Menua Tanpa Peta
INDONESIA sedang menua—diam-diam, tetapi pasti. Data Susenas Agustus 2025 yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat penduduk usia 65 tahun ke atas hampir menyentuh 22 juta orang.
Angka ini sering lewat sebagai statistik rutin. Padahal di baliknya tersimpan pertanyaan kebijakan yang jauh lebih mendasar: siapa yang sesungguhnya bertanggung jawab atas hidup jutaan lansia Indonesia—negara atau keluarga?
Selama ini, jawabannya lebih sering jatuh ke keluarga. Negara hadir, tetapi belum sepenuhnya mengambil alih peran. Dan di situlah persoalan penuaan penduduk Indonesia bermula.
Jika menilik struktur umur penduduk usia 15 tahun ke atas, Indonesia secara statistik masih tampak kokoh sebagai negara “produktif”.
Kelompok usia muda-produktif seperti 15-24 tahun dan 25-34 tahun masing-masing sekitar 44 juta jiwa lebih — angka yang mencerminkan dominasi penduduk usia kerja dalam perekonomian nasional.
Kelompok usia 35–39 tahun dan 40–44 tahun juga masing-masing masih berada di kisaran jutaan jiwa, menunjukkan pangsa usia produktif yang kuat dalam tenaga kerja dan konsumsi domestik.
Di sisi lain, kelompok usia 60–64 tahun mencapai lebih dari 12 juta jiwa, dan usia 65–69 tahun sekitar 9,2 juta jiwa — belum termasuk lansia 70 tahun ke atas yang juga menambah jumlah lansia total hampir 22 juta orang (data kelompok 65+).
Angka-angka ini menunjukkan bahwa meskipun persentase lansia relatif lebih kecil dibandingkan kelompok produktif, pertumbuhannya merupakan porsi signifikan dalam populasi usia dewasa (Susenas, BPS, 2025).
Dalam demographic transition theory, fase ini menandai peralihan dari masyarakat muda menuju masyarakat yang makin menua ketika angka harapan hidup meningkat dan angka kelahiran menurun.
Tren ini terlihat jelas, meski mayoritas penduduk masih berada di produktif (15–64), kelompok lansia (65+) bertambah secara absolut dan proporsional seiring waktu, mencerminkan fenomena penuaan populasi yang tak bisa diabaikan.
Namun, perubahan demografi ini tidak diikuti dengan perubahan cara negara mendistribusikan tanggung jawab sosial.
Secara praktik, ketika seseorang melewati usia produktif, beban kesejahteraan berpindah dari pasar kerja ke rumah tangga.
Inilah yang oleh para ahli disebut sebagai rezim familialism welfare, ketika keluarga menjadi penanggung utama risiko usia tua—sakit, kehilangan pendapatan, dan ketergantungan (Saraceno, 2016). Beban ini tidak tercatat dalam APBN, tetapi nyata dalam dapur rumah tangga.
Dalam demographic transition theory, fase ini menandai peralihan dari masyarakat muda menuju masyarakat menua, ketika usia harapan hidup meningkat dan angka kelahiran menurun (Notestein, 1945). Indonesia kini tepat berada di fase itu.
Negara hadir, tetapi keluarga tetap menjadi sandaran
Pemerintah tentu tidak sepenuhnya absen. Strategi Nasional Peningkatan Kualitas Hidup Lansia telah disusun.
Lansia masuk dalam Program Keluarga Harapan, memperoleh akses Jaminan Kesehatan Nasional, serta dilayani melalui posyandu lansia dan layanan geriatri dasar. Sejumlah pemerintah daerah bahkan memberikan bantuan tunai khusus lansia.
Namun, jika dibaca melalui lensa welfare state theory, kebijakan ini masih bersifat selektif dan residual. Negara hadir sebagai pelengkap ketika keluarga tidak mampu, bukan sebagai penanggung jawab utama kesejahteraan lansia (Esping-Andersen, 1990).
Akibatnya, kualitas hidup lansia sangat ditentukan oleh kemampuan ekonomi keluarga, bukan oleh hak sebagai warga negara.
Teori life-course approach menjelaskan konsekuensi ini secara gamblang: ketika negara gagal membangun jaminan sosial di usia produktif, maka ketergantungan di usia tua menjadi keniscayaan (Elder, 1998).
Itulah yang terjadi pada banyak lansia Indonesia—sepanjang hidup bekerja di sektor informal, memasuki usia tua tanpa pensiun, dan kembali bergantung pada anak.
Pengalaman negara lain menunjukkan bahwa penuaan penduduk bukanlah takdir yang harus dibayar keluarga sendirian.
Jepang membangun Long-Term Care Insurance, sistem asuransi perawatan lansia berbasis kebutuhan, sehingga anak tidak menjadi satu-satunya perawat (Campbell & Ikegami, 2003).
Negara-negara Nordik bahkan melangkah lebih jauh dengan prinsip de-familialisation, memindahkan risiko usia tua dari rumah tangga ke negara melalui layanan publik universal (Esping-Andersen, 2009).
Singapura memilih jalan tengah. Keluarga tetap berperan, tetapi negara menyediakan Central Provident Fund, subsidi kesehatan lansia, dan pusat active ageing berbasis komunitas untuk menjaga kemandirian lansia selama mungkin (Asher & Nandy, 2008).
Benang merahnya sama: menghormati lansia bukan hanya soal nilai keluarga, tetapi desain institusi.
Konsep active ageing WHO menekankan bahwa lansia harus diperlakukan sebagai warga negara yang tetap sehat, berpartisipasi, dan terlindungi—bukan sekadar penerima belas kasihan (WHO, 2002). Pendekatan ini terbukti lebih berkelanjutan secara fiskal dan sosial.
Menutup peta yang hilang
Struktur umur penduduk usia 15 tahun ke atas memberi pesan yang tak bisa diabaikan: waktu Indonesia untuk bersiap semakin sempit.
Jika penuaan penduduk terus diperlakukan sebagai urusan privat keluarga, maka ketimpangan antargenerasi akan membesar secara senyap.
Dalam kerangka social investment state, perlindungan lansia bukan beban anggaran, melainkan investasi untuk menjaga stabilitas sosial dan mencegah kemiskinan yang diwariskan lintas generasi (Morel, Palier & Palme, 2012).
Negara perlu bergerak dari logika bantuan menuju logika hak—membangun jaminan pendapatan dasar lansia, layanan perawatan jangka panjang, dan sistem data yang memungkinkan kebijakan presisi.
Keluarga tetap penting. Nilai kekeluargaan adalah kekuatan sosial Indonesia. Namun, keluarga tidak boleh menjadi satu-satunya peta. Negara harus hadir bukan untuk menggantikan kasih sayang, melainkan menjamin bahwa setiap warga dapat menua dengan martabat.
Jika tidak, penuaan penduduk akan terus berlangsung—tanpa peta, tanpa arah, dan tanpa kepastian.