IHSG All Time High di Tengah Asing Kabur, Analis Ungkap Penyebabnya
Ilustrasi IHSG.(DOKUMENTASI BEI)
12:44
19 Desember 2025

IHSG All Time High di Tengah Asing Kabur, Analis Ungkap Penyebabnya

Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) sepanjang 2025 rutin menorehkan rekor tertinggi sepanjang sejarah atau all time high (ATH).

Kinerja tersebut kerap dipersepsikan sebagai tanda pasar saham Indonesia mampu mengungguli bursa global (outperform).

Namun, Founder sekaligus Chief Marketing Officer & Partner Jarvis Asset Management, Kartika Sutandi, menilai istilah outperform kurang tepat untuk menggambarkan pergerakan IHSG saat ini.

Menurutnya, kenaikan pasar saham Tanah Air bukan semata-mata karena kinerjanya lebih unggul dibanding negara lain, melainkan karena kondisi pasar saham global sepanjang tahun ini memang relatif kondusif.

Amerika Serikat, misalnya, sempat mencetak rekor tertinggi sepanjang masa.

Meski belakangan mengalami koreksi, penurunan tersebut lebih dipicu oleh sikap pelaku pasar yang menunggu keputusan penting bank sentral AS, Federal Reserve (The Fed).

Namun secara keseluruhan, sepanjang tahun ini pasar saham AS tetap berada di level all time high.

Kondisi serupa juga terjadi di negara lain.

Indeks utama Jepang, Nikkei, mencatatkan kenaikan signifikan, sementara China mulai menunjukkan tanda-tanda pemulihan ekonomi.

Dalam lanskap global tersebut, Indonesia pun ikut mencatatkan rekor tertinggi.

Karena itu, menurut Kartika, penguatan IHSG lebih mencerminkan reli pasar saham global secara luas, bukan karena pasar saham Indonesia bergerak sendiri dan benar-benar mengungguli bursa-bursa lain.

“Outperform? Nggak juga lah. Lihat saja, sebenarnya main saham global itu tahun ini tidak buruk. Amerika Serikat juga sempat all time high. Memang sekarang agak turun karena pasar menunggu Fed decision, tapi tetap saja level tertingginya terjadi tahun ini. Negara lain juga sama, Nikkei naik, China mulai recovery, dan Indonesia kebetulan juga all time high,” ujar Kartika dalam sesi wawancara dengan Filonomics yang disiarkan Kompas.com, Kamis (18/12/2025).

Ia menekankan bahwa faktor kunci di balik fenomena tersebut adalah kelimpahan likuiditas.

Likuiditas global dinilai masih sangat besar dan belum sepenuhnya ditarik keluar dari sistem keuangan.

Bahkan, Kartika melihat peluang bahwa bank sentral AS tidak hanya memangkas suku bunga, tetapi juga berpotensi kembali menjalankan kebijakan quantitative easing (QE).

QE merupakan kebijakan moneter tidak konvensional yang dilakukan bank sentral untuk menambah likuiditas ke dalam sistem keuangan, terutama ketika suku bunga sudah rendah atau tidak lagi efektif mendorong ekonomi.

Dalam kondisi likuiditas yang melimpah, harga aset keuangan umumnya terdorong naik.

Pada siklus kali ini, saham menjadi salah satu kelas aset yang paling banyak menyerap aliran dana tersebut.

“Ya sebenarnya gampang saja, likuiditasnya banyak. Likuiditas global masih sangat besar. Bahkan Amerika, kami curiga bisa saja QE lagi. Bukan cuma potong bunga, tapi mungkin QE lagi. Jadi, ketika likuiditas melimpah, harga berbagai kelas aset biasanya naik,” paparnya.

“Dan kebetulan, kelas aset yang naik kali ini adalah saham,” lanjut Kartika.

Namun demikian, ia menegaskan bahwa penguatan harga tidak hanya terjadi di pasar saham.

Bitcoin, misalnya, juga mencetak rekor tertinggi sepanjang tahun ini dan sempat menembus level 126.000 dollar AS sebelum akhirnya mengalami koreksi.

Hal serupa juga terjadi pada emas yang mencatatkan harga tertinggi sepanjang masa.

Fenomena tersebut menunjukkan bahwa kondisi all time high tidak eksklusif terjadi pada saham, melainkan merata di berbagai kelas aset.

Kartika memandang, koreksi di satu aset berpotensi memicu perpindahan dana ke aset lain, termasuk ke pasar saham.

Dari sisi domestik, Kartika menilai kondisi pasar saham Indonesia sebenarnya sempat berada dalam tekanan sejak kuartal keempat tahun lalu.

Arus dana asing tercatat terus keluar dan hingga kini tren tersebut belum sepenuhnya berbalik.

Investor asing, menurutnya, melepas saham-saham berkapitalisasi besar, khususnya di sektor perbankan.

Saham bank-bank besar seperti PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk (BBRI), PT Bank Central Asia Tbk (BBCA), hingga PT Bank Mandiri (Persero) Tbk (BMRI) sempat menjadi sasaran utama aksi jual.

Dalam situasi tersebut, investor ritel domestik justru tampil agresif dan menjadi penampung utama saham-saham yang dilepas oleh investor asing.

“Indonesia itu sebenarnya sudah suram sejak fourth quarter tahun lalu. Asing keluar terus sampai sekarang. Bedanya, ritel kita agresif. Tahun lalu asing buang hampir semua saham bank, paling banyak BRI, BCA juga sempat dilepas,” ujarnya.

Meski demikian, Kartika mengingatkan bahwa kemampuan investor ritel untuk terus menyerap saham tentu memiliki batas.

Ilustrasi logo Bursa Efek Indonesia (BEI). KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG Ilustrasi logo Bursa Efek Indonesia (BEI). Tekanan pasar mencapai puncaknya pada April lalu ketika sentimen global memburuk akibat memanasnya isu perang tarif.

Periode tersebut menjadi titik terendah pergerakan IHSG.

Namun secara historis, fase tekanan ekstrem sering kali menjadi awal dari pembalikan arah pasar.

Dalam kondisi kepanikan, biasanya muncul respons kebijakan yang menenangkan pasar.

Pada periode itu, muncul sejumlah terobosan signifikan, mulai dari kebijakan yang memungkinkan perusahaan melakukan buyback saham tanpa melalui rapat umum pemegang saham (RUPS), hingga wacana peningkatan porsi investasi saham oleh BPJS.

Kebijakan dan sinyal tersebut langsung memicu perbaikan sentimen dan mendorong IHSG berbalik naik dalam waktu relatif singkat.

Menurut Kartika, momen inilah yang menjadi titik awal pemulihan pasar saham Indonesia.

Pemulihan tersebut kemudian diperkuat oleh meningkatnya optimisme pasar seiring pergantian menteri dan munculnya figur-figur baru di pemerintahan yang dinilai memiliki pendekatan pro-pertumbuhan.

Arah kebijakan yang lebih ramah terhadap dunia usaha dan pasar keuangan turut meningkatkan kepercayaan investor, terutama dari dalam negeri.

Kombinasi antara likuiditas global yang masih melimpah, kebijakan domestik yang mendukung, serta peran aktif investor ritel menjadi fondasi utama penguatan IHSG hingga mencetak rekor baru.

Dengan demikian, Kartika menilai penguatan IHSG saat ini lebih tepat dipahami sebagai hasil dari dinamika global dan domestik yang saling terkait.

Rekor yang dicapai bukan semata-mata karena pasar saham Indonesia mengungguli bursa global, melainkan karena Indonesia berada dalam arus besar likuiditas dunia, dengan investor ritel domestik yang berani mengambil peran di tengah derasnya arus keluar dana asing.

Tag:  #ihsg #time #high #tengah #asing #kabur #analis #ungkap #penyebabnya

KOMENTAR