Kisah Menempuh Perjalanan 39 Jam Meliput KTT APEC 2024 di Peru: Harus  Konsumsi Obat Tidur
Konferensi Tingkat Tingkat Tinggi (KTT) Asia Pasific Economic Cooperation (APEC) 2024 telah resmi rampung digelar di Lima, Peru pada 10-16 November 2024. 
07:52
21 November 2024

Kisah Menempuh Perjalanan 39 Jam Meliput KTT APEC 2024 di Peru: Harus Konsumsi Obat Tidur

Konferensi Tingkat Tingkat Tinggi (KTT) Asia Pasific Economic Cooperation (APEC) 2024 telah resmi rampung digelar di Lima, Peru pada 10-16 November 2024. Presiden RI, Prabowo Subianto telah menghadiri secara langsung kegiatan akbar tahunan tersebut.

Tribunnews menjadi satu dari 4 media dari Indonesia yang berkesempatan meliput secara langsung konferensi tingkat tinggi yang dihadiri oleh 20 kepala negara itu.

Ada banyak pengalaman suka dan duka yang dirasakan wartawan Tribunnews selama meliput KTT APEC 2024. Satu di antaranya adalah pengalaman menempuh penerbangan puluhan jam dari Jakarta hingga akhirnya sampai di Peru.

Jika ditotal, lama perjalanan dari Jakarta hingga ke Peru bahkan menghabiskan 2 hari penerbangan. Dengan lamanya waktu itu, rombongan awak media harus menenggak obat tidur hingga tidak mandi selama perjalanan.

Kami berangkat lebih dahulu dibandingkan Presiden Prabowo pada 9 November 2024 malam. Keberangkatan dimulai dari Bandar Udara Internasional Soekarno Hatta menuju Bandar Udara Internasional Doha, Qatar. 

Perjalanan itu memakai maskapai Garuda Indonesia dengan menempuh waktu selama 8 jam penerbangan. Karena berangkat malam, kami tidak begitu sulit untuk melewati waktu tersebut.

Namun, kami harus menunggu transit selama 8 jam di Bandar Internasional Hamad, Doha, Qatar. Di sana, saya dan dua rekan sesama jurnalis mengisi waktu dengan berkeliling dengan megahnya bandara yang disebut nomor satu dunia.

Wajar saja, bandaranya memang cukup berbeda dengan bandara yang ada di Indonesia. Bandaranya sangat luas dengan 600.000 m2 atau lebih besar 30 persen dari bandara internasional Soekarno-Hatta, Tangerang, Banten.

Kedatangan kami langsung disambut kios barang-barang branded yang berjejer di sepanjang terminal tunggu maupun keberangkatan. Di sisi kanan dan kiri juga berderet kios restoran premium yang tak bisa dibeli pegawai gaji UMR di Indonesia.

Belum lagi adanya hutan tropis buatan yang berada di tengah bandara tersebut. Saya dan rekan jurnalis yang tidak sanggup untuk mengeksplore seluruh isi bandara itu memilih tidur di kursi panjang di tempat tersebut.

"Enggak salah ini jadi bandara nomor satu dunia," ucap Yakub yang juga jurnalis dari Media Indonesia yang turut serta dalam rombongan tim media KTT APEC 2024.

Waktu pun tidak terasa sudah menunjukkan waktu untuk boarding masuk pesawat. Kali ini, rombongan memakai pesawat Qatar Airways untuk membawa dari Qatar menuju Bandar Udara Internasional Sao Paulo, Brasil.

Kali ini, waktu tempuh menuju bandara itu selama 15 jam. Berbeda dari sebelumnya, kali ini rasa bosan cukup bisa kami rasakan karena berangkat pada matahari terbit.

Bahkan, saya dan satu rekan saya harus menenggak obat tidur yang sudah disiapkan untuk mengantisipasi perjalanan yang panjang. Namun sialnya, obat itu hanya bisa bereaksi di tubuh kami pada keberangkatan 5 jam pertama saja.

Kami terbangun lantaran pramugari menawarkan makanan sebagai menu sarapan pagi. Tawarannya hanya dua, menu dengan hidangan nasi dan ayam dengan bumbu rempah atau pasta.

Saya dan rekan lainnya seolah satu pemikiran yaitu memilih tawaran nasi dan ayam. Seperti keinginan masyarakat Indonesia pada umumnya 'kalau tidak ada nasi, seperti tidak makan'.

Setelah itu, rombongan kami mengisi waktu dengan menonton film yang sudah diunduh dari rumah hingga saling ngobrol satu sama lainnya. Kami saling berbicara hingga kehabisan topik apa yang harus dibicarakan lagi.

Saya dan rekan saya berupaya untuk berbicara dengan warga negara asing untuk mengisi kebosenan, namun mereka tampaknya tidak terlalu 'welcome'. Rupanya, banyak orang barat lebih memilih mengisi waktu di pesawat dengan bekerja.

Di saat kami asyik ngobrol, mereka terlihat sibuk dengan gawainya mengerjakan sesuatu. Sesekali, mereka tidak sengaja tertidur di depan gawainya yang masih menyala.

Waktu yang terasa lama itu akhirnya pun tiba. Kami senang seusai mendengar pengumuman dari pramugari bahwa pesawat telah tiba di Bandar Udara Internasional Sao Paulo Brasil. 

Bukan tanpa sebab, badan kami sudah capek harus tidur dengan posisi tegap selama 15 jam. Ini merupakan kali pertama saya dan rekan wartawan lain menempuh perjalanan hingga belasan jam di dalam pesawat.

Berbeda dengan bandara Doha, tidak ada yang spesial dari bandara ini. Bahkan, kami enggan untuk mengabadikan foto karena menilai bandara Soekarno Hatta masih jauh lebih bagus dibandingkan ini 

Di sana, waktu transit rombongan kami  juga tidak terlalu lama. Para jurnalis hanya transit selama 2 jam saja sebelum akhirnya masuk kembali ke dalam pesawat yang telah membuat kami sedikit tersiksa.

Berbeda dengan sebelumnya, kali ini kami memakai maskapai Latam dari Brasil menuju Bandar Udara Internasional Jorge Chaves, Peru. Waktu tempuhnya hanya 5 jam.

"Mudahlah kali ini, kita sebelumnya udah lewatin yang 15 jam," celoteh singkat Yakub.

Selama perjalanan itu, benar saja rombongan awak media sudah tidak terasa sampai di bandar udara Jorge Chaves pada 11 November 2024 malam. Dengan begitu, total awak media menempuh perjalanan selama 39 jam. 

Setibanya di Peru, kami sempat mengabadikan foto di dekat bandara sebelum menuju penginapan di kawasan pusat bisnis Isidro, Swissotel, Lima. Hotel itu merupakan lokasi yang sama dengan tempat menginap yang sama ditempati Presiden Prabowo.

Berbeda dengan keberangkatan, saya dan rekan media lainnya mendapatkan kini jalur yang berbeda. Pasalnya, tiket yang dipesan dengan memakai maskapai jauh lebih murah yakni KLM Royal Dutch.

Sama dengan keberangkatan, kami duduk di bagian kursi penumpang kelas ekonomi. Yang berbeda, kami tidak banyak mendapatkan fasilitas yang didapatkan saat berangkat memakai pesawat Qatar Airways.

Di sana, menu entertainment yang ada di kursi penumpang tidak lengkap. Penumpang hanya disediakan satu headset kecil, bantal ukuran kecil dan selimut.

Namun, kami tidak masalah karena keberangkatan dimulai malam hari. Dengan begitu, penumpang bisa mengisi penerbangan selama 15 jam itu dengan tertidur.

Saya memilih sengaja untuk tidak makan malam agar tidur saya tidak diganggu oleh pramugari. Caranya, saya meminta rekan yang duduk di sebelah untuk bisa memberitahu ke pramugari.

Cara itu rupanya berhasil lantaran saya terbangun dari tidur hanya tinggal 2 jam lagi sampai di Bandar Udara Internasional Schiphol, Amsterdam, Belanda. Sisanya, saya memilih menonton film bioskop yang belum pernah ditonton di Indonesia.

Setibanya di Schipol, kami sempat berjalan keluar bandara untuk berfoto dan berbelanja oleh-oleh karena waktu transit selama 7 jam. Namun, saya dan rekan lain hampir terlambat karena keasyikan menjelajah di sekitar bandara.

Maklum saja, kami semuanya baru pertama kali menginjakan kaki di negara kincir angin tersebut. Kami bergegas kembali menuju masuk ke dalam imigrasi hingga menuju terminal keberangkatan.

Di sana, kami menumpangi maskapai yang sama dengan ciri khasnya berwarna biru muda. Kali ini, perjalanan dari Belanda menuju Bandara Internasional Kuala Lumpur ditempuh dalam waktu 12 jam.

Kali ini, saya dan rekan jurnalis melakukan rutinitas seperti biasa dengan meminum obat tidur untuk setiap penerbangan di atas 10 jam. Kami meminum obat itu tanpa tahu efek sampingnya.

Benar saja, saya mengalami kulit yang gatal-gatal setibanya di Bandara Kuala Lumpur. Bentol-bentol berwarna merah terlihat di sebagian kaki dan badan. 

Namun, semua bisa teratasi dengan mengoleskan minyak angin. Kami pun kembali melanjutkan penerbangan karena transit di Malaysia hanya 30 menit untuk mengisi bahan bakar pesawat.

Setelah itu, rombongan kembali menuju bandara Soetta dengan menempuh 2 jam perjalanan. Tidak ada hambatan dari perjalanan itu karena perjalanan sebelumnya lebih panjang dan menguras tenaga.

Editor: Erik S

Tag:  #kisah #menempuh #perjalanan #meliput #apec #2024 #peru #harus #konsumsi #obat #tidur

KOMENTAR