Sambut Ibu, Gelandang PSIM Yogyakarta Ungkap Peran Sang Nenek dalam Hidupnya
- Nenek Kartini berperan utama menggantikan ibu Iksan Chan, merawatnya sejak kecil dengan penuh perjuangan ekonomi.
- Kartini menanamkan disiplin kuat, terutama kewajiban ibadah, yang membentuk karakter positif Iksan sebagai pemain profesional.
- Iksan mendedikasikan kariernya di PSIM Yogyakarta untuk nenek dan ibunya sebagai bentuk terima kasih atas dukungan mereka.
Bagi gelandang PSIM Yogyakarta Iksan Chan, definisi ibu melampaui sekadar ikatan biologis semata. Sosok nenek berusia 70 tahun bernama Kartini, hadir mengisi peran tersebut secara utuh sejak Iksan masih kecil.
Kebersamaan mereka terjalin erat sejak pemain sayap PSIM ini duduk di bangku TK. Sang nenek dengan setia mengantar jemput cucunya menggunakan sepeda onthel setiap pagi dan menunggu hingga jam sekolah usai.
"Nenek dalam hidup saya perannya paling penting. Apalagi dalam karier sepak bola saya," ungkap Iksan melansir rilis klub, Senin (22/12/2025).
Kartini tidak hanya memberi kasih sayang, tetapi juga berjuang keras memenuhi kebutuhan cucunya di tengah keterbatasan ekonomi.
Perempuan paruh baya ini bekerja sebagai penggosok pakaian demi membelikan sepatu bola pertama untuk Iksan.
Segala daya upaya dikerahkan Kartini agar sang cucu bisa menyalurkan bakatnya di lapangan hijau. Ia bahkan rela meminjam uang demi membelikan Iksan sepatu baru, saat sepatu lamanya jebol.
"Apapun yang saya minta dari kecil pasti diusahakan nenek walaupun nenek kadang enggak punya uang, tapi pasti diusahakan," ungkap pemain kelahiran 1 Mei 2004 tersebut.
Ketegasan di Balik Kasih Sayang
Dukungan materi berjalan beriringan dengan penanaman nilai disiplin yang kuat. Kartini sangat tegas mengingatkan kewajiban ibadah di tengah padatnya jadwal latihan Iksan sejak usia dini.
Iksan tidak boleh melalaikan kewajiban salat, meski telah lelah berlatih fisik. Ketegasan inilah yang kemudian membentuk karakter Iksan menjadi pribadi disiplin hingga menjadi pemain sepak bola profesional.
"Nenek saya enggak kejam, tapi dia tegas. Ya itu salah satunya tentang salat," kata pemain asal Medan ini.
Kini jarak memisahkan dua insan ini karena Iksan harus membela Laskar Mataram di Yogyakarta. Komunikasi selalu terjalin selepas Maghrib untuk melepas rindu, meski hanya lewat sambungan telepon.
Sang nenek selalu memastikan kondisi cucunya, mulai dari pertanyaan seputar latihan hingga mengingatkan makan. Suara Kartini di ujung telepon menjadi penguat mental Iksan setiap hari, khususnya juga sebelum bertanding.
"Habis Maghrib pasti nenek menelepon. Kadang nenek cuma tanya gimana latihan tadi, sudah makan apa belum," tutur Iksan.
Kini, berada jauh dari neneknya, Iksan khawatir dengan kondisi kesehatan neneknya di Medan. Hal ini yang memotivasinya untuk terus berlatih agar menembus skuad utama PSIM, dan bisa ditonton oleh neneknya di televisi nasional.
Bayangan hidup tanpa sosok yang telah merawatnya sejak kecil menjadi mimpi buruk bagi Iksan. Ia selalu berdoa agar wanita kesayangannya itu senantiasa diberi kesehatan.
"Saya takut nenek di Medan sakit. Sudah saya bayangkan nanti kalau misalnya hidup tanpa nenek itu bagaimana," ucapnya lirih.
Tag: #sambut #gelandang #psim #yogyakarta #ungkap #peran #sang #nenek #dalam #hidupnya