sudah Terbentuk

Kebiasaan itu seperti jalan tol bagi otak—sekali terbentuk, segalanya jadi lebih mudah dan otomatis. Karena Boomer memiliki waktu puluhan tahun lebih lama dalam membangun rutinitas, seperti mencari informasi lewat Google, menelepon pustakawan, atau membaca manual, beralih ke ChatGPT terasa seperti membangun jalan baru dari nol.

Inilah yang disebut bias status quo atau kecenderungan untuk tetap pada hal yang sudah dikenal meskipun ada pilihan yang lebih efisien. 

3. Merasa Kurang Percaya Diri dalam Menggunakan AI

Self-efficacy atau keyakinan bahwa kamu bisa melakukan sesuatu dengan sukses adalah kunci dalam mencoba hal baru. Dalam survei, banyak orang dewasa yang lebih tua merasa kurang percaya diri saat harus memecahkan masalah teknologi.

Padahal, perbedaannya kadang bukan pada kemampuan, tapi pada persepsi. Sifat ChatGPT yang terbuka—“Tanya apa saja”—bisa membuat pengguna merasa tidak tahu harus mulai dari mana. 

Tidak adanya tombol jelas atau panduan manual juga menambah perasaan cemas, seolah ada kemungkinan besar untuk "salah ketik" dan merusak sesuatu.

4. Skeptis terhadap Privasi dan Penggunaan Data

Boomer tumbuh di era sebelum internet dan pengumpulan data masif. Jadi, ekspektasi mereka terhadap privasi jauh lebih tinggi dibanding generasi yang lahir setelahnya. 

Ketika mendengar bahwa percakapan di ChatGPT bisa digunakan untuk melatih AI di masa depan, rasa waspada pun meningkat.

Survei Pew Research Center tahun 2023 menunjukkan bahwa sekitar tiga perempat orang dewasa di AS khawatir soal bagaimana perusahaan menggunakan data pribadi mereka.

Bagi banyak Boomer, prinsipnya sederhana: data paling aman adalah data yang tidak pernah dibagikan.

5. Memprioritaskan Hal yang Bermakna Secara Emosional

Menurut teori selektivitas sosioemosional, seiring bertambahnya usia, orang cenderung lebih memilih aktivitas yang bermakna secara emosional daripada sekadar mengejar informasi atau efisiensi.

Jadi, bagi Boomer, menghabiskan waktu mencoba menulis prompt ChatGPT bisa terasa jauh lebih tidak memuaskan dibanding sekadar mengobrol dengan cucu atau merawat kebun. 

Sekalipun ChatGPT bisa menghemat waktu, proses belajar di awal justru terasa seperti membuang waktu berharga dari aktivitas yang sudah terbukti membawa kebahagiaan.

6. Lebih Percaya pada Keahlian Manusia daripada Algoritma

Boomer dibesarkan di era ketika informasi datang dari buku, ensiklopedia, dan para ahli. Kredensial dan otoritas personal sangat dihargai. 

Ketika teknologi seperti ChatGPT memberikan jawaban tanpa referensi jelas atau malah bisa "berhalusinasi", kepercayaan pun goyah.

Bahkan jika kesalahan AI hanya terjadi sekali atau dua kali, cerita itu cepat menyebar di antara rekan seusia dan memperkuat narasi bahwa “mesin cuma menebak, manusia yang benar-benar tahu.”

7. Memiliki Pola Pikir Tetap tentang Teknologi

Penelitian oleh Carol Dweck menunjukkan bahwa orang yang berpikir kemampuan itu tetap—misalnya, “Aku memang tidak berbakat di teknologi”—cenderung menyerah lebih cepat ketika menghadapi tantangan baru.

Pola pikir seperti ini bisa terbentuk karena pengalaman-pengalaman buruk di masa lalu: update sistem yang membingungkan, aplikasi yang sulit digunakan, atau tutorial yang terlalu teknis. 

Semua itu membentuk anggapan bahwa teknologi modern, termasuk ChatGPT, bukan untuk mereka.

Namun, pengalaman kecil yang berhasil (seperti mencoba voice-to-text atau panggilan video yang lancar) bisa membuka celah baru. Kemenangan kecil ini bisa memicu perubahan persepsi bahwa teknologi adalah sesuatu yang bisa dipelajari, bukan sesuatu yang hanya dikuasai oleh anak muda.

Tidak semua Baby Boomer bersikap sama, tentu saja. Banyak juga yang penasaran, adaptif, dan malah menggunakan ChatGPT untuk menulis puisi atau belajar bahasa baru. 

Tapi memahami alasan-alasan psikologis di balik sikap hati-hati mereka bisa membangun jembatan empati. Dan mungkin, jadi langkah pertama untuk membantu mereka melihat bahwa teknologi ini bukan musuh, melainkan alat yang bisa diajak bekerja sama.

Editor: Novia Tri Astuti

Tag:  #alasan #banyak #generasi #boomer #menghindari #chatgpt #menurut #psikologi

KOMENTAR