PLN: Utang Terang, Listrik Redup
ilustrasi pln(KOMPAS.com/HERU DAHNUR)
07:48
29 Desember 2025

PLN: Utang Terang, Listrik Redup

DI NEGERI yang gemar berbicara tentang kemandirian energi, ironi justru kerap menyala lebih terang daripada listrik itu sendiri.

Pemadaman datang tanpa aba-aba, layanan pelanggan terasa lamban, sementara narasi besar tentang surplus energi terus diproduksi di ruang-ruang pidato.

Bagi warga, listrik bukan isu ideologis, melainkan soal paling praktis: menyala atau padam.

Paradoks ini mengerucut pada satu simpul utama: Perusahaan Listrik Negara (PLN). Sebagai tulang punggung pembangunan, PLN memikul peran strategis sekaligus beban struktural yang kian berat.

Utang menumpuk, pelayanan dipertanyakan, dan publik berada di posisi paling lemah—tetap membayar tepat waktu, tapi sering kali harus bersabar tanpa kepastian.

Utang PLN

Dalam teori ekonomi, utang adalah instrumen yang sah untuk mendorong ekspansi dan mempercepat pertumbuhan.

Ia menjadi problematik ketika kehilangan fungsi produktif dan berubah menjadi penutup inefisiensi.

Di titik ini, kritik terhadap utang PLN menemukan pijakan akademiknya: pembiayaan jangka panjang terus bertambah, sementara perbaikan mendasar pada efisiensi dan tata kelola berjalan tertatih.

Laporan keuangan terbaru menunjukkan skala persoalan tersebut dengan lebih gamblang. Pada tahun 2024, total liabilitas PLN telah menembus Rp 711,2 triliun, angka yang bukan lagi sekadar statistik, melainkan sinyal kuat beban struktural BUMN penyedia layanan publik.

Utang ini sebagian besar terikat pada proyek pembangkit dan kewajiban jangka panjang, sementara manfaat ekonominya belum sepenuhnya terkonversi menjadi peningkatan kualitas layanan yang dirasakan langsung oleh konsumen.

Dalam literatur ekonomi publik, kondisi ini kerap dikaitkan dengan fenomena moral hazard, ketika perlindungan implisit negara melemahkan disiplin pasar dan mendorong pengambilan keputusan yang kurang berhati-hati.

Jaminan tersebut menciptakan ilusi bahwa risiko finansial—baik dari proyek yang tidak efisien maupun perencanaan yang meleset—akan selalu diserap oleh negara, bukan oleh manajemen korporasi.

Akibatnya, utang tampil terang dan impresif di laporan keuangan, tapi transformasinya menjadi nilai tambah nyata bagi publik—dalam bentuk layanan yang andal, terjangkau, dan berkeadilan—justru kian redup.

Bagi warga, diskursus utang dan investasi hanya bermakna sejauh ia berujung pada layanan yang andal.

Kenyataannya, pemadaman mendadak tetap menjadi keluhan rutin di banyak daerah, seolah listrik adalah bonus situasional, bukan layanan publik yang dijamin.

Informasi yang minim dan respons yang lambat menempatkan konsumen pada posisi paling sunyi: membayar tepat waktu, lalu menunggu dalam gelap keputusan yang bahkan tidak pernah mereka ikuti.

Data Kementerian ESDM memang menunjukkan perbaikan indeks keandalan listrik (SAIDI dan SAIFI) secara nasional. Namun, statistik itu cepat kehilangan makna ketika diturunkan ke tingkat lokal.

Di sejumlah daerah, durasi padam per pelanggan masih mencapai puluhan jam per tahun—cukup untuk melumpuhkan aktivitas UMKM dan mengacaukan ritme hidup rumah tangga.

Angka-angka itu seakan rapi di laporan, tetapi berantakan di dapur, bengkel, dan warung kecil.

Dalam perspektif ekonomi kesejahteraan, kegagalan layanan dasar semacam ini melahirkan biaya sosial yang jauh melampaui kerugian finansial langsung.

Produktivitas merosot, kepercayaan publik terkikis, dan jarak antara negara sebagai penyedia layanan dan warga sebagai pengguna kian menganga.

Negara hadir sebagai narator optimisme, sementara warga dipaksa berperan sebagai penonton yang belajar hidup berdampingan dengan ketidakpastian.

Transisi energi: Retorika terang, implementasi redup

Di tengah problem layanan yang belum terselesaikan, wacana transisi energi justru digelorakan dengan optimisme nyaris seremonial.

Energi baru dan terbarukan dipromosikan sebagai jawaban masa depan, seakan pemadaman hari ini dapat ditebus dengan janji esok hari.

Transisi energi pun tampil bak etalase kebijakan: terang di baliho dan dokumen resmi, tetapi remang di ruang-ruang hidup warga yang masih bergantung pada listrik yang tak kunjung andal.

Ironinya, investasi besar terus mengalir tanpa jeda. Belanja modal PLN per tahun mencapai ratusan triliun rupiah dalam beberapa tahun terakhir, tapi kualitas layanan tak kunjung melonjak secara sepadan.

Modal tampak bergerak lebih cepat daripada reformasi, seolah efisiensi dan tata kelola adalah urusan yang bisa menyusul belakangan—atau sekadar catatan kaki dalam laporan kinerja.

Kita pun seolah memelihara raksasa berkabel panjang dengan kaki pendek: jaringan membentang luas, tetapi fondasi tata kelolanya rapuh.

Negara berbicara lantang tentang kemandirian energi, sementara ketergantungan pada utang tetap menjadi penopang utama.

Dalam ironi yang nyaris sempurna, kemandirian dirayakan dengan pinjaman, dan masa depan dijanjikan dengan sistem yang belum sepenuhnya siap hari ini.

Pada akhirnya, persoalan listrik bukan soal kekurangan sumber daya, melainkan keberanian menata prioritas. Pelayanan publik seharusnya menjadi tujuan, bukan efek samping pembangunan.

Selama utang terus tampil terang dan kualitas layanan tetap redup, warga akan terus dipaksa beradaptasi—menyalakan lilin di tengah terang-retorika kebijakan.

Tag:  #utang #terang #listrik #redup

KOMENTAR