Terbesar di Asia, Bagaimana Posisi Industri Kakao Indonesia di Mata Dunia?
Ilustrasi biji kakao(KOMPAS.com/ AGUSTINUS RANGGA RESPATI)
13:20
25 November 2025

Terbesar di Asia, Bagaimana Posisi Industri Kakao Indonesia di Mata Dunia?

- Indonesia merupakan produsen biji kakao terbesar di Asia. Meskipun demikian, kontribusi biji kakao Indonesia baru berkontribusi sebesar 3 persen terhadap produksi global.

Dewan Kakao Indonesia (Dekaindo) menerangkan Indonesia memiliki posisi yang cukup menjanjikan di mata dunia.

Berdasarkan data International Cocoa Organization (ICCO) pada 2022, Indonesia menempati posisi ke 7 sebagai negara dengan produksi biji kakao terbesar dengan kontribusi persentase global mencapai 3 persen.

Tiga posisi teratas negara yang memiliki produksi biji kakao terbesar ditempati oleh Pantai Gading, Ghana, dan Ekuador.

Sementara itu, Indonesia menempai posisi ketiga sebagai negara pengolah biji kakao terbesar di dunia setelah Pantai Gading dan Belanda.

Dengan hasil tersebut, Indonesia masih menjadi negara nomor satu di Asia dengan produksi dan pengolahan terbesar.Proses fermentasi biji kakao setelah panenKOMPAS.com/ AGUSTINUS RANGGA RESPATI Proses fermentasi biji kakao setelah panen

Ketua Umum Dewan Kakao Indonesia (Dekaindo) Soetanto Abdoellah menjelaskan, pada 2023-2024, Indonesia mampu memproduksi kakao sebanyak 160.000-180.000 ton dalam setahun.

"Tahun ini ada data bahwa produksi (kakao) kita 200.000 ton," ungkap dia dalam acara Kunjungan Kerja Media Kontribusi Industri Kakao untuk APBN dan Perekonomian, Senin (24/11/2025).

Sebagai gambaran, luas area perkebunan kakao yang ada di Indonesia saat ini berkisar 1,3 juta hektare.

Peluang Komoditas Kakao di Indonesia

Soetanto mengungkapkan, mayoritas wilayah Indonesia diberkahi dengan iklim dan tanah yang cocok untuk menanam kakao.

"Semuanya itu curah hujannya cocok untuk kakao," ungkap dia.

Tak hanya curah hujan, hampir semua tanah juga memiliki mineral yang sesuai dengan kondisi optimal yang dibutuhkan kakao untuk dapat tumbuh.

Peluang kakao di Indonesia juga didukung oleh tersedianya teknologi dan panduan seperti good agriculture practice (GAP) dan good manufacturing Practices (GMP) yang mencakup hal-hal seperti varietas, pemangkasan, pemupukan, panen, hingga pasca panen.

Dari segi permintaan, komoditas kakao juga menunjukkan peningkatan dari dalam maupun luar negeri.

Hal itu disambut dengan kakao Indonesia yang berpotensi memiliki kualitas tinggi. Kakao Indonesia dinilai memiliki karakter spesifik yang memenuhi standar nasional dan internasional.

Kakao Indonesia juga telah menjadi pilihan untuk industri di negara seperti Amerika Serikat (AS), Swiss, Belanda, hingga Italia.

Selain itu, kakao juga dikenal sebagai komoditas yang memiliki harga baik atau antara 5-13 dollar AS per kg.

Hal tersebut masih ditambah dengan fakta bahwa, Indonesia masih menjadi negara Asia nomor satu sebagai penghasil maupun pengolah biji kakao.

Hasil Ekspor Impor Kakao Indonesia

Dewan Kakao Indonesia (Dekaindo) menjelaskan, pada tahun lalu total ekspor kakao Indonesia meningkat pesat karena adanya kenaikan harga komoditas kakao.

Pada 2024, data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, nilai ekspor kakao Indonesia beserta produk turunannya adalah sebesar 2,60 miliar dollar AS.

Realisasi tersebut meningkat dua kali lipat dibandingkan periode yang sama sebelumnya yakni 1,20 miliar dollar AS.

Kendati demikian, Indonesia juga masih mengimpor biji kakau dari luar negeri untuk memenuhi kebutuhan dari pabrik pengolahan yang ada di Indonesia.

"Makanya yang sekarang jadi masalah, yang pertama adalah kita meningkatkan produksi biji kakao, supaya devisa kita tidak habis untuk impor biji kakao untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri," ucap Soetanto.

Produksi Kakao Dibayangi Penyusutan Lahan

Kakao merupakan salah satu komoditas unggulan Indonesia yang perlu dapat perhatian untuk dapat bersinar.

Industri kakao di Indonesia terbukti memiliki posisi tawar internasional sebagai salah satu negara dengan produksi dan pengolahan terbesar se-Asia.

Sayangnya, industri ini masih dibayang-bayangi masalah fundamental seperti berkurangnya lahan, bibit, hingga masalah peremajaan tanaman.

Ia menerangkan, terdapat sekurang-kurang tujuh tantangan pengembangan komoditas kakao di Indonesia.

Pertama, area dan jumlah produksi kakao di Indonesia terus menurun.

"Tantangannya adalah areal produksi kakao kita menurun, tidak hanya kita tetapi semua Asia," kata Soetanto.

Sementara itu, dari jumlah yang ada, sebagian besar masih dinilai berkualitas rendah atau tidak melewati tahap fermentasi (non fermentasi).

Adapun, tanaman dan petani kakao yang ada saat ini mayoritas sudah tua. Di samping itu, tidak adanya regenerasi signifikan dan lambatnya mekanisme untuk mendorong produksi kembali meningkat.

Dari segi perdagangan, komoditas kakao memiliki hambatan tarif atau tariff barrier ke negara-negara konsumen.

Sebagai gambaran, ekspor pasta kakao yang telah dipisahkan lemaknya ke Jepang dikenai tarif 10 persen. Sedangkan, ekspor bubuk kakao dengan tambahan gula dikenaik tarif 29,8 persen.

Sementara, ekspor bubuk kakao tanpa tambahan gula ke Amerika Serikat (AS) dikenai tarif 0,52 sen per kilogram. Sedangkan, produk coklat yang mengandung lemak kakao dikenai tarif 52,8 sen per kilogram.

Tak hanya tariff barrier, kakao juga menghadapai adanya aturan maximum residue limit (MRL) pestisida yang diterapkan negara konsumen yang makin ketat.

Aturan lain yang menjadi lebih ketat juga misalnya yang terkait dengan batas kandungan logam berat, toksin, dan alergen yang diterapkan negara konsumen semakin ketat.

Terakhir, ekspor kakao ke luar negeri juga menghadapi syarat kepatuhan terhadap European Union Deferestation Regulation (EUDR).

Aturan tersebut berbunyi, produk yang mengandung komoditas seperti minyak kelapa sawit, kayu, kopi, kakao, karet, kedelai, dan ternak tidak boleh masuk ke pasar UE apabila diproduksi di lahan hasil deforestasi setelah 31 Desember 2020.

Pabrik Pengelolaan Kakao Tutup

Kepala Divisi Umum dan Sumber Daya Manusia (SDM) Badan Pengelola Dana Perkebunan (BPDP) Kementerian Keuangan Adi Sucipto mengatakan, salah satu masalah yang dihadapi industri kakao nasional adalah banyaknya pabrik pengolahan yang tutup.

"31 pabrik coklat di Indonesia sudah tutup dan sekarang tinggal antara 19 hingga 21, artisannya tumbuh, tapi pabriknya sudah mulai turun drop," kata dia.

Ia menambahkan, penutupan pabrik kakao tersebut terjadi karena terbatasnya bahan baku lokal yang tersedia saat ini.

Industri yang tetap membutuhkan bahan baku lantas mulai berpaling ke bahan baku impor. Kondisi ini tentu saha membuat biaya produksi meningkat.

Untuk itu, BPDP bertugas untuk mengakselerasi tren pertumbuhan komoditas yang sempt mengalami tren penurunan tersebut.

Kakao sendiri sebenarnya termasuk salah satu komoditas yang diunggulkan.

Namun demikian, terdapat beberapa tantangan signifikan yang membuat komoditas ini surut.

Salah satunya adalah beleid European Union Deferestation Regulation (EUDR). Ia menilai aturan ini membuat ekspor kakao ke Eropa jadi kian sulit.

"Kami mau mengekspor sekarang banyak aturan," ujar dia.

Dari sisi bibit, penanaman kakao tidak dapat dilakukan secara asal-asalan. Bibit kakao perlu melewati pemeriksaaan asal-usul hingga pengujian DNA.

"Ada regulasi bahwa kami harus tes DNA terkait bibit, tidak bisa kemudian ada bibit, harus melalui pemeriksaan asal-usul, termasuk pengujian DNA," ungkap dia.

Tak sampai di sana, harga pupuk untuk tanaman kakao juga relatif mahal.

Butuh Peremajaan Lahan Kakao

BPDP sendiri tahun depan merencanakan dapat mencapai target untuk meremajakan hingga 5.000 hektare lahan kakao.

Dengan kondisi yang menantang, peremajaan ini diharapkan dapat menyentuh level minimal pada kisaran 1.200 hektare.

"Kalau pun nanti kick off di 2026, semoga bisa 5.000 hektare, tapi kalau optimitisnya katanya 1.200 sudah mentok," ucap Adi.

Dalam jangka menengah atau tiga tahun ke depan, BPDP juga berencana untuk memperkuat dukungan sarana prasarana untuk lahan kakau termasuk penyediaan pupuk.

"Selama ini kan yang dihadapi oleh teman-teman itu harga pupuk yang komoditas ini termasuk non-subsidi, jadi lumayan tinggi," terang dia.

Setali tiga uang, Kepala Bidang Perkebunan Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Provindi Bali Dewa Ayu Nyoman Budiasih juga telah mengusulkan program peremajaan tanaman kakao demi peningkatan produktivitas.

"Kami sudah mohon benih ke pusat untuk di Kabupaten Jembrana dan Tabanan, sudah mengajukan melalui e-proposal," tutur dia.

Peremajaan lahan kakao penting dilakukan mengingat saat ini usia tanaman kakao di Bali sebagian sudah berumur lebih dari 20 tahun dan mulai rusak.

Sedikit catatan, berdasarkan angka tetap 2024, luas lahan kakao di Bali mencapai 13.398 hektare dengan total produksi 4.868 ton. Dengan demikian, rata-rata lahan mengasilkan 461 kg per hektare per tahun.

Tiga kabupaten dengan area kakao terluas tersebar antara Jembrana seluas 6.340 hektare, Tabanan 4.529 hektare, dan Buleleng 1.169 hektare.

Selain peremajaan, daerah Jembrana dan Tabanan juga masih mempunyai potensi perluasan area kakao dengan luas tiap daerah mencapai 359 hektare dan 2.057 hektare. Total potensi perluasan lahan tersebut mencapai total 2.417 hektare.

Kontribusi Kakao Terhadap Pertumbuhan Ekonomi

Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Perbendaharaan (DJPb) Kementerian Keuangan Muhamad Mufti Arkan menjabarkan, komoditas kakao memiliki kontribusi terhadap Produk Domestik Regional Bruto (PDRB).

Pertumbuhan PDRB Bali tercatat 5,88 persen per kuartal III-2025, atau lebih tinggi dibandingkan dengan PDB nasional.

"Salah satu penyumbangnya adalah dari pertanian, perkebunan, kemudian dari perhutanan. Salah satunya adalah kakao. Jadi kakao itu transmisinya banyak," ungkap dia.

Ia memerinci, industri kakao dapat menyumbang PDRB hingga membuka lapangan kerja. Bahkan sektor ini sempat menjadi bantalan ketika pariwisata Bali lumpuh ketika pandemi Covid-19.

Namun lahan kakao terus menyusut terutama di Gianyar dan Badung.

Padahal, ia menjelaskan, kakao di Bali termasuk salah satu penyumbang devisa negara dana catatan selalu surplus dalam neraca perdagangan.

Pada dasarnya, pemerintah juga telah menaruh perhatian lebih ke sektor pertanian hingga perkebunan, termasuk kakao di dalamnya.

Pemerintah telah menggelontorkan anggaran pertanian, perkebunan, hingga kehutanan senilai Rp 100,38 miliar untuk 2025.

Mufti menyebut, realisasi dari anggaran ini telah mencapai 63,83 persen atau senilai Rp 66,31 miliar pada 2025.

Direktorat Jenderal Strategi Ekonomi dan Fiskal (DJSEF) Kementerian Keuangan melaporkan, sektor industri kakao menyumbang pajak hingga Rp 3,7 triliun, dengan bea keluar Rp 240 miliar.

Sedangkan pada 2025, realisasi bea keluar telah mencapai Rp 150,7 miliar hingga September 2025. Di samping itu, pungutan ekspor yang mulai diberlakukan pada 22 Oktober 2025 telah mencapai Rp 48,8 juta.

Analis Ahli Madya Direktorat Strategi Penerimaan Negara Bukan Pajak DJSEF Nurlaidi menjelaskan, secara umum kontribusi sektor perkebunan, pertanian, kehutanan terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) mencapai 3,94 persen pada 2021.

"Secara sektor pertanian, kan kakao ada di dalam pertanian, itu sudah menyumbang PDB sekitar hampir 30 persen," ungkap dia.

"Artinya, kakao dari subsektor pertanian memang strategis, yang bisa berkontribusi signifikan juga terhadap PDB nasional," tutup dia.

Tag:  #terbesar #asia #bagaimana #posisi #industri #kakao #indonesia #mata #dunia

KOMENTAR