Migrasi, Ilusi, dan Pilihan untuk Bertahan
PADA November 2025, Kompas melaporkan lebih dari 46.000 warga Selandia Baru meninggalkan negaranya dalam satu tahun terakhir. Bukan karena perang atau bencana, melainkan karena stagnasi ekonomi dan pasar kerja menyempit.
Ini bukan cerita tentang negara gagal, melainkan tentang manusia yang mencari ruang untuk tumbuh.
Fenomena ini menunjukkan bahwa migrasi bukanlah gejala eksklusif negara berkembang. Ia adalah bagian dari dinamika global pasca-pandemi yang disebut The Great Re-Resignation—momen ketika orang-orang mulai bertanya: “Apakah hidup saya hanya tentang bertahan di pekerjaan yang tidak lagi memberi harapan?”
Di Indonesia, keresahan serupa menjelma dalam tagar #KaburAjaDulu. Ia bukan sekadar candaan digital, melainkan cermin dari frustrasi kolektif. Banyak anak muda merasa terjebak dalam sistem yang tidak memberi ruang untuk berkembang.
Sayangnya, respons dari sebagian elite justru memperkuat rasa putus asa itu. Alih-alih mendengar, mereka menyalahkan. Alih-alih memahami, mereka menuduh generasi muda sebagai tidak nasionalis.
Namun, narasi “kabur” ini sering kali berdiri di atas tiga ilusi logika yang perlu kita bongkar bersama:
Pertama, generalisasi terburu-buru: menyamakan migrasi dengan kegagalan total negara. Padahal, negara maju pun mengalami eksodus.
Kedua, dilema palsu: seolah hanya ada dua pilihan—bertahan dan menderita, atau kabur dan sukses.
Ketiga, rayuan emosional dan efek ikut-ikutan: media sosial membanjiri kita dengan kisah sukses migrasi yang telah dikurasi, membuat kita lupa bahwa realitas jauh lebih kompleks.
Untuk memahami mengapa jebakan ini begitu menggoda, kita perlu masuk ke ranah psikologi kognitif. Salah satu konsep penting di sini adalah availability heuristic.
Bayangkan kita sedang memilih restoran. Kita tidak membaca semua ulasan, tapi langsung memilih yang pernah kita lihat di Instagram karena fotonya menggoda.
Otak kita cenderung mengambil keputusan berdasarkan informasi yang paling mudah diingat, bukan yang paling akurat.
Dalam konteks migrasi, cerita sukses yang viral membuat kita percaya bahwa peluang sukses di luar negeri pasti tinggi, meski kenyataannya tidak sesederhana itu.
Konsep lain yang penting adalah deprivasi relatif. Ini bukan tentang miskin secara absolut, tapi tentang merasa tertinggal dibanding orang lain.
Ibarat kita punya motor yang cukup bagus, tapi teman-teman kita sudah naik mobil. Kita tidak miskin, tapi merasa kalah.
Perasaan ini yang mendorong banyak orang untuk “kabur”—bukan karena tidak punya apa-apa, tapi karena merasa tidak cukup dihargai di tempat sendiri.
Namun, keputusan yang lahir dari dorongan emosional sering kali mengabaikan kenyataan pahit: hukum imigrasi yang keras, biaya hidup tinggi, dan risiko keterasingan.
Banyak WNI yang akhirnya terjebak dalam status overstay, pemalsuan dokumen, atau pengajuan suaka fiktif.
Bukan karena niat buruk, tapi karena sistem migrasi global memang tidak ramah terhadap mereka yang datang hanya dengan harapan dan tenaga.
Bertahan bukan lemah, tapi strategis
Ironisnya, ketika publik sibuk memperdebatkan moralitas “kabur”, negara justru mengalokasikan Rp 2,6 triliun untuk program "SMK Go Global"—mengirim 500.000 lulusan ke luar negeri.
Ini bukan pengkhianatan, tapi pengakuan: kita memang belum mampu menyediakan cukup lapangan kerja berkualitas di dalam negeri.
Namun, solusi tidak bisa berhenti di ekspor talenta. Kita perlu membalik narasi dan menciptakan jalur “bertahan” yang realistis dan bermartabat.
Dana sebesar itu bisa digunakan untuk revolusi keterampilan: memperkuat literasi digital, kemampuan berpikir tingkat tinggi (HOTS), dan kecakapan membedakan fakta dari opini—sebagaimana diungkap oleh laporan SMERU bahwa 70 persen orang dewasa di Jakarta memiliki literasi di bawah Level 1.
Untuk menjelaskan HOTS secara sederhana, bayangkan kita sedang menonton berita. Kemampuan dasar adalah sekadar tahu isi beritanya.
Namun, HOTS berarti kita bisa bertanya: “Apakah ini fakta atau opini? Siapa yang diuntungkan oleh narasi ini?” Kemampuan seperti ini penting agar kita tidak mudah terjebak dalam propaganda atau ilusi viral.
Indonesia sebenarnya punya modal: 3.161 startup (peringkat 6 dunia) dan 212 juta pengguna internet. Namun, kita juga punya tantangan besar: kesenjangan keterampilan, rendahnya adopsi teknologi, dan minimnya dukungan bagi wirausaha lokal.
Maka, bertahan bukan soal pasrah, tapi soal membangun ulang fondasi agar kita bisa tumbuh tanpa harus pergi.
Lebih jauh, kita perlu mengubah cara pandang terhadap migrasi. Bukan lagi brain drain, tapi brain circulation.
Bayangkan migrasi seperti arus air. Jika air hanya keluar tanpa kembali, tanah akan kering. Namun, jika air bersirkulasi, ia membawa kesuburan.
Negara harus menciptakan insentif fiskal dan hukum agar talenta Indonesia bisa bersirkulasi global tanpa kehilangan akar. Program diaspora yang digagas BRIN dan Bappenas harus diperkuat, bukan sekadar menjadi etalase kebijakan.
Reframing narasi: Dari kabur ke rancang
Migrasi bukan dosa. Namun, menjadikannya satu-satunya horizon masa depan adalah bentuk keputusasaan kolektif.
Artikel ABC Australia mengingatkan bahwa sebelum “kabur”, ada banyak hal yang harus dipersiapkan: legalitas, keterampilan, kesiapan mental. Banyak yang gagal bukan karena kurang niat, tapi karena kurang rencana.
Inilah saatnya kita menggeser narasi dari "Kabur Aja Dulu" menjadi "Rancang Aja Dulu". Bukan untuk mengekang mobilitas, tapi untuk memastikan bahwa setiap langkah, ke mana pun arahnya, adalah hasil dari keputusan yang matang.
Kita perlu menciptakan narasi bahwa “bertahan” adalah pilihan strategis, bukan kekalahan. Bahwa mobilitas adalah hak, tapi juga tanggung jawab. Bahwa membangun dari dalam bukan berarti menolak dunia, tapi justru memperkuat posisi kita di dalamnya.
Mobilitas memang menjadi kapital paling berharga dalam era liquid modernity (Bauman). Namun, loyalitas pada tanah bukanlah anakronisme jika kita mampu menciptakan ruang yang layak untuk tumbuh.
Maka, tugas kita bukan sekadar mengkritik yang “kabur”, tapi merancang ulang yang “bertahan”—dengan harapan, dengan strategi, dan dengan keberanian untuk membayangkan masa depan yang bisa kita bangun bersama.