Ketika Kasih Sayang Berubah Menjadi Ketergantungan Berbahaya: Dampak Cinta Obsesif pada Kesehatan Mental
Pasangan sedang bergenggam tangan (Dok. Stocksy)
12:06
23 Oktober 2025

Ketika Kasih Sayang Berubah Menjadi Ketergantungan Berbahaya: Dampak Cinta Obsesif pada Kesehatan Mental

- Setiap orang mendambakan cinta yang dalam dan tulus, namun bagi sebagian orang, perasaan itu bisa berubah menjadi obsesi yang menyesakkan. Cinta obsesif membuat seseorang terfokus berlebihan pada pasangan hingga memperlakukan mereka seolah milik pribadi. Kondisi ini bisa dipicu oleh gangguan mental tertentu atau pengalaman emosional yang belum terselesaikan.

Meski sering disebut sebagai obsessive love disorder, kondisi ini belum diakui secara resmi sebagai gangguan kejiwaan dalam Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM-5). Namun, banyak ahli menyebut bahwa cinta obsesif bisa menjadi tanda dari masalah kesehatan mental lain yang lebih dalam.

Tanpa penanganan yang tepat, perasaan ini dapat memicu perilaku berlebihan yang sulit dikendalikan. Dalam kasus ekstrem, bahkan bisa berujung pada kekerasan atau tindakan penyalahgunaan terhadap pasangan.

Apa Itu Cinta Obsesif?

Cinta obsesif menggambarkan ketertarikan ekstrem terhadap seseorang hingga menganggapnya sebagai objek kepemilikan. Orang yang mengalaminya mungkin merasa cemburu tanpa alasan, memiliki pikiran delusional tentang perselingkuhan, atau kesulitan mengatur emosi. Rasa rendah diri, ketergantungan emosional, dan keinginan memiliki secara penuh sering menyertai kondisi ini.

Berbeda dari cinta sejati yang tumbuh dengan rasa saling percaya dan menghargai, cinta obsesif lebih menekankan pada penguasaan dan kepemilikan. Orang yang mengalami cinta obsesif kerap mengabaikan kesejahteraan pasangannya dan hanya fokus pada kebutuhan emosionalnya sendiri.

Menurut teori segitiga cinta, hubungan sehat seharusnya memiliki tiga unsur penting: gairah, keintiman, dan komitmen. Namun, dalam cinta obsesif, keseimbangan ini hilang. Gairah berubah menjadi kecanduan, keintiman digantikan oleh rasa curiga, dan komitmen menjadi bentuk kendali yang menekan.

Cinta obsesif bahkan bisa muncul tanpa hubungan nyata, seperti obsesi terhadap selebritas atau orang asing. Dalam kasus ekstrem, hal ini dikenal sebagai erotomania, di mana seseorang meyakini secara keliru bahwa orang berstatus lebih tinggi mencintai dirinya.

Penyebab Terjadinya Cinta Obsesif

Dilansir dari Medical News Today, ada berbagai faktor yang bisa memicu munculnya cinta obsesif, mulai dari gangguan kepribadian, trauma masa kecil, hingga pola asuh yang tidak sehat. Salah satunya adalah erotomania atau sindrom de Clérambault, di mana seseorang mengalami delusi bahwa orang lain (biasanya tokoh terkenal) jatuh cinta padanya. Kondisi ini bisa muncul secara mandiri atau terkait dengan gangguan mental lain seperti skizofrenia dan depresi berat.

Selain itu, gangguan kepribadian ambang (borderline personality disorder) juga berperan besar. Penderitanya cenderung takut ditinggalkan, memiliki suasana hati yang tidak stabil, dan sulit mempertahankan hubungan sehat. Mereka bisa sangat mencintai seseorang pada satu waktu, lalu tiba-tiba membencinya di waktu lain.

Masa kecil yang penuh ketidakstabilan juga menjadi faktor penting. Anak yang tumbuh dengan orang tua atau pengasuh yang kasar atau tidak konsisten mungkin mengembangkan gaya keterikatan tidak aman (insecure attachment). Akibatnya, ketika dewasa mereka bisa menjadi terlalu bergantung, takut kehilangan, dan menuntut perhatian terus-menerus.

Gangguan obsesif-kompulsif (OCD) juga dapat memunculkan bentuk khusus yang disebut relationship OCD (ROCD), di mana seseorang terus-menerus mempertanyakan kesetiaan pasangan. Hal ini bisa memicu kecemasan berat, depresi, dan perilaku mengontrol yang merusak hubungan.

Norma sosial dan budaya juga turut mempengaruhi. Beberapa masyarakat masih menanamkan gagasan bahwa cinta berarti memiliki, atau bahwa pasangan harus tunduk untuk membuktikan kasihnya. Pola pikir ini bisa memperkuat perilaku posesif dan mengarah pada toxic masculinity, pandangan yang membenarkan kontrol dan kekerasan terhadap pasangan.

Gejala dan Dampak Cinta Obsesif

Tanda-tanda cinta obsesif bisa berbeda pada tiap individu, tergantung penyebabnya. Secara umum, gejala yang sering muncul meliputi rasa terobsesi yang tidak sebanding dengan lamanya hubungan, cepat jatuh cinta bahkan pada orang asing, dan keinginan ekstrem untuk mengendalikan pasangan. Penderitanya bisa menjadi agresif, mengancam, atau menolak batas yang ditetapkan oleh pasangan.

Cinta obsesif juga sering disertai dua bentuk kecemburuan ekstrem. Pertama, obsessional jealousy, di mana seseorang terus-menerus memikirkan hal-hal yang memicu cemburu, meski menyadari bahwa pikirannya tidak rasional. Kedua, delusional jealousy atau sindrom Othello, di mana seseorang benar-benar yakin pasangannya berselingkuh tanpa bukti apa pun.

Perilaku semacam ini bisa menghancurkan hubungan, mengganggu kesehatan mental kedua belah pihak, dan dalam beberapa kasus menyebabkan kekerasan. Orang yang terobsesi biasanya sulit menyadari bahwa masalahnya ada pada dirinya, bukan pada pasangan.

Diagnosis cinta obsesif tidak memiliki kriteria khusus, tetapi profesional kesehatan mental dapat mengenalinya melalui gejala dan dampak negatifnya terhadap kehidupan sehari-hari. Dalam beberapa kasus, pemeriksaan psikologis dilakukan untuk memastikan apakah ada gangguan lain yang mendasarinya.

Penanganan dan Langkah Pemulihan

Perawatan cinta obsesif difokuskan pada penyebab yang mendasarinya. Terapi psikologis seperti cognitive behavioral therapy (CBT) sering digunakan untuk membantu pasien mengelola pikiran obsesif dan memperbaiki cara mereka membangun hubungan. Jika disebabkan oleh gangguan kepribadian atau depresi, dokter mungkin meresepkan obat penstabil suasana hati atau antidepresan.

Terapi individu biasanya menjadi langkah awal terbaik, terutama jika hubungan sudah mengandung unsur kekerasan. Setelah pasien mampu membangun batas sehat secara pribadi, terapi pasangan bisa dilakukan untuk memperbaiki komunikasi dan kepercayaan.

Pemulihan dari cinta obsesif tidak memiliki waktu pasti. Prosesnya sangat bergantung pada tingkat keparahan dan kondisi mental yang mendasari. Namun, dengan dukungan profesional dan lingkungan yang aman, peluang untuk pulih tetap besar.

Bagi orang yang menyadari bahwa dirinya memiliki kecenderungan obsesif, penting untuk mencari bantuan medis sejak dini. Sedangkan bagi korban cinta obsesif, langkah pertama yang harus dilakukan adalah menjaga keselamatan diri dan mencari dukungan, baik melalui layanan konseling maupun lembaga perlindungan kekerasan dalam rumah tangga.

Editor: Candra Mega Sari

Tag:  #ketika #kasih #sayang #berubah #menjadi #ketergantungan #berbahaya #dampak #cinta #obsesif #pada #kesehatan #mental

KOMENTAR