GoTo di Titik Nadir
PERUSAHAAN teknologi yang berstatus decacorn satu-satunya Indonesia, yaitu PT Gojek Tokopedia Tbk (GOTO), kini berada di situasi terjepit.
GoTo yang melantai di bursa efek Indonesia pada April 2022, dengan valuasi sekitar Rp 400 triliun, kini untuk kesekian kalinya diisukan akan diakuisisi oleh rivalnya, Grab.
Semenjak IPO, kinerja keuangan maupun saham GOTO masih cenderung terus tertekan hingga kini eksistensinya tersudut di posisi paling rentan.
Baru sekitar tiga tahun melantai di BEI, perjalanan GoTo penuh turbulensi, mulai dari penjualan Tokopedia ke ByteDance Tiktok, efisiensi besar-besaran, hingga dua kali pergantian CEO.
Kini rumor merger GoTo dengan Grab semakin menguat, bahkan pemerintah dalam hal ini Badan Pengelola Investasi (BPI) Danantara juga diisukan terlibat dalam proses penjajakan transaksi tersebut.
Danantara dikabarkan akan menjadi calon pemegang saham minoritas (minority stake) dalam mega-merger tersebut dengan fokus melindungi kepentingan negara.
Perlu diketahui bahwa pemerintah melalui Telkomsel, anak usaha Telkom, berinvestasi di GoTo pada tahun 2021 dengan total sekitar Rp 6,4 triliun.
Aksi merger strategis ini menarik perhatian masyarakat karena dampaknya bisa sangat terasa bagi ekonomi riil.
Berdasarkan data Euromonitor, GoTo dan Grab adalah duo perusahaan teknologi terbesar di Indonesia dengan sekitar 90 persen pangsa pasar ride-hailing dan food-delivery.
Bisnis kedua raksasa ini melibatkan sekitar 10 juta orang mitra driver maupun UMKM dengan kontribusi pada PDB Indonesia diperkirakan 2-3 persen, menurut beberapa studi ekonomi digital.
Apabila GoTo dan Grab bergabung, jelas berpotensi menciptakan monopoli di sektor gig economy ini.
Sebenarnya, apa yang terjadi pada GoTo dan mengapa isu merger ini kembali menguat?
Kehilangan momentum
GoTo merupakan gabungan dari dua raksasa startup kebanggaan Indonesia, Gojek dan Tokopedia. Keduanya digadang-gadang menjadi garda terdepan bagi perkembangan ekonomi digital nasional.
Status sebagai decacorn dengan deretan investor ternama seperti Google, Softbank, Alibaba, Sequoia, dan Temasek membuat masyarakat optimistis GoTo mampu bersaing di panggung global.
Namun sialnya, GoTo melakukan IPO di saat yang “salah”. Apabila dilihat secara lebih luas, salah satu penyebab awal sulitnya bisnis GoTo berkembang adalah terjadinya global tech winter.
Ketika itu, inflasi sedang melonjak sangat tinggi akibat Quantitative Easing (QE) yang dilakukan banyak bank sentral, dan meletusnya perang Rusia – Ukraina.
Menghadapi kondisi itu bank sentral AS, Federal Reserve atau The Fed, mengerek suku bunga ke level tinggi untuk menekan inflasi.
Namun efek sampingnya membuat para perusahaan teknologi mengalami capital outflow sangat berat dan pendanaan baru semakin sulit diperoleh karena arus modal kembali ke obligasi pemerintah AS yang memiliki suku bunga tinggi dan dianggap lebih aman.
Nilai saham perusahaan teknologi startup di AS sempat jatuh hingga 30-70 persen, kinerja tertekan, hingga terjadi lay-off besar-besaran karena mereka harus melakukan efisiensi ketat.
Kekacauan itu tidak hanya terjadi di AS, tapi juga merambat ke Indonesia. Banyak startup tumbang dan kesulitan keuangan, tidak ada lagi pendanaan jumbo yang mudah diperoleh untuk menanggung tingginya biaya operasional perusahaan teknologi.
Oleh karena itu, sejak melantai di Bursa Efek Indonesia pada 2022, GoTo masih jatuh bangun. Nilai sahamnya sempat menyentuh batas terbawah, yaitu Rp 50, jauh merosot dibanding harga IPO sebesar Rp 338.
Jangankan bersaing di level global, untuk survive di pasar domestik pun terlihat berdarah-darah.
Lay-off besar dilakukan pada 2022 dan 2023 untuk efisiensi bisnis. Lalu pada awal 2024, GoTo bahkan harus rela melepas 75 persen saham Tokopedia ke Bytedance (Tiktok), karena kesulitan bersaing dengan Shopee dan Tiktok Shop.
Di tengah masa-masa sulit itu, GoTo juga harus melakukan beberapa kali pergantian nahkoda. Pada 2023, CEO Andre Soelistyo digantikan oleh Patrick Walujo, sosok penting di balik Northstar Group, salah satu Venture Capital disegani di Asia Tenggara.
CEO Patrick Walujo memimpin restrukturisasi bisnis secara masif, termasuk pelepasan Tokopedia, serta optimalisasi bisnis on-demand dan fintech.
Sang CEO disebut-sebut melakukan “brutal cost-cut” hingga mampu mendorong perolehan Earning Before Interest, Taxes, Depreciation, and Amortization (EBITDA) positif di tahun 2024.
Lalu di Desember 2025 ini, Patrick Walujo mundur dan digantikan oleh Hans Patuwo.
Perlu diketahui saat Gojek dan Tokopedia berkembang pesat di 2019 hingga 2022, mereka memperoleh banyak sekali pendanaan jumbo dari investor global dan bisa terus “membakar uang” untuk mendorong jumlah transaksi pengguna.
Meskipun jumlah pengguna melesat, tapi GoTo selalu merugi. Perusahaan baru berhasil memperoleh EBITDA positif sekitar Rp 327 miliar pada akhir 2024 setelah melalui efisiensi besar-besaran.
Meskipun mampu meraih EBITDA positif, tapi tidak banyak yang tahu bahwa GoTo masih membukukan kerugian bersih (net loss) sebesar Rp 5 triliun di akhir 2024.
Jawara teknologi Indonesia ini belum pernah membukukan laba bersih sejak IPO hingga kini. Apalagi dengan hilangnya kendali atas Tokopedia dan beratnya persaingan di sektor on-demand dan fintech, membuat GoTo seakan berusaha terus melaju dengan tertatih-tatih.
Peran pemerintah
Rumor mega-merger GoTo dengan Grab kali ini semakin panas dengan hadirnya BPI Danantara.
Sang CEO Roesan Roslani dan CIO Pandu Sjahrir beberapa kali mengungkapkan bahwa Danantara secara aktif memantau proses merger yang berjalan positif, tapi keputusan akhir tetap di tangan kedua perusahaan teknologi tersebut.
Media internasional seperti Reuters dan CNA bahkan menyebut bahwa terdapat opsi “golden share” untuk Danantara dalam rencana merger tersebut.
Meskipun belum ada konfirmasi resmi dari Danantara terkait golden share tersebut, tapi opsi ini menarik perhatian publik karena relatif jarang diterapkan di pasar modal Indonesia.
Penggunaan golden share ini memberi hak pemegang saham minoritas untuk dapat melakukan veto atas keputusan strategis perusahaan.
Dalam konteks keterlibatan Danantara, adanya golden share itu menjadi poin penting atas tuntutan menjaga kesejahteraan para pekerja dan mengantisipasi monopoli bisnis.
Walaupun muncul opsi adanya golden share, tapi ini tidak menghilangkan realita bahwa bergabungnya dua raksasa teknologi ride-hailing ini akan menguasai pangsa pasar 90 persen sektor ride-hailing dan food delivery.
Hal ini memberi tantangan bagi Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) yang memiliki kewenangan untuk mengevaluasi dan memberi sanksi, dan bahkan membatalkan penggabungan badan usaha yang menimbulkan praktik monopoli.
Tanpa peran KPPU, merger yang sangat dominan ini berpotensi menaikkan harga perjalanan, biaya layanan, dan menurunkan kesejahteraan pekerja. Terlebih lagi entitas induknya adalah Grab Holdings Inc. yang berkantor pusat di Singapura.
Aksi korporasi ini jelas akan mendorong efisiensi bisnis seperti perampingan jumlah tenaga kerja dan pengelolaan data.
Keterlibatan pemerintah di rencana bergabungnya GoTo dan Grab ini juga sarat dengan dimensi politis, karena selain melibatkan jutaan tenaga kerja dan BPI Danantara, juga terdapat posisi Telkom (Telkomsel) yang investasinya masih “nyangkut” di GoTo.
Pada 2021, Telkom melalui anak perusahaannya, Telkomsel, menggelontorkan Rp 6,4 Triliun untuk membeli saham GoTo di harga sekitar Rp 270.
Dengan kondisi saham GoTo yang terus merosot hingga menyentuh Rp 50, Telkom sebagai BUMN harus mencatat kerugian investasi (unrealised loss) setiap tahun.
Aspek lain yang perlu dicermati adalah dampaknya pada ekosistem keuangan digital. GoTo dan Grab adalah raksasa teknologi yang memiliki lini usaha dompet digital dan juga afiliasi strategis dengan bank digital.
GoTo memiliki Gopay dan berafiliasi dengan Bank Jago. Sedangkan Grab memiliki OVO dan berafiliasi dengan Superbank.
Apabila merger GoTo dan Grab terealisasi, maka berpotensi mengubah peta kompetisi, regulasi, dan pricing di sektor fintech Indonesia.
Berbagai kondisi kompleks yang menyelimuti GoTo memberi tantangan besar bagi pemerintah dalam menentukan kebijakan.
Pendekatan yang mengutamakan kedaulatan ekonomi nasional dan kesejahteraan pekerja seharusnya menjadi prinsip utama negara.
Meskipun kondisi GoTo yang berdarah-darah membuat pilihan kebijakan tentu tidak semudah ketika mengawasi aksi korporasi biasa.
GoTo memang sedang berada di titik nadir, tetapi cara Indonesia keluar dari episode ini akan menjadi preseden penting.
Apakah negara hanya hadir sebagai pemadam kebakaran valuasi, atau sebagai arsitek ekosistem digital yang lebih sehat, kompetitif, dan adil bagi jutaan pekerja dan pengguna layanan.