Tantangan Membangun Bisnis yang Resilien di Tengah Tekanan
DARI KIRI: Chatib Basri, Wamenkeu Suahasil Nazara, Country Managing Director Grab Indonesia Neneng Goenadi dan Director Business Grab Indonesia Roy Nugroho Grab Business Forum 2024, Selasa (14/5) (MUHAMAD ALI/JAWAPOS)
15:18
15 Mei 2024

Tantangan Membangun Bisnis yang Resilien di Tengah Tekanan

- Awal tahun 2024 mungkin bukan awal tahun yang diharapkan oleh banyak pihak, baik oleh pemerintah maupun pelaku bisnis. Bagaimana tidak, isu-isu global seolah beruntun, silih berganti menghantam ekonomi dari berbagai sisi. Selasa (14/5) Grab untuk tahun kelima menyelenggarakan Grab Business Forum. Topik yang diangkat adalah Resilient Business Forward: Paving The Way to Bolder Future. Bagaimana pemerintah, pengamat, dan pengusaha melihat segala tantangan di tahun ini?

Neneng Goenadi: Digitalisasi Kunci Dukung Ketahanan Bisnis

Memasuki semester kedua di tahun 2024 ini kita semua tahu bahwa dunia masih menghadapi tantangan. Misalnya dengan adanya perang di Timur Tengah. Pertanyaannya adalah bagaimana sebaiknya pelaku usaha di Indonesia menyikapi? Bagaimana kita bisa mengejar ketahanan bisnis lewat berbagai upaya dan channel yang ada?

Kita semua tahu bahwa perekonomian dunia bergejolak, tapi kita senang mengetahui bahwa kuartal pertama tahun 2024 ini pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar 5,11 persen, meningkat dibandingkan tahun lalu sebesar 5,04 persen. Dan pertumbuhan tahun ini merupakan yang tertinggi sejak tahun 2015. Dari data Bank Indonesia, salah satu kontribusi kontributor terbesar dalam pertumbuhan adalah tingginya permintaan domestik. Pertumbuhan ekonomi yang masih terjadi ini menjadi indikasi bahwa Indonesia mempunyai fundamental ekonomi yang kuat.

Tanpa mengurangi kewaspadaan dan kehati-hatian, kami melihat pertumbuhan ekonomi saat ini sebagai sebuah optimisme bagi industri di Indonesia. Penting bagi kita untuk tetap berfokus pada peningkatan ketahanan bisnis yang lebih efisien. Sehingga kita bisa menjaga daya saing usaha dan tentunya daya beli konsumen.

Untuk dapat terus mendukung ketahanan dan kemajuan ekonomi nasional, peran teknologi dan digitalisasi menjadi semakin penting. Perusahaan yang bertransformasi seiring dengan digitalisasi, tidak hanya perlu beradaptasi dengan dinamika pasar tapi juga meningkatkan produktivitas dan efisiensi operasional bisnis.

*) Neneng Goenadi, Country Managing Director Grab Indonesia

 

Suahasil Nazara: Dinamika Global Munculkan Ruang Bisnis Baru yang Bisa Diisi

Indonesia tak bisa lepas dari dampak dinamika global. Kondisi ekonomi Indonesia saat ini ada di tengah-tengah konstelasi dunia. Apa yang terjadi di beberapa negara maju memang akan berdampak pada seluruh dunia, misalnya kebijakan bunga Amerika Serikat, resesi yang dialami Eropa, hingga perekonomian Tiongkok.

Namun, ekonomi Indonesia berhasil menunjukkan resilien pada 2023 dan kuartal I 2024 bahkan mampu mendorong turun tingkat pengangguran terbuka (TPT) ke level sebelum Pandemi Covid-19. Pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar 5,11 persen di kuartal I 2024, angka tersebut merupakan pertanda baik bahwa ekonomi Indonesia tumbuh di atas 5 persen di sepanjang tahun ini. Kalau di pemerintah kita yakin untuk tahun 2024 Indonesia akan tumbuh di atas 5 persen, dengan potensi di 5,2 persen,

Kita harus menavigasi kondisi ekonomi dan geopolitik ini dengan melihat peluang di dalamnya. Sebab, kami yakin nanti akan muncul ruang-ruang bisnis baru yang tentu akan bisa diisi oleh pengusaha. Belum lagi jika itu semua kita pertemukan dengan fenomena digitalisasi. Saya selalu berpendapat bahwa digitalisasi akan menciptakan ruang-ruang pertumbuhan ekonomi baru, digitalisasi akan menciptakan ruang-ruang kegiatan ekonomi yang baru dan ini yang harus kita cari terus ke depan.

*) Suahasil Nazara, Wakil Menteri Keuangan (Wamenkeu)

Chatib Basri: Tensi Geopolitik Ancam Makro Ekonomi Seluruh Dunia

Ada beberapa tantangan utama yang dihadapi semua negara di dunia termasuk Indonesia dalam kondisi perekonomian secara global saat ini. Pertama adalah mengenai likuiditas yang ketat. Sebelumnya ada ekspektasi bahwa tingkat bunga bisa diturunkan, tetapi dengan perkembangan terakhir justru mengindikasikan bahwa kita akan berhadapan dengan situasi suku bunga yang mungkin bukan hanya tinggi, tetapi juga berlangsung untuk periode waktu yang lama.

Kedua adalah perlambatan ekonomi yang dialami Tiongkok. Apa impactnya ke Indonesia? Karena wkspor kita baik itu nikel, baik itu stainless steel, komoditas yang besar-besar itu targetnya adalah Tiongkok. Jadi kalau Tiongkok sedang slow down, kita juga pasti akan kena. Ekonomi Tiongkok sebelumnya mampu tumbuh hingga dua digit, kini hanya mampu tumbuh di level 5,2 persen pada 2023. Untuk setiap 1 persen penurunan ekonomi Tiongkok memberikan dampak terhadap ekonomi Indonesia yang ikut turun sebesar 0,3 persen.

Selanjutnya adalah potensi dampak ketegangan geopolitik Timur Tengah terhadap perekonomian secara global. Terhadap Indonesia sendiri, perang yang berkepanjangan berisiko membuat defisit APBN hingga Rp 300 triliun. Melonjaknya angka defisit APBN disebabkan oleh naiknya harga minyak dunia. Kenaikan harga minyak tersebut akan berdampak kepada beban subsidi BBM yang bertambah. Harga minyak dunia bisa ada di kisaran USD 64 per barel jika konflik ini berkepanjangan. Skenario direct war, Israel-Iran, Timur Tengah, semua negara Arab terlibat. Maka implikasinya adalah harga minyak naik.

*) Chatib Basri, Ekonom Senior

 

Erry Widiastono: Saya Benci Konotasi Kata ”Efisiensi”

Dalam segala tekanan yang ada saat ini, sering kita mendengar kata-kata efisiensi. Mohon maaf, terus terang saya benci dengan kata-kata ”efisiensi”, karena konotasi efisiensi yang dimaksud di sini adalah potong, potong, dan potong. Saya lebih menyukai terminologi efisiensi adalah cost optimation, yang isinya adalah cost saving dan cost avoidance.

Jadi artinya, dalam konteks survive dari tantangan ini bagaimana kita men-setting cost itu sebagai bentuk saving dan kedua adalah bagaimana kita tidak mengeluarkan biaya yang seharusnya tidak kita keluarkan. Strategi itu cukup signifikan dan cukup berhasil ketika diterapkan di Pertamina. Untuk gambaran saja, cost optimation yang bisa diperoleh Pertamina sampai Desember tahun 2023 itu kita bisa menghemat sekitar hampir USD600 juta.

Bagaimana kita bisa mencapai itu? Banyak yang bisa dilakukan, tapi kunci yang sedang dilakukan dan masih berlanjut adalah digital transformation proses bisnis. Pertamina mulai dari upstream sampai downstream, kita coba integrasikan semua sehingga bisa mencapai cost optimation. Jadi begitu yang kami bayangkan saat bicara soal efisiensi.

*) Erry Widiastono, Director of Corporate Services PT Pertamina (Persero)

 

Roy Nugroho: Mengakselerasi SDM, Omnichannel, dan Adopsi Teknologi

Setiap kita menghadapi permasalahan, termasuk dalam konteks resiliensi bisnis dalam jangka panjang, menurut kami ada tiga faktor penting yang patut diperhatikan. Pertama adalah people productivity. Apa yang bisa diefisienkan, mana yang bisa diakselerasi. Sebab, untuk bisa membuat bisnis efisien bukan cuma datang dari cost saving tapi juga time saving.

Setelah kita bisa memperkuat fundamental internal yaitu people, selanjutnya adalah memaksimalkan omnichannel marketing. Ini bertujuan untuk menjangkau customer baru dan menangkap behaviour customer yang baru. Ada sebuah report yang menunjukkan bahwa Indonesia punya 310 juta populasi digital di Asia Tenggara dan mereka semua mengarah pada tren yang sama dimana customer menginginkan convenience, simplicity, dan personalisasi. Hal-hal tersebut bisa di-adress dengan memanfaatkan strategi omnichannel marketing.

Selanjutnya adalah bagaimana memaksimalkan teknologi, termasuk didalamnya adopsi Artificial Intelegence (AI). Salah satunya juga optimalisasi teknologi untuk melindungi privasi orang di cyber security. Integrasi AI dan data bisa digunakan untuk menumbuhkan bisnis. Sehingga dalam kondisi yang penuh tantangan, bisnis kita bisa menjadi resilien.

*) Roy Nugroho, Director of Grab for Business Grab Indonesia

Editor: Dhimas Ginanjar

Tag:  #tantangan #membangun #bisnis #yang #resilien #tengah #tekanan

KOMENTAR