Menang Gugatan Penghapusan Presidential Threshold, Mahasiswa UIN Jogja : Sempat Tidak Percaya Diri
Selama satu tahun sejak 2024, Enika Maya Oktavia, Rizki Maulayan Syafei, Faisal Nasirul Haq dan Tsalis Khoirul Fatna berjuang menguji Pasal 222 Undang-undang (UU) Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) di Mahkamah Konstitusi (MK)
Menurut mereka, presidential threshold harus dihapuskan agar memunculkan calon presiden yang lebih beragam dan sejalan dengan preferensi.
Didampingi Ketua Program Studi (Prodi) Hukum Tata Negara Fakultas Syari'ah dan Hukum (FSH), Gugun El Guyanie dan Dekan FSH, Prof. Dr. H. Ali Sodikin menceritakan bagaimana perasaan mereka atas perjuangan yang bisa mengubah peta politik nasional.
“Awalnya, kami tidak optimis. Karena jujur, ini pertama kali kami membuat draft permohonan yang nyata, meski kami paham dasarnya,” kata Enika di hadapan wartawan, Jumat (3/1/2025).
Enika dan kawan-kawan sempat merasakan tidak percaya diri karena permohonan mereka ke MK dirasa kurang baik bahkan mereka tidak yakin permohonan itu bisa masuk ke sidang selanjutnya, apalagi sampai sidang putusan.
“Saat kami masuk ke sidang pendahuluan, itu semua dikuliti oleh Yang Mulia Hakim MK. Kami pikir, kesempatan untuk lanjut ke sidang permohonan pokok saja sepertinya sangat kecil, tapi alhamdulillah, tetap bisa lanjut,” beber dia.
Keraguan itu tervalidasi dari hasil diskusi dengan rekan-rekan pegiat konsitusi lain.
Sembilan orang menyebut permohonan ditolak, meski delapan lainnya yakin permohonan akan dikabulkan.
“Kami rasa, permohonan kami tidak ada kesempatan karena kalau itu diputuskan, itu mengubah peta perpolitikan di Indonesia,” ucap Enika lagi.
Permohonan Enika dkk pun mendapatkan dissenting opinion dari dua Hakim MK, yakni Anwar Usman, yang tak lain merupakan paman dari Wapres Gibran Rakabuming Raka, dan Daniel Yusmic Foekh.
Menurut keduanya, Enika dkk tidak memiliki kedudukan hukum dan oleh karenanya permohonan mereka tidak dapat diterima namun, Enika cs tak patah arang.
Mereka tetap menghormati apapun yang disampaikan dua Hakim MK tersebut.
“Kami hormati itu. Kami terima. Kami tidak punya tanggapan lebih lanjut. Keduanya adalah Hakim MK dan kami mahasiswa, itu kami terima sebagai suatu yang memperkaya Ilmu Hukum Tata Negara,” jawabnya.
SATU VISI
Enika, Rizki, Fasial dan Tsalis merupakan mahasiswa yang tergabung dalam Komunitas Pemerhati Konstitusi (KPK), organisasi resmi yang berada di FSH UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Keempatnya memiliki visi yang sama, yaitu menciptakan ruang demokrasi yang lebih beragam dan tidak terpolarisasi.
“Kami sering ketemu, punya visi yang sama. Kami kerjakan draft itu saat mengikuti KKN. Jadi, kendala seperti sinyal, perbedaan pendapat pasti ada, tapi visinya tetap sama,” jawab Enika.
Selama menjadi pemohon di MK, keempatnya tak didampingi oleh pengacara. Mereka mengandalkan bimbingan internal maupun eksternal dari jaringan yang sudah mereka buat.
“Kami tidak menggunakan kuasa hukum karena kami mahasiswa, belum mampu menggaet kuasa hukum. Di MK, juga bisa sidang online sehingga kami minta sidang online karena terbatas satu dan lain hal,” tambah Tsalis menimpali Enika.
Meski bisa sidang daring, dua perwakilan sempat ke Jakarta untuk mendampingi Ahli Hukum Tata Negara dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Yance Arizona yang menyampaikan tentang prinsip kebijakan hukum terbuka, pada Rabu (13/11/2024) lalu.
“Kami sempat beracara langsung di MK, waktu itu sidang mendengarkan keterangan ahli dari UGM, pak Yance Arizona. Karena untuk mendampingi beliau, Rizki dan Faisal ke Jakarta,” tambahnya.
Sebagai Dekan FSH, Ali Sodikin pun mengapresiasi perjuangan para mahasiswa yang mempu menjadi tonggak monumental perubahan bangsa.
Di FSH, ada sejumlah lembaga mahasiswa struktural dan otonom yang didirikan untuk mengembangkan minat bakat mahasiswa.
“Tentunya, fakultas mendukung mereka dengan memberikan atau menganggarkan dana. Kami punya dana delegasi, sehingga jika mahasiswa mengikuti kompetisi, kami fasilitasi dengan dana itu. Dan juga, dana prestasi kami persiapkan. Fakultas berupaya untuk memfasilitasi kegiatan meningkatkan kreativitas yang diikuti mahasiswa,” tambahnya.
Termasuk ketika dua perwakilan ke Jakarta, fakultas memfasilitasi transportasi dan akomodasi.
“Kami berharap bisa memberikan fasilitas lebih karena kaitannya dengan pengembangan kreativitas dan kompetensi,” ungkapnya.
Ali turut menyinggung KPK yang memiliki pembimbing internal, termasuk Kaprodi HTN FSH, Gugun El Guyanie dan jaringan alumni yang kuat.
“Mereka berkreasi membangun jaringan untuk memperkuat argumentasi. Sehingga, kalau mereka memutuskan untuk tidak menggunakan pengacara, mereka merasa sudah cukup didampingi pendamping internal maupun eksternal,” jelas dia.
MASA DEPAN
Keempatnya kompak mengatakan pengajuan uji materiil itu bukan untuk pijakan mereka maju ke dunia politik di masa yang akan datang.
Mereka tidak yakin bisa terjun ke dunia politik dan saat ini masih memilih untuk menjadi akademisi.
“Keluarga saya tidak berkaitan dengan hukum, tidak ada yang masuk politik, kalau ditanya apa saya mau masuk jadi politisi? Tidak. Saya jawab sekarang tidak, untuk saat ini. Kalau ke depannya saya jadi Ahli HTN, atau jadi politisi, saya kurang tahu,” jelas Enika.
Jawaban yang sama dilontarkan Rizki, juga Tsalis dan Faisal.
“Nantinya apa jadi politisi? Tidak. Latar belakang keluarga saya tak ada yang di dunia politik. Baru saya juga yang jadi mahasiswa hukum. Putusan ini memang sesuai harapan, tapi bukan berarti kami ingin jadi politisi karena tujuan utama kami memajukan permohonan ini untuk mendorong lebih luas putra-putri Indonesia yang mungkin jalurnya menjadi politisi agar mereka punya akses yang sama,” tukasnya.
Dari sekian banyak pengajuan uji materiil tentang presidential threshold, baru kali ini MK mengabulkan gugatan tersebut.
Selain itu pihak yang mengajukan gugatan merupakan mahasiswa. Gugun pun menyebut ini adalah momentum yang monumental
"Kenapa ini monumental? Karena satu, banyak permohonan judicial review yang ditolak ya soal angka presidential threshold, yang kedua dikabulkannya ini mahasiswa dan kebetulan mahasiswa UIN," ujarnya.
Putusan itu menegaskan bahwa MK tidak berada di bawah kekuasaan oligarki atau disetir oleh kekuatan dinasti politik.
"Putusan ini membuat optimisme pendidikan demokrasi dan konstitusi. Karena anak-anak yang masih belajar di perguruan tinggi mempersoalkan satu pasal penting yang lebih dari 30 kali diuji di MK tidak pernah dikabulkan dan momen kali ini dikabulkan," ujarnya.
Diketahui dalam sidang di Ruang Sidang Pleno, Kamis (2/1/2025), MK memutuskan untuk menghapus ambang batas minimal persentase pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden sebagaimana tercantum dalam UU Pemilu.
Berdasarkan putusan MK yang dibacakan oleh Wakil Ketua MK, Saldi Isra, Pasal 222 UU Pemilu itu tak hanya dinilai bertentangan dengan hak politik dan kedaulatan rakyat, namun juga melanggar moralitas, rasionalitas, dan ketidakadilan yang tidak dapat ditoleransi serta nyata-nyata bertentangan dengan Undang-undang Dasar (UUD) Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Alasan inilah yang menjadi dasar bagi Mahkamah untuk bergeser dari pendirian dalam putusan-putusan sebelumnya terkait uji materi ambang batas pencalonan presiden.
“Pergeseran pendirian tersebut tidak hanya menyangkut besaran atau angka persentase ambang batas, tetapi yang jauh lebih mendasar adalah rezim ambang batas pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden (presidential threshold) berapa pun besaran atau angka persentasenya adalah bertentangan dengan Pasal 6A ayat (2) UUD NRI Tahun 1945,” ujar Wakil Ketua MK Saldi Isra saat membacakan pertimbangan hukum Perkara Nomor 62/PUU-XXII/2024 yang diajukan oleh empat mahasiswa itu.
Artikel ini telah tayang di TribunJogja.com dengan judul Kisah Mahasiswa UIN Jogja yang Memenangkan Gugatan Penghapusan Presidential Threshold di MK
Tag: #menang #gugatan #penghapusan #presidential #threshold #mahasiswa #jogja #sempat #tidak #percaya #diri