Sektor ICT Diharapkan Bantu Target Pertumbuhan Ekonomi 8 Persen Kabinet Prabowo-Gibran, Tantangannya Berat!
Prabowo-Gibran. (Dok. JawaPos.com)
08:09
20 Oktober 2024

Sektor ICT Diharapkan Bantu Target Pertumbuhan Ekonomi 8 Persen Kabinet Prabowo-Gibran, Tantangannya Berat!

 

Presiden Indonesia terpilih baru yakni Prabowo Subianto bersama wakilnya yang merupakan anak Joko Widodo atau Jokowi yakni Gibran Rakabuming Raka akan segera menjalankan roda pemerintahan yang baru. Target besar dipasang dan menanti di depan mata untuk dikerjakan.   Gembar-gembor pertumbuhan ekonomi yang dijanjikan saat kampanye, kenyataannya, kepemimpinan Prabowo Subianto akan menemui jalan yang sulit. Janji pertumbuhan ekonomi mencapai delapan persen akan jadi hutang terbesar kepimpinan Prabowo Subianto dengan wakilnya jika tak terealisasi.   Diketahui, Prabowo Subianto saat kampanye lalu menjanjikan kalau ia bisa meraih pertumbuhan ekonomi sampai delapan persen. Hal tersebut diklaim bisa dicapai di usia dua sampai tiga tahun pemerintahannya.   Salah satu sektor yang diyakini bisa membantu pemerintahan Prabowo Subianto mencapai realisasi pertumbuhan ekonomi hingga delapan persen adalah sektor ICT dari ekonomi digital. Namun kenyataannya, potensi ekonomi digital dan berbagai infrastrukturnya masih perlu dimaksimalkan untuk menopang program pemerintahan Prabowo-Gibran agar terealisasi target pertumbuhan ekonomi yang ingin dicapai.  

  Hal tersebut diutarakan oleh pengamat ekonomi digital dari Indonesia ICT Institute, Heru Sutadi. Menurutnya, menurut Heru, akar masalah yang menjadi penghambat sektor ekonomi digital untuk maju masih perlu 'diurut' terlebih dahulu.   Dimulai dari pemerataan akses telekomunikasi dan ketersediaan internet cepat, mendorong potensi E-Commerce di Indonesia bagi pelaku UMKM dan ketersediaan infrastruktur pendukungnya. Bahkan konsistensi pemerintah sendiri disebut bisa jadi risiko gagal tercapainya target pertumbuhan ekonomi yang dijanjikan Prabowo Subianto.   "Target tersebut lebih tinggi dari pada target Jokowi sebelumnya. Angka 7 persen saja selama ini agak berat untuk dicapai Jokowi. Tapi memang ada harapan, harapannya adalah dengan bagaimana kita mendorong pengembangan ekonomi digital yang selama ini performanya itu belum maksimal," terang Heru dihubungi JawaPos.com.   Untuk mendukung ekonomi digital sebagai salah satu penopang pertumbuhan ekonomi yang ditarget Prabowo Subianto, potensi E-Commerce di Indonesia saat ini menurut Heru masih jauh. Misalnya, data mengungkapkan bahwa nilai pasar E-Commerce Indonesia baru bernilai sekitar USD 82 miliar pada tahun 2023.    Meski menjadi salah satu yang terbesar di kawasan Asia Tenggara, angka tersebut masih belum mampu mencapai nilai yang ditarget sebelumnya. "Padahal kan target kita itu sudah di atas USD 100 miliar pada saat itu," Heru menambahkan.  

  Untuk bisa mencapai hal tersebut, pertumbuhan yang konsisten di sektor ekonomi digital, salah satu tantangan yang menjadi kendala adalah ketersediaan akses telekomunikasi yang merata, begitu juga dengan akses internet yang di wilayah-wilayah yang bahkan sampai saat ini masih belum tersentuh jaringan internet.   "Infrastruktur ini perlu dibenahi. Bagaimana menggelar jaringan telekomunikasi, memperluas akses internet, itulah PR terbesar kita untuk mendorong ekonomi digital buat naik. Memang kecepatan internet kita naik dalam 10 tahun terakhir, sekarang di 22-25 Mbps, tapi itu belum cukup," terang Heru.   Sebagai informasi, hal tersebut sebelumnya diklaim oleh Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Budi Arie Setiadi. Budi Arie menyatakan kalau kecepatan internet di Indonesia meningkat sejak tahun 2014 pada kisaran 2,5 Mbps kini naik menjadi 25 Mbps di tahun 2024.   "Artinya meningkat 10 kali lipat, kita berharap di lima tahun ke depan kita bisa mengejar (target) 100 Mbps kecepatan internet," ungkap Budi Arie.   Menurut Heru Sutadi, naiknya kecepatan internet di Indonesia dalam 10 tahun terakhir bukan sesuatu hal yang bisa terlalu dibanggakan. Sebab, kompetisi Indonesia tidak hanya melawan "Indonesia" itu sendiri, tapi juga bersaing dengan negara-negara lain di Asia Tenggara.   "Infrastruktur kita memang meningkat dari ada 10 kali lipat gitu ya. Tapi di 2014 itu posisi kita berada di tengah, berada di 4 ke 5 di antara negara-negara Asia Tenggara.  Namun sekarang posisi Indonesia itu melorot, di posisi 9 dari 11 negara. Artinya apa? Artinya bahwa upaya yang sama tidak hanya dilakukan di Indonesia, tapi juga negara lain bahkan lebih giat lagi, kita biasa saja," ungkap Heru.  

  Sehingga menurut Heru, yang perlu dicapai saat ini, untuk bisa merasakan manfaat dari potensi ekonomi digital, yang harus dilakukan adalah memperbaiki infrastruktur. Kemudian juga menambah jumlah UMKM yang berpotensi pada kontribusi ekonomi digital dan ekonomi kerakyatan yang digagas Prabowo Subianto perlu dilakukan.   Heru memaparkan bahwa dari target 65 juta UMKM yang digagas Kementerian Koperasi dan UKM dari 2022 hingga 2024, saat ini angkanya bahkan belum setengahnya. Hal tersebut juga menjadi tantangan, menambah jumlah UMKM dan memasukkannya ke platform digital untuk bisa ikut bersaing dan mendorong perekonomian dari ekonomi digital.   "Kemudian juga misalnya apakah bisa didorong E-Commerce nya ke depan makin meningkat? Ya bisa, kita dorong UMKM-nya. Targetnya kan 65 juta, tapi sekarang, setengahnya saja belum sampai. Kemudian juga E-Commerce itu harus lebih banyak produk lokal, sementara ini kan. Yang murah-murah justru impor dari Tiongkok, ini nggak bisa," tegas Heru.   Terkait hal tersebut, Heru juga meminta pemerintah untuk konsisten. Jika goals-nya adalah mendorong ekonomi digital, mendorong ekonomi kerakyatan untuk kontribusi pertumbuhan ekonomi delapan persen, selain infrastruktur, pemerintah harus fokus pada UMKM dan produk lokal.   Hal ini menjadi respons Heru terhadap isu yang beredar sebelumnya terkait aplikasi Temu yang kabarnya akan masuk Indonesia. Temu sendiri merupakan aplikasi belanja dari Tiongkok yang langsung mempertemukan pabrik dengan pembeli.   Hilangnya pihak kedua ini berpotensi mematikan upaya-upaya dari pelaku usaha kecil di Indonesia. Bahkan, disrupsi dan dampak negatif Temu juga sudah dirasakan banyak negara yang kehadiran aplikasi tersebut.   "Oke negara kita tidak anti terhadap investasi asing. Dengan catatan, investasi asing mengikuti aturan yang ada di Indonesia dan memberikan kontribusi terhadap Indonesia. Selama ini kan juga banyak yang tidak patuh, akhirnya bocor potensi ekonomi kita dari sana, jual produk murah, tidak bayar pajak, tidak bikin kantor di Indonesia, tidak rekrut pekerja lokal, ini kan selama ini didiamkan," tegas Heru.  

  Industri Butuh Harmonisasi Regulasi    Tantangan tersebut juga diamini oleh industri yang mendukung sektor digital dan ICT di Indonesia. Misalnya adalah operator seluler dan penyedia jaringan internet atau Internet Service Provider (ISP).   Untuk mendorong pendukung ekonomi digital supaya bisa maju lagi, jika yang diharapkan adalah meningkatkan kecepatan internet dan aksesibilitas yang lebih luas di masyarakat, industri berharap pemerintah bisa melakukan harmonisasi regulasi.   Asosiasi Penyelenggara Telekomunikasi Seluruh Indonesia atau Atsi melalui Merza Fachys selaku Wakil Ketua Umum Atsi mengungkapkan, saat ini belum sejalan regulasi antara pusat dan di daerah. Hal tersebut pada akhirnya membuat pemerataan akses telekomunikasi jadi terhambat.   "Tantangannya kan adalah bagaimana membuat jaringan telekomunikasi dan internet cepat dapat tersedia merata di Indonesia. Hal tersebut mencakup pembangunan infrastruktur BTS, satelit dan fiberisasi yang selama ini masih berjalan," ucap Merza.   Fiberisasi sendiri belakangan banyak dilakukan oleh operator baik seluler dan provider fix broadband untuk mendorong penetrasi internet cepat hingga ke rumah-rumah, ke apartemen dan gedung perkantoran.    Selain itu, untuk kecepatan internet sendiri, selain karena faktor pembangunan infrastruktur, Merza menyebut kalau hal tersebut masih terkendala lagi dengan daya beli masyarakat.   

  "Kalau sudah tahu pekerjaan rumah yang harus dilakukan, mari kita bagi tugas, antara operator saat ini ada lima, kemudian di Apjatel ada sekian, mari kita bagi tugas. Bisakah fiberisasi 100 persen, baru kemudian orang-orang menghitung, oh kita mampu pakainya segini, yang lain segini (kecepatannya), karena itu investasinya pasti akan gede banget," terang Merza.   Internet dan akses telekomunikasi yang merata lagi-lagi menjadi core atau inti dari ekonomi digital yang diharapkan mampu membantu pemerintah mencapai target delapan persen. UMKM masuk platform digital, produk diketahui lebih luas oleh masyarakat di berbagai penjuru daerah, layanan masyarakat lebih cepat dengan internet dan sebagainya.   Kendala harmonisasi regulasi juga disampaikan oleh Asosiasi Penyelenggara Jaringan Telekomunikasi (Apjatel) yang selama ini menggelar jaringan fiber di berbagai daerah di Indonesia. Disampaikan oleh Ketua Umumnya Jerry Mangasas Swandy, kendala yang banyak ditemukan Apjatel dalam menggelar layanan fiber adalah regulasi yang tumpang tindih.   Jerry mengungkapkan, sejak pertama digunakan tahun 2005 hingga sekarang, baru 30 persen wilayah Indonesia yang terlayani jaringan fiber optik. “Butuh dukungan dari berbagai pihak, pemerintah, masyarakat dan semua pihak agar pembangunan jaringan bisa terus berlangsung dan bisa mencapai seluruh pelosok negeri," ungkap Jerry.   Menurut Jerry, terkait dengan regulasi, dari pusat hingga ke daerah, semuanya mengeluarkan produk perizinan. Hal tersebut selain membuat regulasi jadi tumpang tindih, juga membuat proses penggelaran fiber optik jadi lebih mahal. Biaya membengkak.   "Kalau kita menggelar di jalan-jalan, PUPR punya izin, kalau masuk ke kawasan konservasi, KLHK punya izin, di jalan tol juga, Jasa Marga punya izin, developer, PDAM dan lainnya semua punya izin, jadi nggak harmonis, nggak simple, nah makanya kita butuh simplifikasi, aturan atau regulasi yang lebih sederhana," papar Jerry.  

  Masalah regulasi ini menjadi ruwet dan tumpang tindih lantaran internet belum dianggap sebagai kebutuhan primer seperti listrik, gas dan air bersih. Sehingga, pada saat menggelar infrastruktur, masih belum dianggap sebagai Proyek Strategis Nasional atau PSN.   Hal tersebut yang membuat operator kerap kesulitan jika ingin menggelar layanan. Padahal, kata Jerry, internet sudah merupakan bagian integral dari kehidupan kita sehari-hari saat ini.   "Jadi apakah internet ini bisa membantu pemerintah mencapai target pertumbuhan ekonomi delapan persen, ya bisa. Jawabannya secepat apa pemerintah mampu menyederhanakan regulasi ini. Kalau internet merata kan semua merasakan, layanan masyarakat lebih cepat, pariwisata di daerah maju, UMKM bisa merasakan juga, banyak manfaatnya," tandas Jerry.   Kesimpulannya, sektor ICT dengan ekonomi digital membutuhkan akses telekomunikasi dan internet yang merata, kecepatan yang tidak hanya tinggi, tapi juga murah dan stabil. Namun dalam prosesnya, dibutuhkan upaya membangun infrastruktur yang tak murah, juga tak mudah.    Hal tersebut menjadi pekerjaan rumah besar bagi pemerintahan yang baru di bawah kepemimpinan Prabowo Subianto. Selain itu, pemerintahan baru ini juga diharapkan konsisten dengan regulasi-regulasinya yang memudahkan pelaku usaha untuk sama-sama mewujudkan target pertumbuhan ekonomi, menguntungkan UMKM dan pengusaha kecil dan kebijakan yang pro rakyat.

Editor: Banu Adikara

Tag:  #sektor #diharapkan #bantu #target #pertumbuhan #ekonomi #persen #kabinet #prabowo #gibran #tantangannya #berat

KOMENTAR