Sidang MK, Dosen UGM Sebut Ketentuan Presidential Threshold 20 Persen Tidak Rasional
Gedung Mahkamah Konstitusi. 
22:27
13 November 2024

Sidang MK, Dosen UGM Sebut Ketentuan Presidential Threshold 20 Persen Tidak Rasional

- Dosen Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yance Arizona, menjelaskan ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden (presidential threshold) tidak lagi sesuai dengan prinsip kebijakan hukum terbuka.

Pernyataan ini disampaikan dalam sidang uji materiil Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu) yang digelar di Ruang Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta, Rabu (13/11/2024).

Dalam sidang tersebut, Yance yang hadir sebagai pemohon pada perkara nomor 62/PUU-XXII/2024 menjelaskan MK sebelumnya telah menetapkan 11 kriteria kebijakan hukum terbuka.

Kriteria tersebut mencakup prinsip tidak melanggar moralitas, rasionalitas, dan tidak menimbulkan ketidakadilan intolerable.

Yance menilai ketentuan ambang batas pencalonan presiden yang ada saat ini bertentangan dengan prinsip-prinsip tersebut.

Yance lantas mengutip Putusan Nomor 116/PUU-XXI/2003 yang menguji ketentuan parliamentary threshold, di mana MK menilai ambang batas 4 persen yang ditetapkan tidak didasarkan pada metode atau argumen yang dapat dibuktikan secara memadai.

Akibatnya, ketentuan tersebut menyebabkan disproporsionalitas suara dalam sistem pemilu proporsional, di mana banyak suara pemilih yang tidak dapat dikonversi menjadi kursi sehingga mencederai prinsip kedaulatan rakyat.


"Misalkan dalam Putusan Nomor 116/PUU-XXI/2003 terkait dengan pengujian ketentuan parliamentary threshold, mahkamah menilai bahwa penentuan parliamentary threshold 4 persen disusun tidak berdasarkan pada metode dan argumen yang memadai dapat dibuktikan," ujarnya.

"Dan ketentuan parliamentary threshold juga menimbulkan disproporsional suara di tengah penerapan sistem pemilu proporsional," lanjut dia.

Lebih lanjut, Yance juga mengkritisi ketentuan presidential threshold yang mengharuskan pencalonan presiden dan wakil presiden memenuhi ambang batas 20 persen jumlah kursi atau 25 persen suara sah.

Yance menilai ketentuan ini tidak rasional dan menimbulkan pertanyaan tentang kesesuaiannya untuk membangun sistem presidensial yang efektif.

Yance juga mencontohkan Putusan MK Nomor 60/PUU-2022 yang mengubah ambang batas pencalonan kepala daerah, di mana MK menilai ketentuan tersebut tidak sesuai dengan prinsip pemilihan yang demokratis.

Ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden yang berdasarkan hasil pemilu sebelumnya, dianggap menghilangkan hak partai politik baru yang juga ikut serta dalam pemilu legislatif serentak dengan pilpres.

“Ketentuan ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden, yang didasarkan pada hasil pemilu sebelumnya, juga dianggap menghilangkan hak partai politik baru yang menjadi peserta pemilu legislatif serentak dengan Pilpres,” tutur Yance.

Sebagai informasi, sidang kali ini membahas tiga perkara, yaitu Perkara Nomor 62/PUU-XXII/2024, 87/PUU-XXII/2024, dan 101/PUU-XXII/2024.

Dalam perkara Nomor 62/PUU-XXII/2024, pemohon yang terdiri dari Enika Maya Oktavia dan kawan-kawan, mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga, menyatakan bahwa mereka mengalami kerugian konstitusional akibat adanya ketentuan presidential threshold dalam UU Pemilu. Mereka berpendapat aturan ini membatasi hak mereka untuk memilih presiden yang sesuai dengan preferensi politik mereka.

Sementara itu, pemohon dalam Perkara Nomor 87/PUU-XXII/2024, yang terdiri dari empat dosen dan penggiat pemilu, termasuk mantan Ketua Bawaslu Muhammad, berargumen ambang batas pencalonan presiden hanya menguntungkan elit pemilu yang memiliki persentase tinggi dalam pemilu sebelumnya. Hal ini dianggap menutup akses bagi partai politik dengan persentase rendah yang tidak ingin berkoalisi.

Sedangkan pemohon dalam Perkara Nomor 101/PUU-XXII/2024, yang diwakili oleh Yayasan Jaringan Demokrasi dan Pemilu Berintegritas (Netgrit) dan Titi Anggraini, menyatakan bahwa penerapan presidential threshold tidak sesuai dengan tujuan semula dan berdampak negatif pada sistem presidensial, yang bertentangan dengan UUD 1945.

Dalam permohonannya, para pemohon meminta MK untuk memaknai Pasal 222 UU Pemilu agar pencalonan presiden dapat diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik dengan ketentuan tertentu.

Mereka juga mengusulkan agar Pasal 222 UU Pemilu diberlakukan dengan perubahan pada Pemilu 2029 dan seterusnya, dengan ambang batas yang lebih fleksibel untuk memperluas akses bagi partai politik baru.

Editor: Adi Suhendi

Tag:  #sidang #dosen #sebut #ketentuan #presidential #threshold #persen #tidak #rasional

KOMENTAR