Risikonya Lebih Besar Dibanding yang Konvensional, Perbankan Gamang Biayai Proyek EBT
ILUSTRASI. Pengembangan panas bumi oleh PT Pertamina Geothermal Eenergi (PGE) Area Ulubelu di Tanggamus, Lampung. (Antara)
21:18
25 Pebruari 2024

Risikonya Lebih Besar Dibanding yang Konvensional, Perbankan Gamang Biayai Proyek EBT

 - Total pembiayaan berkelanjutan terus menunjukkan pertumbuhan. Meski, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengakui perbankan menghadapi tantangan dalam menyalurkan kredit ke energi baru terbarukan (EBT). Termasuk potensi macet.

“Sementara untuk 2023 masih dalam tahap pengumpulan dan validasi data. Namun, kami yakin bahwa penyaluran kredit/pembiayaan berkelanjutan akan terus meningkat. Seiring dengan pertumbuhan total kredit industri yang tercatat di atas dua digit yaitu sebesar 10,38 persen year-on-year (YoY),” ucap Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK Dian Ediana Rae, Kamis (22/2).

Pembiayaan berkelanjutan pada 2019, lanjut dia, senilai Rp 927 triliun. Dengan porsi 19,78 persen dari total kredit. Tahun berikutnya bertumbuh menjadi Rp 1.181 triliun, pada 2021 meningkat sebesar Rp 1.409 triliun, dan mencapai Rp 1.571 triliun di 2022.

“Adapun berdasarkan laporan implementasi rencana aksi keuangan berkelanjutan (RAKB) per Desember 2022, penyaluran pembiayaan berkelanjutan ke kegiatan usaha energi terbarukan mencapai Rp 42,6 triliun atau 2,81 persen dari total penyaluran pembiayaan bank kepada kegiatan usaha berkelanjutan (KUBL),” jelas Dian.

Menurut dia, industri perbankan mungkin menghadapi sejumlah tantangan dalam menyalurkan kredit ke EBT. Antara lain, risiko proyek yang mana investasi dalam proyek EBT seringkali melibatkan risiko yang lebih tinggi daripada proyek-proyek konvensional.

Faktor seperti ketidakpastian persediaan sumber daya alam (SDA) seperti bahan tambang dan bencana alam dapat meningkatkan risiko proyek. Tantangan berikutnya yaitu kurangnya data dan pengalaman.

Data yang dimiliki industri perbankan terkait EBT masih terbatas. Selain itu belum memiliki banyak pengalaman dalam menilai risiko kredit terkait dengan proyek EBT.

Dian juga menyebut proyek EBT memerlukan pembiayaan jangka panjang. Nah, tidak semua bank memiliki likuiditas yang sesuai untuk memberikan kredit dengan tenor yang cukup panjang. Kredit EBT tentunya juga memiliki potensi menjadi macet.

Antisipasi yang dilakukan, OJK terus melakukan pemantauan dan pengawasan ketat untuk penyaluran kredit perbankan kepada industri EBT. Dengan tujuan untuk mendeteksi potensi masalah sejak dini. Mencakup evaluasi portofolio kredit, analisis risiko, dan pemantauan rasio keuangan perbankan.

Regulator tentu menerapkan kebijakan prudensial sesuai dengan best practice internasional. Memastikan bahwa bank-bank mempunyai modal yang cukup untuk menanggulangi risiko kredit. Termasuk penyaluran kredit ke sektor EBT.

“Hal ini bisa termasuk persyaratan modal minimum dan pelaksanaan uji ketahanan (stress test),” ujarnya.

Sementara itu, Direktur Corporate Banking Bank Mandiri Susana Indah Kris Indriati menyatakan, sebagian besar kredit sindikasi Bank Mandiri tahun ini disalurkan ke sektor-sektor unggulan seperti infrastruktur, natural resources, consumer goods dan metal processing. Tidak hanya di sektor rill, dia juga melihat adanya tren pertumbuhan untuk pembiayaan pada sektor EBT.

“Tren pembiayaan sindikasi berbasis keberlanjutan seperti green loan, sustainability linked loan ataupun pembiayaan pada proyek-proyek EBT punya peluang untuk tumbuh di 2024,” ungkapnya.

Tren tersebut merupakan respon terhadap perkembangan global dan Indonesia menuju net zero emission. Sejalan dengan semakin meningkatnya kepedulian terhadap environmental, social, dan governance (ESG). “Kami memperkirakan, baik itu jumlah dan volume, pembiayaan secara sindikasi yang berbasis keberlanjutan dan mengedepankan prinsip-prinsip ramah lingkungan di Indonesia akan terus tumbuh di masa yang akan datang,” imbuh Susana.

PT Bank Central Asia Tbk (BCA) juga menjajaki dan menyalurkan kredit pada sektor-sektor potensial seperti EBT. Executive Vice President Corporate Communication and Social Responsibility BCA Hera F Haryn menyatakan penyaluran kredit ke sektor-sektor berkelanjutan tumbuh 10,6 persen YoY menjadi Rp 202,6 triliun. Angka tersebut di atas target pertumbuhan 9 persen dan berkontribusi 24,8 persen terhadap total portofolio pembiayaan BCA.

Capaian itu salah satunya ditopang kredit kendaraan bermotor listrik yang naik hampir 4 kali lipat secara tahunan mencapai Rp 1,3 triliun. “Sebagai bentuk diversifikasi pembiayaan berkelanjutan, BCA berinvestasi pada obligasi/sukuk hijau sebesar Rp 1,6 triliun, atau naik 332 persen YoY,” jelasnya.

Editor: Estu Suryowati

Tag:  #risikonya #lebih #besar #dibanding #yang #konvensional #perbankan #gamang #biayai #proyek

KOMENTAR