OTT Kepala Daerah dan Patologi Demokrasi Lokal
GELOMBANG Operasi Tangkap Tangan (OTT) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap kepala daerah—yang jumlahnya telah mencapai enam orang dalam satu periode pemerintahan—layak dibaca lebih dari sekadar peristiwa penegakan hukum.
Hal ini membuat keprihatinan kita semua terhadap sosok tampilan yang buruk dari kepala daerah.
Ia merupakan sinyal penting tentang persoalan mendasar dalam praktik demokrasi lokal. Ketika pola penindakan berulang menimpa aktor jabatan yang sama, yakni kepala daerah hasil Pilkada langsung.
Maka yang dipertanyakan bukan hanya individu pelaku, melainkan juga konteks sistemik yang melingkupinya.
Fenomena ini tidak memadai dijelaskan semata-mata sebagai kemerosotan integritas personal.
Dalam perspektif teori politik dan administrasi publik, berulangnya OTT mencerminkan patologi demokrasi lokal: prosedur demokrasi berlangsung, tetapi tata kelola kekuasaan dan etika publik justru mengalami erosi.
Dalam kerangka relasi principal–agent, pemilih bertindak sebagai pemberi mandat, sementara kepala daerah berperan sebagai penerima mandat.
Idealnya, mandat tersebut dijalankan untuk kepentingan publik. Namun dalam praktik Pilkada, relasi ini kerap mengalami distorsi.
Kepala daerah tidak sepenuhnya bertumpu pada akuntabilitas kepada warga, melainkan pada aktor-aktor yang menopang proses elektoral—partai politik, penyandang dana, dan jejaring kepentingan di tingkat lokal.
Distorsi ini berimplikasi pada pergeseran orientasi kekuasaan. Loyalitas politik tidak sepenuhnya diarahkan pada kepentingan publik, melainkan pada pemenuhan kewajiban politik pascapemilihan.
Pola kasus OTT yang relatif seragam—mulai dari suap proyek hingga transaksi perizinan—menunjukkan bahwa penyalahgunaan kewenangan bukan peristiwa insidental, melainkan konsekuensi dari relasi mandat yang tidak sehat.
Di sisi lain, pemilih memiliki ruang terbatas untuk melakukan koreksi di luar siklus elektoral lima tahunan.
Persoalan tersebut semakin terang jika dibaca melalui perspektif biaya politik. Pilkada langsung di Indonesia berlangsung dalam konteks demokrasi berbiaya tinggi.
Biaya kampanye, logistik politik, serta kontribusi kepada partai pengusung menciptakan beban finansial yang kerap tidak sebanding dengan kapasitas ekonomi kandidat.
Dalam situasi demikian, jabatan publik berisiko dipersepsikan sebagai sarana untuk memulihkan ongkos politik.
Korupsi kemudian hadir bukan semata sebagai pelanggaran etika, melainkan sebagai mekanisme rasionalisasi dalam sistem yang mahal dan longgar pengawasan.
OTT KPK, dalam konteks ini, adalah manifestasi dari sistem yang menormalisasi beban politik tanpa diimbangi pengendalian yang efektif. Ketika biaya masuk kekuasaan terlalu tinggi, maka risiko penyimpangan menjadi bagian dari struktur, bukan sekadar pilihan individual.
Dari sudut pandang kelembagaan, persoalan ini diperparah oleh lemahnya fungsi pengawasan di tingkat daerah.
DPRD belum sepenuhnya menjalankan peran kontrol secara efektif. Aparat pengawas internal pemerintah daerah menghadapi keterbatasan independensi.
Sementara itu, partai politik cenderung mengakhiri fungsi pengendalian etika setelah calon yang diusung memenangkan Pilkada. Dalam ruang kosong inilah KPK mengambil peran sentral melalui penindakan.
Namun, penindakan yang menonjol tanpa penguatan pencegahan struktural menyimpan keterbatasan. OTT memang menghadirkan efek kejut, tetapi belum tentu menghasilkan perubahan perilaku jangka panjang.
Bahkan, frekuensi OTT yang tinggi dapat dibaca sebagai indikator bahwa sistem pencegahan belum bekerja sebagaimana mestinya.
Apakah kondisi ini berarti Pilkada langsung perlu dipersoalkan secara prinsipil? Tidak sesederhana itu.
Pemilihan langsung merupakan instrumen penting untuk memperkuat legitimasi dan kedekatan antara pemimpin dan warga. Persoalannya terletak pada arsitektur tata kelola yang belum sepenuhnya menopang praktik tersebut.
Pilkada dijalankan tanpa pembenahan serius terhadap pendanaan politik, mekanisme rekrutmen dan kaderisasi partai, serta sistem pengawasan pascapemilihan.
Akibatnya, demokrasi berjalan secara prosedural, tetapi rapuh secara substantif. Kepala daerah memperoleh legitimasi elektoral, tapi beroperasi dalam lingkungan institusional yang miskin kontrol etika.
Dalam kerangka ini, OTT kepala daerah seharusnya dipahami sebagai indikator kegagalan sistem, bukan solusi akhir. Ia menandai absennya ekosistem politik yang mampu mencegah penyimpangan sejak awal.
Tanpa koreksi struktural, pola yang sama berpotensi terus berulang: kontestasi elektoral yang mahal, praktik kekuasaan transaksional, dan penegakan hukum yang bekerja setelah kerusakan terjadi.
Pada akhirnya, persoalan yang dihadapi bukan hanya krisis integritas individu, melainkan krisis desain demokrasi lokal.
Demokrasi yang mahal dan minim pengawasan berisiko kehilangan makna substantifnya. Ia tetap berjalan secara prosedural, tetapi menjauh dari tujuan dasarnya: menghadirkan kepemimpinan daerah yang akuntabel dan berorientasi pada kepentingan publik.
Dalam konteks ini, pertanyaan mendasarnya bukan lagi siapa yang terjerat OTT, melainkan mengapa sistem terus mereproduksi kerentanan yang sama.
Tanpa keberanian melakukan pembenahan mendasar, demokrasi lokal akan terus bergerak, tetapi tanpa arah yang jelas.