Ilusi Statistik Kemiskinan dan Lingkaran Setan Kebijakan Publik
Anak-anak ikut mengangkut ikan asin yang sudah dikeringkan di Kampung Nelayan Cilincing. (Zintan Prihatini/KOMPAS.com)
09:40
11 Juni 2025

Ilusi Statistik Kemiskinan dan Lingkaran Setan Kebijakan Publik

GARIS kemiskinan di Indonesia bukan sekadar angka statistik, tetapi mencerminkan kemampuan negara dalam memenuhi kebutuhan warganya.

Secara kritis dapat dikatakan bahwa metodologi penghitungan garis kemiskinan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) saat ini mengalami krisis relevansi yang serius.

Persoalannya bukan hanya kesalahan dalam statistik, tetapi berhubungan erat dengan martabat dan kesejahteraan jutaan warga yang seharusnya menjadi prioritas utama kebijakan negara.

Krisis data ini memiliki dampak nyata, berisiko menyebabkan banyak warga miskin kehilangan akses terhadap bantuan sosial (bansos), sehingga mereka yang sangat membutuhkan bantuan justru terabaikan.

Lebih dari sekadar isu teknis, masalah ini menyentuh esensi kepercayaan publik terhadap institusi negara. Ketika data resmi tidak mampu merepresentasikan realitas sosial-ekonomi masyarakat, legitimasi kebijakan publik ikut dipertanyakan.

Diskrepansi antara data kemiskinan versi BPS dengan standar internasional, terutama Bank Dunia, mencerminkan ketidakjujuran sistemik dalam pengukuran kesejahteraan warga.

Jika negara tidak segera melakukan reformasi metodologi secara fundamental, ketimpangan sosial akan semakin dalam, dan kredibilitas institusi publik akan terus tergerus.

Paradigma usang: Ketergantungan metode lama

Metodologi BPS yang masih bertumpu pada standar kalori minimum 2100 kkal per kapita per hari mencerminkan paradigma pengukuran kemiskinan yang sudah usang.

Pendekatan ini mungkin efektif beberapa dekade lalu, tapi kini jelas tidak relevan dengan kondisi kontemporer masyarakat Indonesia yang telah mengalami perubahan signifikan dalam pola hidup dan kebutuhan dasar mereka.

Standar minimal kalori tidak lagi mampu mencerminkan realitas sosial di mana akses digital, pendidikan yang memadai, dan layanan kesehatan preventif telah menjadi kebutuhan pokok yang harus terpenuhi agar seseorang dapat dianggap memiliki kehidupan yang layak.

Lebih lanjut, biaya transportasi yang terus meningkat seiring urbanisasi juga sering kali luput dari perhitungan garis kemiskinan versi BPS.

Padahal, biaya ini menjadi beban signifikan yang dapat menentukan kualitas hidup masyarakat urban, terutama bagi kelompok rentan yang harus mengalokasikan sebagian besar pendapatan mereka hanya untuk transportasi sehari-hari.

Celios, lembaga riset independen, secara kritis menegaskan bahwa metode ini menghasilkan data kemiskinan yang secara artifisial tampak baik, tetapi tidak mencerminkan realitas sesungguhnya.

Pendekatan semacam ini menciptakan ketidakadilan konseptual karena mengabaikan perubahan esensial dalam kebutuhan hidup masyarakat modern.

Metode yang tidak lagi sesuai dengan kondisi riil masyarakat berpotensi melahirkan kebijakan yang tidak tepat sasaran, yang pada gilirannya dapat memperbesar jurang ketimpangan sosial di Indonesia.

Tanpa reformasi signifikan dalam metode pengukuran ini, program pengentasan kemiskinan sulit mencapai hasil optimal, meninggalkan banyak warga dalam kondisi ekonomi yang stagnan atau bahkan memburuk.

Realitas Vs statistik: Jurang data nasional dan global

Perbandingan antara garis kemiskinan nasional versi BPS dengan standar internasional Bank Dunia menunjukkan diskrepansi yang sangat mencolok.

Menurut data BPS, hanya sekitar 9,36 persen atau sekitar 25 juta penduduk Indonesia yang dikategorikan sebagai miskin.

Angka ini didasarkan pada penghitungan pengeluaran minimum untuk memenuhi kebutuhan dasar yang telah didefinisikan secara sempit.

Dengan menggunakan standar ini, pemerintah menunjukkan optimisme dalam statistik resmi, yang secara implisit menggambarkan seolah-olah kemiskinan di Indonesia terkendali dan menurun.

Namun, realitas ini kontras tajam dengan standar internasional terbaru yang ditetapkan oleh Bank Dunia, yakni sebesar 8,30 dollar AS PPP per hari. Standar ini menggambarkan hampir 69 persen atau sekitar 194 juta penduduk Indonesia sebagai miskin atau rentan.

Angka ini mencerminkan konsep kesejahteraan yang lebih luas dan lebih realistis, memperhitungkan kebutuhan dasar modern serta standar hidup yang layak sesuai perkembangan zaman dan kondisi ekonomi Indonesia sebagai negara berpendapatan menengah atas.

Perbedaan tajam antara data nasional dan internasional ini bukan hanya soal metodologis, tetapi juga mencerminkan perbedaan mendasar dalam memahami kesejahteraan warga negara.

Diskrepansi data ini memiliki dampak serius dalam penyusunan kebijakan. Dengan standar garis kemiskinan yang sangat rendah dari BPS, kebijakan sosial dan ekonomi yang dihasilkan cenderung minimalis dan gagal merespons secara efektif terhadap kebutuhan riil masyarakat.

Ketidakselarasan antara narasi optimistis pemerintah dan narasi realistis dari perspektif global ini tidak hanya mempersulit evaluasi pembangunan secara akurat, tetapi juga menciptakan ambiguitas kebijakan yang berbahaya.

Akibatnya, kebijakan yang seharusnya melindungi dan memperbaiki kesejahteraan masyarakat justru berpotensi gagal dalam implementasi karena tidak berlandaskan data yang mencerminkan realitas sosial-ekonomi yang sesungguhnya.

Data garis kemiskinan yang tidak akurat menciptakan konsekuensi berantai yang serius. Ketidakakuratan ini menghasilkan kesalahan dalam alokasi bantuan sosial, yang tercermin dalam tingginya tingkat exclusion error (warga miskin tidak menerima bantuan) dan inclusion error (bantuan salah sasaran).

Ketidaktepatan ini bukan hanya persoalan teknis, tetapi berdampak langsung pada kehidupan nyata warga negara, menciptakan frustrasi, kecemburuan sosial, dan pada akhirnya menurunnya kepercayaan publik terhadap pemerintah.

Lebih jauh lagi, dampaknya merembet hingga ke arah kebijakan makroekonomi. Pemerintah yang mendasarkan kebijakannya pada data yang tidak akurat cenderung membuat keputusan yang tidak efektif dalam merespons tantangan riil di lapangan.

Anggaran yang dialokasikan menjadi tidak optimal, rendahnya investasi sosial yang mencerminkan persepsi keliru terhadap skala kemiskinan.

Jika pemerintah terus mempertahankan pendekatan ini, bukan tidak mungkin potensi pembangunan manusia di Indonesia terhambat secara signifikan, meninggalkan sebagian besar warga negara dalam lingkaran kemiskinan dan ketimpangan yang sulit ditembus.

Secara keseluruhan, krisis data garis kemiskinan adalah cerminan kegagalan sistemik yang membutuhkan reformasi mendasar.

Sudah saatnya Indonesia meninggalkan ilusi statistik yang menyesatkan dan mulai menghadapi realitas sosial-ekonomi dengan pendekatan yang lebih realistis, akurat, dan manusiawi.

Ini bukan lagi sekadar pilihan, melainkan keharusan moral dan politik bagi negara untuk menjamin kesejahteraan dan keadilan sosial bagi seluruh rakyatnya.

Tag:  #ilusi #statistik #kemiskinan #lingkaran #setan #kebijakan #publik

KOMENTAR