Membenahi Industri Kecantikan Indonesia
Ilustrasi perawatan laser untuk kecantikan(UNSPLASH)
15:24
19 Januari 2024

Membenahi Industri Kecantikan Indonesia

Oleh: dr. Iim Karimah dan Muhammad Hidayat, M.Ed*

AKHIR-akhir ini ramai berita dan postingan di berbagai platform media sosial para selebgram, influencer, dan artis Indonesia seputar pengalaman mereka selama menjalani prosedur kecantikan (estetika) di luar negeri.

Ada yang melakukan prosedur bedah plastik dan tak sedikit pula yang menjalani perawatan nonbedah. Padahal, prosedur-prosedur kecantikan tersebut bisa dilakukan di Indonesia.

Sebagian besar destinasi mereka adalah ke negeri ginseng Korea Selatan atau negeri gajah putih Thailand.

Pada 2006, total 350.000 wisatawan Indonesia melakukan perjalanan wisata kesehatan ke luar negeri. Satu dekade berselang, jumlah tersebut meningkat hampir 100 persen menjadi 600.000 wisatawan. Kemudian, pada 2020 terjadi peningkatan menjadi tiga juta wisatawan.

Data Korea Health Industry Development (KHIDI) 2019, jumlah warga negara Indonesia (WNI) yang datang untuk melakukan perjalanan medis ke Korea Selatan mencapai 1,1 persen dari total 497.464 wisatawan yang berkunjung atau setara dengan 5.472 orang.

Angka dari KHIDI itu menyebutkan beberapa bidang medis yang menarik minat wisatawan asing, di antaranya operasi plastik (10,6 persen) dan dermatologi (10,2 persen) (Lasono & Dwi E, 2021).

Sementara itu, pada acara "Amazing Thailand Health & Wellness Trade Meet 2018" yang dihelat oleh Tourism Authority of Thailand (TAT) di Hotel Athenee, Bangkok, sejumlah klinik kecantikan Thailand mengungkap traveler Indonesia banyak melakukan perawatan kecantikan (Yustiana, 2018).

Pertanyaannya, apa motif di balik pilihan-pilihan mereka tersebut?

Sekretaris Direktorat Jenderal Pelayanan Kesehatan Kementerian Kesehatan Andi Saguni menyebutkan masalah utama dari tingginya minat warga Indonesia melakukan pelayanan kesehatan di luar negeri adalah rendahnya kepercayaan masyarakat Indonesia terhadap kualitas dokter dalam negeri (Jati, 2023 & Prabokusumo, 2017).

Hal ini diperkuat oleh survei yang dilakukan oleh Profesor Aru Wicaksono Sudoyo, Dokter Spesialis Penyakit Dalam, Konsultan Hemato-Onkologi Medik Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM).

Ia menyampaikan dalam diskusi "The Role of Internist in Cancer Management (ROICAM) 10" di Jakarta, rasa percaya menduduki alasan teratas mengapa masyarakat Indonesia masih memilih berobat ke luar negeri.

Kemudian disusul oleh faktor pelayanan yang lebih cepat dan dorongan keluarga karena ingin mencari yang lebih baik (Yolandha, 2023).

Dari fenomena ini, Indonesia harus segera berbenah dengan mengambil berbagai langkah strategis dan terukur.

Tujuannya untuk menumbuhkan kepercayaan masyarakat Indonesia bahwa industri kecantikan di dalam negeri sesungguhnya bisa setara dengan negara lain seperti Korea Selatan dan Thailand.

Untuk itu, usaha sadar untuk mengembalikan kepercayaan tidak bisa lepas dari peran dan kemampuan dokter-dokter Indonesia yang menekuni bidang ini.

Faktor kepercayaan bisa jadi pintu masuk guna menarik minat masyarakat Indonesia untuk menjadikan industri estetika di negeri sendiri lebih maksimal lagi.

Menciptakan kepercayaan pasien jauh lebih penting dari sekadar membangun prasarana dan sarana yang lengkap, mewah, dan berteknologi canggih.

Kepercayaan terhadap tenaga kesehatan adalah unsur utama keberhasilan penanganan penyakit pasien. Semodern apapun sarana pengobatan dan sepandai apapun dokter yang menangani pasien tidak akan berarti jika tidak ada kepercayaan (Ramadhani & Sediawan, 2022).

Selain itu, pekerjaan rumah yang mesti dituntaskan juga antara lain meningkatkan kompetensi, kapabilitas, dan skill dokter-dokter Indonesia yang berkecimpung di dunia kecantikan.

Cara yang bisa dilakukan adalah dengan memberikan beasiswa pelatihan, workshop, atau sekolah di institusi-institusi pendidikan yang berkualitas dan bertaraf internasional.

Salah satu faktor yang dapat memengaruhi kualitas pelayanan dapat berasal dari dalam organisasi itu sendiri, yaitu sumber daya manusia (SDM).

Organisasi membutuhkan SDM yang ahli dan terampil agar dapat memberikan pelayanan yang berkualitas kepada masyarakat. Agar tujuan yang diharapkan dapat tercapai, SDM juga memerlukan perhatian yang sangat serius dari organisasi.

Organisasi harus menyadari bahwa tujuan dari organisasi akan dapat dicapai dengan adanya pegawai yang mampu dan terampil di dalam melaksanakan tugas-tugas yang telah diberikan kepadanya.

Tanpa adanya kompetensi yang dimiliki SDM, dapat dipastikan bahwa organisasi tersebut tidak akan berjalan atau beroperasi dengan baik (Rahmadhani, 2017).

Selain itu, yang tak kalah penting lainnya ialah perlu adanya peningkatan kemampuan berkomunikasi antara dokter dengan pasien.

Kepercayaan pasien akan meningkat seiring dengan meningkatnya kuantitas dan kualitas komunikasi antara dokter dengan pasien.

Intensitas komunikasi yang rendah antara tenaga kesehatan dengan pasien akan menimbulkan keterpaksaan yang berpengaruh negatif terhadap tingkat kepercayaan pasien. Kepercayaan pasien juga akan meningkat jika terjadi komunikasi yang baik (Ramadhani & Sediawan, 2022).

Komunikasi yang efektif antara dokter dengan pasien sangat dibutuhkan pada saat dokter mengedukasi pasien tentang prosedur perawatan yang akan dilakukan berikut potensi risiko dari setiap perawatan dan apa saja yang harus dilakukan setelah perawatan.

Dokter yang memiliki kompetensi baik akan memiliki aspek perilaku profesional, mawas diri, dan pengembangan diri serta komunikasi efektif yang baik dalam menangani pasien.

Hasilnya dokter akan bisa memberikan pelayanan yang baik bagi pasien dan membuat pasien merasa puas dengan pelayanan yang diberikan. Lalu, pasien akan tertarik untuk melakukan kunjungan kembali ke pelayanan kesehatan tersebut (Honifa dkk, 2021).

Untuk menjadikan industri kecantikan Indonesia sebagai tuan rumah di negara sendiri, tentunya memerlukan dukungan dari seluruh warga Indonesia.

Peningkatan kompetensi, skill, dan pengetahuan dari para dokter Indonesia dalam bidang estetika sangat diperlukan guna mengambil hati para warga Indonesia sehingga mereka percaya dengan kualitas dokter Indonesia.

Karena tidak semua dokter yang berkecimpung di bidang estetika dan kecantikan merupakan dokter spesialis, maka sangat direkomendasikan bagi setiap dokter umum yang berkecimpung di bidang estetika perlu memastikan dirinya sudah tersertifikasi dengan mengikuti pelatihan, seminar, maupun short course yang terakreditasi Ikatan Dokter Indonesia (IDI).

Alangkah lebih baik lagi jika para dokter umum tersebut bisa menempuh pendidikan lanjut S2 atau bahkan S3 di bidang kedokteran estetika dan anti-aging.

Dan yang lebih penting lagi, yakni Indonesia harus memulai memikirkan pentingnya satu badan/lembaga khusus yang akan menguji kompetensi atau kualifikasi dokter-dokter umum yang bekerja di bidang estetika.

Faktor lain sebut saja estetika medis di Indonesia selama ini belum diatur secara khusus melalui peraturan perundang-undangan.

Terdapat beberapa peraturan yang tidak berkaitan secara langsung, namun dapat digunakan sebagai dasar hukum estetika medis.

Bidang estetika medis bisa termasuk dalam kategori upaya pelayanan kesehatan, sebagaimana yang terdapat dalam Pasal 47, yaitu promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif apabila memang orang tersebut memerlukan tindakan medis (Yati, 2020).

Pengaturan semacam ini di Indonesia sudah sangat diperlukan untuk memberi perlindungan hukum terhadap semua pihak yang terlibat dalam layanan estetika medis, baik dokter yang melakukan maupun pasien yang menerima layanan estetika medis.

Dalam hal ini, pemerintah memiliki tanggungjawab dan peran penting guna terciptanya pengaturan dalam bidang estetika medis.

Indonesia bisa belajar dari Pemerintah Singapura dan Malaysia yang telah memiliki peraturan khusus dalam bidang estetika medis.

Kedua negara tersebut sudah mempunyai peraturan yang jelas, yakni:

  1. Menentukan daftar tindakan estetika medis yang boleh dilakukan
  2. Membagi kewenangan tindakan estetika medis antara dokter umum dan spesialis
  3. Menentukan standar kompetensi yang diperlukan untuk berpraktik estetika medis
  4. Menunjuk lembaga khusus untuk mengawasi praktik estetika medis
  5. Membuat sistem registrasi bagi dokter umum maupun spesialis yang ingin berpraktik estetika medis
  6. Memfasilitasi pelatihan bagi dokter umum maupun spesialis yang ingin berpraktik estetika medis
  7. Menentukan sanksi disiplin untuk praktisi medis yang melanggar ketentuan yang berlaku (Yati, 2020).

Dengan adanya pengaturan khusus seperti di atas, maka ada pula dampak lain yang dapat terjadi, yaitu makin berkembangnya bidang estetika medis di Indonesia, serta menekan jumlah pasien dan peminat di Indonesia yang pergi ke luar negeri untuk mendapatkan layanan estetika medis (Yati, 2020).

Korea Selatan yang merupakan beauty leader di Asia Pasifik bahkan belum memiliki pengaturan khusus dalam bidang estetika medis.

Namun, sejumlah kasus malpraktik yang terjadi di Korea Selatan selama beberapa tahun terakhir telah membuat banyak pihak menekan pemerintah Korea Selatan untuk mulai membuat pengaturan dalam bidang tersebut (Yati, 2020).

Sudah saatnya Indonesia memajukan bidang estetika medis supaya dapat bersaing dengan negara-negara lain untuk menghadapi era Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) dan globalisasi.

Bidang estetika medis bisa menjadi salah satu sumber pendapatan pajak dan devisa negara (Yati, 2020). Untuk itu, perlu adanya penguatan pada kapasitas SDM dari para dokter dan praktisi di bidang kecantikan guna meningkatkan kualitas pelayanannya.

Selain itu, mengingat begitu pesatnya perkembangan estetika medis dari segi keilmuan serta kebutuhan banyak orang, maka pengaturan dalam bidang estetika medis diperlukan untuk memberikan perlindungan hukum bagi pasien sekaligus juga para praktisi estetika medis itu sendiri.

Hal pertama yang bisa dilakukan oleh pemerintah ataupun pemangku kepentingan terkait ialah membuat standar kompetensi bagi para dokter estetika, khususnya dokter umum yang berkecimpung di bidang estetika medis.

Kemudian, agar jelas batasannya, pemangku kepentingan juga bisa mulai membagi kewenangan antara dokter spesialis dan dokter umum perihal prosedur kecantikan apa saja yang boleh dan tidak boleh dilakukan.

Jadi, apabila ada kasus sulit yang ditemukan oleh dokter umum, maka bisa segera dirujuk ke dokter spesialis terkait.

Terbentuknya institusi atau badan hukum yang jelas untuk menaungi para dokter dan praktisi di bidang estetika medis sangat penting guna melindungi para pelaku estetika medis. Badan atau institusi yang sekaligus menguji kualifikasi SDM di bidang ini.

Penting juga dilakukan oleh para dokter spesialis maupun dokter umum yang bergerak di bidang estetik untuk saling mendukung satu sama lain.

Terakhir, perlu adanya standar akreditasi bagi klinik-klinik kecantikan yang semakin marak di Indonesia agar kualitas pelayanan estetika medis Indonesia semakin paripurna.

Dengan adanya pengaturan bidang estetika medis, maka pemerintah dapat memberi tindakan tegas terhadap pihak-pihak yang melakukan praktik estetika medis tanpa memiliki kompetensi maupun kewenangan.

Hal ini penting guna mencegah kasus malpraktik akibat penyelenggaraan pelayanan estetika medis yang tidak aman. Sarana dan fasilitas layanan estetika medis pun perlu diatur dengan standar tertentu.

Peredaran peralatan maupun obat-obatan estetika medis yang tidak sesuai dengan standar kedokteran dan bisa membahayakan bagi pasien juga harus dipantau dan diawasi oleh pemerintah (Yati, 2020).

Dari apa yang disampaikan di atas, kami yakin industri estetika Indonesia mampu jadi tuan rumah di negara sendiri apabila SDM, fasilitas, sarana prasarana, maupun regulasinya semakin diperkuat.

Apabila semua hal tersebut sudah dijalankan, maka tidak mustahil Indonesia bisa menjadi the next beauty leader di kancah Asia Pasifik dan bisa sejajar dengan Korea Selatan.

*Iim Karimah, dokter estetika lulusan Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya, Malang.
Muhammad Hidayat, Praktisi Pendidikan, awardee LPDP, Alumni The University of Adelaide, Australia.

Tag:  #membenahi #industri #kecantikan #indonesia

KOMENTAR