Indonesia di Pusat Rantai Nikel Dunia dan Risiko Bencana (Bagian II-Habis)
Limbah nikel di sebuah kawasan tambang di Konawe Utara mencemari laut.(HARYO WIRAWAN/BBC)
11:52
23 Desember 2025

Indonesia di Pusat Rantai Nikel Dunia dan Risiko Bencana (Bagian II-Habis)

DI TITIK ini, peran Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menjadi strategis karena mengatur arus modal. Dan kita tahu, arus modal adalah oksigen industri.

Kalau aturan keuangan tepat, pasar ikut disiplin. Ada tiga tuas yang paling menentukan.

Pertama, corporate sustainability disclosure: perusahaan harus membuka informasi yang cukup agar investor dan publik bisa menilai risiko secara masuk akal, termasuk emisi, dampak lingkungan, dan risiko sosial.

Disclosure ini penting karena yang tidak terlihat tidak akan dikelola; dan yang tidak diungkap akan selalu menjadi bom waktu.

Kedua, investor stewardship: investor tidak cukup menjadi pemberi dana pasif. Mereka harus ikut mendorong perbaikan lewat engagement dengan perusahaan, penggunaan hak suara, dan penetapan ekspektasi yang jelas—karena uang tidak boleh diam ketika melihat risiko; uang harus ikut “menyetir”.

Dalam konteks ini, di forum Principles for Responsible Investment (PRI) di China, penulis menekankan satu prinsip yang sangat penting: ketika standar “green” dan “transition” di dalam negeri China makin ketat, standar yang sama harus ikut dibawa oleh investor dan perusahaan-perusahaan China yang beroperasi di Indonesia.

Tidak ada alasan untuk menurunkannya hanya karena di sini aturan lebih longgar atau pengawasan lebih lemah. Itu bukan strategi efisiensi. Itu strategi menumpuk risiko.

Kalau standar diturunkan, risiko bencana jelas mengancam. Deforestasi, sedimentasi, dan kerusakan daerah tangkapan air tidak pernah berhenti pada peta. Ia berakhir pada banjir, longsor, dan kerugian publik yang besar.

Lalu, risiko kecelakaan kerja juga meningkat. Protokol yang dilonggarkan cepat atau lambat akan mencari korban. Begitu insiden terjadi, operasi terganggu, biaya membengkak, dan stabilitas proyek goyah.

Dan yang paling mahal sering datang belakangan: reputational risk. Satu insiden serius cukup untuk menghapus kepercayaan, memicu sorotan media dan investor, dan menutup pintu pembiayaan.

Pada akhirnya, menurunkan standar bukan hanya merugikan Indonesia. Itu merugikan perusahaan—karena mereka sedang membangun bisnis di atas fondasi yang rapuh.

Ketiga, due diligence dan third-party verification. Pembiayaan yang mengklaim hijau atau transisi harus diuji, bukan dipercaya; verifikasi membuat greenwashing lebih sulit, dan memberi insentif reputasi serta biaya modal yang lebih baik bagi perusahaan yang benar-benar berbenah.

Jika kita rangkum dengan bahasa paling awam, desain hilirisasi nikel yang aman itu seperti mengemudikan kendaraan besar di jalan pegunungan: butuh rem, sabuk pengaman, peta rute yang benar, dan aturan batas kecepatan.

AMDAL adalah rem dan cek kendaraan. Ecological no-go zones—dengan inspirasi prinsip Ecological Conservation Redline (ECR)—adalah rambu “dilarang masuk” di jurang dan kawasan rawan.

Unified spatial database adalah peta rute yang satu suara agar tidak tersesat dan tidak saling tabrak.

Kebijakan industri dan fiskal yang pro-lingkungan adalah aturan batas kecepatan sekaligus insentif bagi pengemudi yang patuh.

Transition taxonomy adalah definisi resmi: mana yang benar-benar “transisi” dan mana yang hanya pakai stiker “transisi”.

Lalu OJK sebagai otorita keuangan adalah pihak yang mengatur siapa yang boleh mendapat “bahan bakar modal” dan dengan syarat apa.

Pada akhirnya, Indonesia memang bisa menjadi pusat rantai nikel dunia. Namun, pusat itu ada dua jenis.

Pertama, pusat karena volume—besar, cepat, tetapi rawan bocor. Kedua, pusat karena kualitas—besar, tetapi disiplin, kredibel, dan tahan lama.

Dunia tidak hanya membeli nikel; dunia membeli cerita di balik nikel: apakah ia datang dari deforestasi atau dari tata kelola yang bertanggung jawab, apakah ia memperpanjang batu bara atau benar-benar menurunkan emisi, apakah ia mengorbankan masyarakat atau menciptakan manfaat yang adil.

Dan di era transisi, cerita itu bukan kosmetik. Cerita itu berubah menjadi akses pasar, biaya modal, dan reputasi negara.

Jika kita serius ingin menjadi pemain utama EV, maka kita tidak boleh hanya membangun pabrik. Kita harus membangun kepercayaan.

Dan kepercayaan itu lahir dari hal yang sangat konkret: AMDAL yang berdaya, ecological no-go zones yang benar-benar dipatuhi, unified spatial database yang membuat izin tertib, kebijakan industri dan fiskal pro-lingkungan, transition taxonomy yang tegas dengan third-party verification, serta peran OJK yang menguatkan disclosure dan investor stewardship.

Hilirisasi akan tetap jalan—yang sedang kita putuskan adalah: ia akan jalan sebagai jalan menuju masa depan, atau jalan yang memindahkan beban risiko bencana ke belakang sambil menyebutnya “kemajuan”.

Tag:  #indonesia #pusat #rantai #nikel #dunia #risiko #bencana #bagian #habis

KOMENTAR