Cukai Rokok dan Dilema Negara: Antara Penerimaan dan Pengendalian
Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa (kiri) didampingi Direktur Jenderal Bea dan Cukai Kemenkeu Djaka Budhi Utama (kanan) melihat hasil penindakan penyelundupan barang Ilegal dan barang kena cukai (BKC) Ilegal hasil sitaan Kanwil Bea dan Cukai Jawa Tengah dan DIY di Kawasan Industri Hasil Tembakau (KIHT) di Desa Megawon, Jati, Kabupaten Kudus, Jawa Tengah, Jumat (3/10/2025). Satuan Tugas (Satgas) Bea dan Cukai mencatatkan capaian signifikan dalam penegakan hukum di bidan
05:48
8 Oktober 2025

Cukai Rokok dan Dilema Negara: Antara Penerimaan dan Pengendalian

SETIAP batang rokok yang dibakar sebenarnya menyalakan dua hal sekaligus: penerimaan negara dan biaya kesehatan masyarakat. Ironi ini menggambarkan dilema besar yang dihadapi Indonesia.

Di satu sisi, cukai rokok menjadi penyumbang utama penerimaan negara. Di sisi lain, produk yang sama menimbulkan beban kesehatan dan sosial yang terus meningkat.

Negara tampak dihadapkan pada pilihan sulit: antara menjaga stabilitas fiskal atau melindungi kesehatan publik. Konteks terbaru memperkuat ironi tersebut.

Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menyatakan bahwa pemerintah tidak akan menaikkan tarif cukai rokok pada tahun anggaran mendatang.

Keputusan ini memunculkan beragam tanggapan: sebagian menilai langkah itu sebagai bentuk keberpihakan terhadap industri dan pekerja tembakau, serta berpihak pula pada konsumen rokok yang menikmati tidak naiknya harga rokok.

Sementara sebagian lain menilai kebijakan itu bisa menjadi momentum untuk mengembalikan fungsi cukai ke arah yang lebih tepat, yakni pengawasan konsumsi, bukan semata-mata penerimaan.

Data Kementerian Keuangan menunjukkan bahwa pada tahun 2024, penerimaan dari cukai hasil tembakau mencapai sekitar Rp 216,9 triliun, dengan total penerimaan cukai nasional mencapai Rp 226,4 triliun, termasuk dari minuman mengandung etil alkohol (MMEA) sebesar Rp 9,2 triliun dan etil alkohol (EA) sekitar Rp 141,1 miliar.

Hal ini menunjukkan bahwa kontribusi cukai rokok lebih dari 90 persen total penerimaan cukai nasional.

Angka ini menegaskan betapa besar ketergantungan fiskal negara terhadap cukai rokok, yang menjadi tulang punggung penerimaan cukai di Indonesia. 

Namun, tingginya penerimaan ini bukan hanya pertanda keberhasilan kebijakan, melainkan cermin dari tingginya konsumsi rokok di masyarakat.

Semakin besar pendapatan negara dari cukai, semakin tinggi pula jumlah masyarakat yang merokok dan berisiko mengalami penyakit kronis.

Paradoks ini memperlihatkan ketergantungan fiskal berbahaya. Pemerintah setiap tahun menargetkan peningkatan penerimaan cukai, seolah mengandalkan masyarakat untuk tetap merokok agar anggaran tetap seimbang.

Padahal, dalam doktrin fiskal, cukai bukanlah instrumen untuk mencari pendapatan, melainkan alat untuk mengendalikan konsumsi barang yang berdampak negatif bagi masyarakat. Cukai seharusnya berfungsi sebagai rem sosial, bukan sebagai mesin pendapatan.

Fungsi asli cukai sering terlupakan. Dalam teori ekonomi publik, pengenaan cukai terhadap barang seperti rokok bertujuan menekan konsumsi karena menimbulkan dampak eksternalitas negatif: penyakit, penurunan produktivitas, hingga kematian dini.

Sayangnya, orientasi kebijakan yang terlalu fokus pada penerimaan negara membuat pesan pengendalian itu kabur. Kenaikan tarif sering kali dipersepsikan bukan sebagai upaya kesehatan publik, melainkan strategi fiskal untuk mengejar target APBN.

Dalam konteks keputusan pemerintah yang kini tidak menaikkan tarif cukai, langkah ini bisa dipandang tepat apabila dibarengi dengan penguatan pengawasan dan penegakan hukum.

Alih-alih terus mengandalkan kenaikan tarif, pemerintah perlu memastikan efektivitas kebijakan yang sudah ada.

Salah satu tantangan terbesar adalah peredaran rokok ilegal. DJBC memperkirakan pada 2023 peredaran rokok ilegal mencapai lebih dari 6,8 persen dari total konsumsi nasional.

Data dari Indodata Research Center juga mencatat peningkatan pelanggaran rokok ilegal selama 2024, di mana rokok polos tanpa cukai menempati posisi teratas sebesar 95,44 persen, disusul rokok palsu 1,95 persen, salah peruntukan 1,13 persen, bekas 0,51 persen, dan salah personalisasi 0,37 persen.

Tanpa pengawasan ketat, kebijakan cukai yang tinggi hanya akan mendorong pasar gelap dan menggerus pendapatan negara.

Selain itu, beban pembiayaan kesehatan akibat rokok terus meningkat. Data menunjukkan bahwa biaya kesehatan akibat merokok bisa mencapai Rp 17,9 triliun – Rp 27,7 triliun per tahun.

Dari total biaya ini, sekitar Rp 10,5 triliun – Rp15,6 triliun merupakan biaya perawatan yang dikeluarkan oleh BPJS Kesehatan untuk penyakit terkait rokok, seperti kanker paru, jantung, dan stroke.

Artinya, sebagian besar penerimaan cukai kembali terkuras untuk menutup dampak yang ditimbulkannya.

Jika orientasi kebijakan tidak diubah, negara akan terus bergantung pada kebiasaan buruk rakyatnya.

Ketika konsumsi menurun, penerimaan pun turun, dan APBN terdampak. Padahal, penurunan konsumsi justru berarti keberhasilan kebijakan cukai dari sisi kesehatan publik.

Cukai seharusnya tidak hanya menjadi penopang fiskal, melainkan juga pagar sosial. Pemerintah perlu menata ulang paradigma kebijakan cukai dengan menempatkan fokus utama pada pengawasan konsumsi dan penegakan hukum terhadap rokok ilegal, bukan semata-mata mengejar penerimaan.

Penting pula untuk memastikan seluruh rokok yang beredar telah legal, sehingga tidak ada kebocoran penerimaan negara dan pengawasan terhadap produksi, distribusi, serta konsumsi barang kena cukai berjalan optimal.

 

Pendapatan dari cukai perlu dikembalikan ke masyarakat dalam bentuk program yang langsung berdampak, seperti edukasi bahaya rokok, peningkatan layanan kesehatan, dan dukungan transisi ekonomi bagi petani tembakau dan pekerja pabrik rokok.

Keberhasilan kebijakan seharusnya diukur dari turunnya jumlah perokok, bukan dari naiknya target pendapatan.

Mungkin sudah waktunya negara meninjau ulang keterikatan fiskalnya pada asap rokok rakyatnya, karena setiap rupiah dari cukai sejatinya adalah bayaran atas napas yang hilang.

Cukai harus kembali pada fungsi sejatinya: sebagai alat pengendali perilaku konsumsi demi masyarakat yang lebih sehat, produktif, dan berkelanjutan.

Tag:  #cukai #rokok #dilema #negara #antara #penerimaan #pengendalian

KOMENTAR