Hentikan Penyebaran Flu Burung, Koalisi NGO Desak Hentikan Peternakan Pabrik
Ilustrasi peternakan ayam. (Istimewa)
06:18
10 Desember 2024

Hentikan Penyebaran Flu Burung, Koalisi NGO Desak Hentikan Peternakan Pabrik

–Act for Farmed Animals (AFFA), Koalisi NGO Sinergia Animal dan Animal Friends Jogja, mendesak pemerintah untuk mengatasi akar penyebab ancaman virus flu burung. Peternakan industri intensif atau peternakan pabrik menciptakan kondisi ideal bagi penyebaran penyakit seperti flu burung.

Virus flu burung (H5N1) pertama kali ditemukan pada 1996 di sebuah peternakan angsa di Tiongkok. Sejak saat itu, virus menyebar ke seluruh dunia dan semakin berbahaya. Hingga kini, virus flu burung telah menginfeksi setidaknya 485 spesies burung dan 48 spesies mamalia, yang menimbulkan kerusakan serius terhadap satwa liar dan ancaman terhadap biodiversitas.

”Para ahli sepakat bahwa krisis ini memerlukan perhatian global yang mendesak. Meskipun penularan H5N1 antar manusia masih jarang terjadi, virus ini berpotensi bermutasi dan berkembang lebih berbahaya, sama halnya dengan Covid-19,” ungkap Direktur Pengelola AFFA Among Prakosa.

Dia menjelaskan, H5N1 memiliki tingkat kematian 50 persen pada manusia. Itu jauh lebih mematikan dibandingkan Covid-19 yang hanya 1,7 persen.

”PBB dan Centers for Disease Control and Prevention (CDC) telah mengeluarkan peringatan mengenai potensi bahaya ini,” tambah Among.

Menurut dia, sebuah studi terbaru dari Universitas Harvard mengungkapkan kaitan erat antara peternakan industri dan risiko penyakit zoonotik (penyakit yang dapat berpindah dari hewan ke manusia). Laporan tersebut merekomendasikan pengurangan industri peternakan hewan intensif secara global sebagai langkah penting untuk mengurangi ancaman pandemi di masa depan.

”Program Lingkungan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNEP) juga mengonfirmasi hal ini, menegaskan bahwa peternakan industri intensif berpotensi memicu pandemi berikutnya jika tidak ada perubahan signifikan dalam praktik-praktik tersebut,” papar Among Prakosa.

Tahun ini, wabah flu burung kembali merebak di berbagai belahan dunia. Indonesia juga masih merupakan daerah endemis flu burung. Setiap tahun sejak 2005, sebagian besar wabah terjadi di belahan bumi utara. Kecuali menurut data World Organisation for Animal Health (WAHIS) pada 2008, 2009, dan 2019, Indonesia menjadi negara yang melaporkan jumlah wabah akibat unggas terbanyak.

”Peternakan industri dengan kondisi yang padat dan kurang higienis, menciptakan lingkungan yang ideal bagi penyebaran penyakit seperti H5N1. Hewan-hewan hidup dalam kepadatan ekstrem dengan langkah-langkah biosekuriti yang minim, memperburuk potensi penularan penyakit tersebut,” terang Among Prakosa.

Indonesia mencatat jumlah kasus dan kematian akibat flu burung (H5N1) tertinggi di dunia. Sejak virus itu pertama kali terdeteksi pada burung di awal 2004, Indonesia menjadi pusat perhatian dalam upaya pengendalian wabah.

”Lebih dari 29 juta burung di seluruh Indonesia dimusnahkan sebagai langkah penanggulangan,” papar Among Prakosa.

AFFA, lanjut Among Prakosa, menegaskan bahwa solusi untuk krisis H5N1 sudah jelas yaitu akhiri peternakan pabrik. Sebab, sistem itu menciptakan kondisi ideal bagi penyakit untuk berkembang dan menyebar ke manusia yang mengancam kesehatan global.

”Untuk itu, AFFA mengajak semua pihak untuk bersama-sama mengambil langkah nyata meningkatkan kesejahteraan hewan, memperkuat biosekuriti, dan beralih ke sistem pangan berbasis nabati. Solusi ini bukan hanya lebih sehat untuk manusia, tetapi juga lebih ramah bagi bumi yang kita tinggali Bersama,” ujar Among Prakosa.

Di Indonesia, dia menambahkan, salah satu inisiatif untuk mempromosikan makanan berbasis nabati dan pola hidup sehat adalah Nutrisi Esok Hari. Sejak inisiasi dimulai pada 2021, Nutrisi Esok Hari telah bekerja sama dengan 16 institusi di Indonesia. Melalui inisiatif ini, institusi mendapatkan dukungan dan panduan gratis untuk menggantikan produk hewani dengan alternatif berbasis nabati.

”Krisis flu burung ini adalah bukti nyata bahaya dari pola hidup yang tidak berkelanjutan serta industri peternakan intensif,” kata Among.

”Sudah saatnya kita menghentikan pendanaan untuk praktik-praktik merusak ini dan mulai berinvestasi dalam alternatif berbasis nabati yang lebih manusiawi, berkelanjutan, dan melindungi kesehatan serta keanekaragaman hayati,” tambah dia.

Editor: Latu Ratri Mubyarsah

Tag:  #hentikan #penyebaran #burung #koalisi #desak #hentikan #peternakan #pabrik

KOMENTAR