Daya Tahan Bioskop Konvensional Diuji di Tengah Tekanan Platform Streaming, Butuh Bisnis Model Baru
Ilustrasi Bioskop XXI. (Istimewa)
19:27
23 November 2025

Daya Tahan Bioskop Konvensional Diuji di Tengah Tekanan Platform Streaming, Butuh Bisnis Model Baru

-Industri bioskop konvensional di Indonesia saat ini mulai memasuki fase yang tidak mudah. Lonjakan konsumsi konten digital melalui platform OTT atau Over The Top membuat daya tahan pelaku industri sinema diuji. 

Belum lagi soal agresivitas platform streaming internasional, serta perubahan perilaku penonton pasca pandemi membuat operator layar nasional dituntut untuk melakukan inovasi yang tidak lagi sekadar kosmetik. Kedua jenis usaha hiburan itu bersaing ketat. Platform digital atau OTT mulai massif bermunculan.

Walau begitu, melansir Mbaroi, antara bioskop (cinema) dan platform OTT memiliki kekurangan dan kelebihan masing-masing. Seperti pada metode distribusi dan pengalaman penonton. 

Bioskop menawarkan pengalaman menonton yang imersif dan sosial secara langsung di lokasi fisik. Sedangkan OTT menyediakan konten melalui internet secara on-demand dan personal. 

OTT unggul dalam pengumpulan data pelanggan untuk personalisasi dan menawarkan kenyamanan. Sedangkan bioskop menyediakan pengalaman yang unik dan belum dapat ditandingi OTT. 

Di tengah dinamika itu, pengelolaan internal Cinema XXI, salah satu entitas usaha hiburan terbesar di Indonesia kembali disorot menyusul evaluasi tahunan Deloitte Private terhadap strategi dan tata kelola perusahaan swasta di Indonesia.

Meski kembali mendapatkan apresiasi dari Deloitte melalui program Indonesia’s Best Managed Companies 2025, yang menarik bukan penghargaan itu sendiri, melainkan bagaimana hasil evaluasi tersebut menjadi cermin tantangan nyata yang dihadapi industri layar lebar. 

Sebagai pemain dengan jaringan bioskop terbesar di Indonesia, performa manajerial Cinema XXI tidak hanya relevan bagi bisnisnya. Tapi juga bagi ekosistem perfilman nasional yang bertumpu pada keberlanjutan model distribusi layar.

Perubahan pola konsumsi hiburan menjadi isu paling krusial. Masyarakat kini menikmati konten lebih sering di rumah melalui layanan berlangganan yang menawarkan film global secara cepat. Kondisi ini menekan kehadiran bioskop sebagai destinasi rekreasi utama. 

Cinema XXI harus merespons lewat pendekatan baru, mulai dari penataan ulang program film, investasi pada kualitas proyeksi dan audio, hingga strategi harga tiket yang lebih fleksibel untuk menjaga arus pengunjung.

Menurut Direktur Utama Cinema XXI Suryo Suherman, perusahaan tidak bisa lagi mengandalkan ekspansi fisik semata. Dia menegaskan pentingnya inovasi yang berorientasi pada pengalaman penonton. 

“Upaya kami tidak hanya tentang menambah jumlah layar, tetapi memastikan pengalaman sinema tetap relevan dan memiliki nilai yang tidak didapatkan dari konsumsi digital,” ujar Suryo di Jakarta.

Pernyataan itu menunjukkan bahwa strategi perusahaan bergeser dari sekadar pertumbuhan kuantitas menuju penguatan kualitas layanan.

Deloitte Indonesia mencatat bahwa resiliensi Cinema XXI terletak pada kemampuan beradaptasi di tengah tekanan industri yang semakin kompleks. Best Managed Companies Leader Deloitte Indonesia Dionisius Damijanto menyebut bahwa konsistensi dalam strategi dan tata kelola. Dari budaya organisasi hingga pengelolaan risiko, menjadi salah satu alasan perusahaan tetap stabil. 

“Cinema XXI menunjukkan kemampuan adaptasi yang terukur dan keberhasilan menjaga pertumbuhan berkelanjutan,” kata Dionisius.

Namun tantangan di depan tidak kecil. Persaingan layar semakin ketat dengan kehadiran pemain global seperti IMAX dan ekspansi format premium lain yang menuntut investasi lebih besar.

Sementara itu, produsen film Indonesia juga mendorong diversifikasi konten dan pemutaran yang lebih merata. Sehingga menguji kemampuan bioskop dalam menjaga keseimbangan antara tontonan populer dan film-film independen yang membutuhkan ruang pemutaran.

Selain itu, tekanan biaya operasional menjadi faktor penting yang jarang terlihat di permukaan. Kenaikan tarif sewa di pusat perbelanjaan, biaya listrik untuk proyeksi digital, hingga kebutuhan peningkatan infrastruktur membuat operator bioskop harus berhitung lebih cermat dalam membuka atau mempertahankan cabang. 

Dalam skema ini, tata kelola yang kuat bukan lagi keunggulan, melainkan kebutuhan dasar agar bisnis bisa mempertahankan margin. Konteks ini membuat evaluasi Deloitte terhadap Cinema XXI mendapatkan relevansi.

Pengakuan terhadap strategi dan tata kelola perusahaan bukan sekadar penilaian prestasi. Tapi refleksi bagaimana operator bioskop terbesar di Indonesia mencoba bertahan dalam era di mana penonton memiliki lebih banyak pilihan, sementara biaya menjalankan bisnis semakin menantang. 

Di banyak negara, industri bioskop mengalami kontraksi; Indonesia dinilai berada pada persimpangan yang sama. Dengan landskap hiburan yang terus berubah, keputusan strategis Cinema XXI, dari investasi teknologi hingga kebijakan kurasi film, akan ikut menentukan arah industri dalam beberapa tahun mendatang. 

Dalam situasi seperti ini, sorotan terhadap manajemen perusahaan menjadi semakin penting, bukan untuk merayakan penghargaan, tetapi untuk memahami bagaimana pemain terbesar di pasar berupaya menjaga napas industri layar lebar nasional tetap menyala.

Editor: Latu Ratri Mubyarsah

Tag:  #daya #tahan #bioskop #konvensional #diuji #tengah #tekanan #platform #streaming #butuh #bisnis #model #baru

KOMENTAR