Pembantaian Massal Terulang di Sudan: Pengungsian Dibakar, Para Perempuan Dirudapaksa
- Setelah 18 bulan terkepung tanpa makanan dan bantuan kemanusiaan, kota El Fasher di Sudan akhirnya jatuh ke tangan Rapid Support Forces (RSF). Bagi banyak warga, kejatuhan ini bukan sekadar kekalahan militer, melainkan babak baru dari genosida yang telah menghantui wilayah Darfur selama lebih dari dua dekade.
Kota El Fasher, markas terakhir Angkatan Bersenjata Sudan (SAF) di Sudan Barat, kini menjadi saksi pembantaian massal. Menurut laporan lapangan dan citra satelit yang dianalisis lembaga riset internasional, warga sipil dibunuh, perempuan diperkosa, dan kamp pengungsian dibakar.
Para relawan yang berusaha menyalurkan makanan ke penduduk yang kelaparan juga dilaporkan dieksekusi di tempat.
"El Fasher kini sepenuhnya terkepung. Orang-orang makan pakan ternak untuk bertahan hidup," ujar Nathaniel Raymond, Direktur Yale Humanitarian Research Lab, kepada OkayAfrica. "Mereka dalam kondisi kelaparan ekstrem dan terus dibombardir".
RSF, milisi yang dulu dikenal sebagai Janjaweed atau Devils on Horseback, dituding melanjutkan misi etnis cleansing terhadap suku Fur, Masalit, dan Zaghawa, komunitas yang pernah menjadi korban genosida tahun 2003. Kini, sejarah kelam itu kembali terulang.
Laporan dari Displacement & Health Relief Network (DHRN) menyebutkan bahwa pasar-pasar di El Fasher hampir kosong total, rumah sakit berhenti beroperasi, dan air bersih tidak lagi tersedia.
"Kami mencoba menyalurkan donasi dari luar negeri, tapi banyak relawan kami terbunuh di jalan," kata juru bicara DHRN.
Mengutip OkayAfrica, warga yang berhasil melarikan diri hingga 50 kilometer ke kota Tawila kini membutuhkan pertolongan mendesak: makanan, air, dan obat-obatan. Namun akses komunikasi ke wilayah tersebut hampir sepenuhnya terputus.
Meski PBB telah menyerukan gencatan senjata dan jalur aman bagi warga sipil, RSF tidak pernah mematuhinya. Gambar dan video yang tersebar di media sosial menunjukkan para pejuang RSF mempermainkan warga sipil sebelum mengeksekusi mereka secara massal.
"Dunia menyebut Sudan sebagai krisis kemanusiaan terburuk di abad ini, tapi dunia juga menjadi semakin kebal terhadap penderitaan," ujar Raymond. "Skala kekerasan di Sudan bahkan telah melampaui Gaza, meski perhatian global tidak seimbang".
Selain itu, menurut laporan Famine Review Committee PBB, El Fasher dan sekitarnya kini masuk dalam kategori IPC Phase 5, tingkat kelaparan tertinggi yang menandai bencana kelaparan massal. Ribuan orang telah meninggal karena kekurangan makanan dan air, bahkan sebelum status darurat resmi diumumkan.
Gejala kelaparan ekstrem meliputi pembusukan jaringan otot, gagal ginjal, penurunan suhu tubuh, hingga kegagalan organ vital. "Begitu kelaparan diumumkan, banyak yang sudah meninggal. Sulit menghentikannya," jelas Raymond.
Sementara itu, Amerika Serikat mencoba memfasilitasi perundingan tidak langsung antara SAF dan RSF di Washington D.C., tetapi kekerasan terus berlangsung. Resolusi Dewan Keamanan PBB Nomor 2736 yang menyerukan gencatan senjata di El Fasher sejak Juni 2024 tidak pernah dijalankan.
"Komunitas internasional telah gagal total melindungi rakyat Sudan," tegas Raymond. "Tanpa tekanan diplomatik terhadap para pendukung RSF, terutama Uni Emirat Arab, kekejaman ini tidak akan berhenti".
Tag: #pembantaian #massal #terulang #sudan #pengungsian #dibakar #para #perempuan #dirudapaksa