Bencana Ekologis dan Tradisi Menyanyikan ''Indonesia Raya''
Suasana perkotaan Aceh Tamiang pascabanjir bandang di Aceh Tamiang, Aceh, Kamis (4/12/2025). Berdasarkan data Posko Komando Tanggap Darurat Bencana Hidrometeorologi Aceh pada Selasa (2/12) sebanyak 1.452.185 jiwa terdampak bencana hidrometeorologi yang melanda 3.310 desa di 18 kabupaten/kota di Provinsi Aceh. ANTARA FOTO/Bayu Pratama S/tom.(BAYU PRATAMA S)
08:06
24 Desember 2025

Bencana Ekologis dan Tradisi Menyanyikan ''Indonesia Raya''

BENCANA ekologis (bukan sekadar bencana alam, melainkan ada kontribusi manusia) yang menimpa Aceh dan Sumatera sudah seharusnya membawa kita (bangsa Indonesia) untuk merenungi.

Sudah seharusnya ada refleksi, evaluasi yang sungguh-sungguh dengan kesadaran penuh, guna menemukan perubahan/pembaruan yang substantif dan wajib ditindaklanjuti.

Sudah seharusnya kita meruat diri, atau meminjam istilah Arnold van Gennep, memasuki ruang liminal.

Melalui tulisan ini, saya hendak merenungi satu aspek ritual bernegara, yakni tradisi menyanyikan lagu kebangsaan “Indonesia Raya”. Adakah yang perlu dikritik?

Sebagaimana diketahui, lagu kebangsaan gubahan WR. Soepratman itu sudah lazim dinyanyikan hanya satu stanza, stanza pertama.

Dua stanza yang lain sangat jarang dinyanyikan. Bahkan, tak sedikit yang tidak tahu bahwa “Indonesia Raya” sejatinya terdiri atas tiga stanza.

Kesan yang saya tangkap, alasannya butuh waktu yang lama, tidak praktis, tidak efisien, dan sejenisnya. Memang tidak ada kewajiban menyanyikan penuh tiga stanza. Yang wajib, menyanyikan stanza pertama, sebagaimana selama ini.

Padahal, bila “Indonesia Raya’ itu dinyanyikan lengkap tiga stanza hanya butuh waktu 4,28 menit. Hampir sama dengan kebiasaan menyapa para hadirin dalam pidato-pidato resmi.

Persoalan itu sepertinya sepele, tak signifikan dalam urusan bernegara. Tak ada sangkut-pautnya dengan bencana ekologis yang meluluhlantakkan Aceh dan Sumatera.

Tak ada urusan dengan situasi dan kondisi Indonesia yang oleh Presiden Prabowo Subianto disebut “paradoks Indonesia”, negeri kaya raya, tapi rakyatnya miskin.

Tak berhubungan dengan krisis integritas kepemimpinan, di antaranya ditandai oleh semakin banyak penyelenggara negara ditangkap penegak hukum, bahkan di kalangan penegak hukum sendiri.

Penguatan identitas kebangsaan

Jangan sepelekan “Indonesia Raya”, yang sejatinya tiga stanza, tapi sering hanya stanza pertama yang dinyanyikan. Menyanyikannya secara utuh sesungguhnya merupakan penguatan identitas kebangsaan.

Sejak awal “Indonesia Raya” digubah sebagai identitas kebangsaan yang berbasis pada kristalisasi historis masyarakat jajahan. Tentu saja bukan sembarang ditulis.

“Indonesia Raya” mewakili gagasan kebangsaan Indonesia dalam bahasa puisi. Mewadahi alasan-alasan historis dan fundamental, serta menuntun arahnya.

Kata WR. Soepratman, “bangunlah jiwanya, bangunlah badannya”. Sangat jelas klausa tersebut berisi strategi pembangunan yang semestinya dijalankan pada pascakemerdekaan.

Pembangunan badan (ekonomi, infrastruktur dan sejenisnya) mestilah didahului pembangunan jiwa (karakter). Kata Bung Karno, investasi material dan skill tanpa investasi mental hanya melanggengkan penjajahan.

“Indonesia Raya” juga merefleksikan modal bangsa Indonesia untuk menjadi “raya”. Saya kira, bukan tanpa alasan WR. Soepratman melekatkan atribut “raya”. Tanpa modal yang masuk akal, mustahil status “raya” akan disandang bangsa Indonesia.

Mari kita simak dua stanza yang sangat jarang dinyanyikan. Isinya sungguh menggambarkan modal yang kita miliki dan dipersyaratkan untuk mencapai status “raya”.

Stanza 2:
Indonesia tanah yang mulia, tanah kita yang kaya
Di sanalah aku berdiri untuk selama-lamanya
Indonesia tanah pusaka, p'saka kita semuanya
Marilah kita mendoa Indonesia bahagia

Suburlah tanahnya, suburlah jiwanya
Bangsanya, rakyatnya, semuanya
Sadarlah hatinya, sadarlah budinya
Untuk Indonesia Raya

Stanza 3:
Indonesia tanah yang suci, tanah kita yang sakti
Di sanalah aku berdiri 'njaga ibu sejati
Indonesia tanah berseri, tanah yang aku sayangi
Marilah kita berjanji Indonesia abadi

Selamatlah rakyatnya, selamatlah putranya
Pulaunya, lautnya, semuanya
Majulah negerinya, majulah pandunya
Untuk Indonesia Raya

Jelas sekali “Indonesia Raya” sebagai identitas kebangsaan merupakan produk kecerdasan para pendiri bangsa, buah pemikiran yang sangat matang dan visioner.

Mengapa Indonesia disebut tanah yang mulia, tanah yang kaya? Yudi Latif dalam karya terbarunya yang berjudul Apa Jadinya Dunia Tanpa Indonesia? (2025) menunjukkan kemuliaan dan kekayaan Indonesia yang signifikan bagi dunia.

Yudi Latif menyebutnya “cerlang Nusantara”. Mulai dari geologi, geografi, oseanografi, sumber daya mineral, keanekaragaman hayati hingga hutan tropis dan keindahan alam.

Dari paleoantropologi, arkeologi, peradaban maritim, hingga manusianya dengan kerajaan agung dan produk budayanya.

Kemuliaan dan kekayaan itu dilukiskan Pramoedya Ananta Toer dalam novel yang berjudul Arus Balik sebagai kekuatan (arus) bumi bagian Selatan yang mengalir ke bumi bagian Utara.

Karena kemuliaan dan kekayaan itu, kita menganggapnya sebagai “tanah pusaka”. Ada perikatan yang sangat mendalam antara tanah dan komunitas, yang membuat tanah itu diberi bobot keramat (fetish) yang harus dirawat, diselamatkan, dilestarikan, bila perlu dengan taruhan nyawa.

Karena itu, sungguh masuk akal bila kita harus berdiri di wilayah Indonesia untuk selama-lamanya.

Lalu, mengapa Indonesia disebut tanah yang suci, tanah yang sakti? Di mana kesucian dan kesaktiannya?

Kata “suci” dan “sakti” dari sudut oposisi biner menempati posisi sakral. Dua kata itu sering dipakai pada sesuatu yang bersifat adikodrati (supernatural), hal-hal gaib, spiritualitas.

Apakah tanah Indonesia memiliki sifat-sifat sakral? Meski tidak eksplisit, buku Yudi Latif yang berjudul Apa Jadinya Dunia Tanpa Indonesia? (2025) menjawabnya. Kata Yudi Latif, dunia tak berdenyut tanpa tanah Indonesia.

Karena sifat adikodrati itu Indonesia memperoleh sinar matahari secara penuh dalam jumlah yang berimbang antara siang dan malam.

Cuaca juga tidak ekstrem. Panas tidak terlalu, dingin pun tidak terlalu. Indonesia adalah anugrah Ilahi yang patut disyukuri.

Namun, di balik itu, sifat adikodrati menuntut kita memiliki kepekaan (kearifan), karena potensi Indonesia sangat rawan bencana alam.

Kita hidup di atas cincin api bumi. Tanpa berbuat apapun (diam saja) terhadap alam, hidup kita dikelilingi bencana alam. Apalagi bila berbuat dengan menentang kaidah alam.

Maka, sangat masuk akal stanza ketiga menyerukan agar bangsa Indonesia berdiri menjaga “ibu sejati”, yang tak lain adalah kosmos yang menghidupi kita.

Menjaga agar kosmos itu terus-menerus menebarkan kemakmuran dan keselamatan secara berkeadilan bagi seluruh rakyat Indonesia. Bukan sebaliknya, malah memperkosa “ibu sejati”.

Potensi bencana alam yang sudah besar diperparah oleh tata kelola alam yang kontraproduktif, sehingga ancaman bencana berlipat ganda.

Kita harus membawa bencana Aceh dan Sumatera sebagai refleksi, catatan kritis, bahwa pertumbuhan ekonomi tidak membuahkan manfaat bagi orang banyak bila dilakukan dengan memperkosa “ibu sejati”.

Ujungnya adalah bencana ekologis, yang dampaknya sungguh mengerikan, tak sebanding dengan nilai ekonomisnya. Banjir bandang di Aceh dan Sumatera adalah buah pemerkosaan terhadap “ibu sejati”, alarm bagi daerah lain di Indonesia.

Pesan sakral

Karena itu, “Indonesia Raya” bisa dikategorikan lagu sakral, penuh pesan sakral. Tak sembarangan dinyanyikan. Ada proses mentalitas yang kompleks, melibatkan berbagai aspek kognitif, emosional, dan spiritual.

Liriknya kaya simbolisme dan metafora. Dibutuhkan proses mental yang melibatkan penafsiran dan internalisasi makna-makna simbolis, menghubungkan teks dengan pengalaman dan keyakinan, bahkan pandangan dunia. Bukan sekadar pribadi, melainkan komunitas kebangsaan.

Dengan demikian, kita menginternalisasi pesan sakral “Indonesia Raya” ke dalam sistem kognitif, nilai, dan tindakan.

Demikian juga bila dibaca melalui perspektif Walter J. Ong. Lagu “Indonesia Raya” selalu dinyanyikan secara bersama.

Kata Ong, suara (tradisi lisan) memiliki kekuatan yang signifikan dalam berbagai aspek kehidupan manusia, terutama kemampuan mengikat orang secara bersama, memperkuat rasa kebersamaan, identitas, dan solidaritas.

Saatnya kita membiasakan menyanyikan “Indonesia Raya” secara penuh tiga stanza. Agar kita juga mendoa untuk Indonesia bahagia. Bukan hanya berseru untuk Indonesia bersatu.

Agar kita juga berjanji untuk Indonesia abadi. Berjanji menyelamatkan rakyatnya, pulaunya, lautnya, hutannya, dan kekayaan alam lain, demi Indonesia yang maju dan berkeadilan sosial.

Tag:  #bencana #ekologis #tradisi #menyanyikan #indonesia #raya

KOMENTAR