Ketika Kekuasaan Berbicara dengan Bahasa Ibu
Hasil Poster Hari Ibu Tema Watercolor Generated AI(Google Gemini AI/Irna Aulia)
11:42
22 Desember 2025

Ketika Kekuasaan Berbicara dengan Bahasa Ibu

HARI Ibu kerap dirayakan dengan nuansa lembut dan simbolik, seperti bunga, puisi, dan ungkapan terima kasih atas kesabaran perempuan.

Namun di balik perayaan itu, ada pertanyaan yang jauh lebih fundamental dan menentukan arah masa depan bangsa, tapi jarang ditanyakan.

Pertanyaan itu, apakah kekuasaan di negeri ini telah belajar berbicara dengan bahasa ibu, yaitu bahasa yang dipahami masyarakat, peka terhadap ketidakadilan sosial, dan hadir dalam pengalaman hidup sehari-hari?

Yang kita tau, selama ini bahasa kekuasaan identik dengan jargon kebijakan, indikator makro-ekonomi, dan target pertumbuhan.

Memang benar, bahasa ini penting bagi tata kelola negara dan lebih objektif untuk dijadikan indikator pelaksaan. 

Namun, bahasa ini sering kali terasa jauh dari realitas keluarga Indonesia. Sebab bagi jutaan rumah tangga, kebijakan negara tidak dibaca dalam pidato resmi atau dokumen anggaran.

Ia diterjemahkan secara objektif di dapur rumah, di meja makan anak, di ruang kelas sekolah, dan di ruang tunggu puskesmas. Di sanalah kebijakan diuji, apakah ia benar-benar bekerja, atau sekadar terdengar baik?

Bahasa Ibu

Dalam konteks itulah bahasa ibu menemukan maknanya. Ia bukan sekadar metafora keibuan biologis, melainkan etika politik, atau cara kekuasaan hadir dengan empati, perawatan, dan tanggung jawab atas kerentanan sosial.

Dalam teori politik kontemporer, gagasan ini sejalan dengan konsep “ethics of care” yang dikembangkan oleh Carol Gilligan (1982) dan kemudian diperdalam oleh Joan Tronto (1993).

Pendekatan ini mengkritik rasionalitas politik yang cenderung maskulin, yang terlalu menekankan kontrol, kompetisi, dan efisiensi, tapi kerap mengabaikan relasi sosial, ketergantungan antarmanusia, serta kerentanan yang nyata dalam kehidupan sehari-hari.

Dalam kerangka ini, kekuasaan yang “berbahasa ibu” bukanlah kekuasaan yang sekadar fasih berbicara melalui angka, indikator, dan prosedur administratif, melainkan kekuasaan yang peka terhadap luka sosial dan pengalaman hidup warga.

Negara yang dewasa, dalam tradisi ethics of care, bukan hanya negara yang mampu memerintah dan mengatur, tetapi yang sanggup merawat relasi sosial, sehingga keadilan tidak berhenti sebagai konsep normatif, melainkan benar-benar dirasakan dalam praktik kehidupan bersama.

Dalam kerangka itu, Indonesia adalah negara yang sangat bergantung pada kerja perawatan, dan mayoritas kerja itu ditanggung oleh perempuan.

Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa tingkat partisipasi angkatan kerja perempuan masih tertinggal signifikan dibanding laki-laki.

Pada 2023, partisipasi perempuan berada di kisaran 55 persen, sementara laki-laki melampaui 80 persen. Kesenjangan ini bukan semata soal pilihan individual, melainkan refleksi dari beban kerja domestik dan perawatan yang tidak dibagi secara adil.

Lebih jauh, studi SMERU Institute berdasarkan perhitungan data Susenas (meskipun bukan rilis resmi BPS) menunjukkan bahwa perempuan melakukan 3–6 kali lebih banyak pekerjaan perawatan tidak berbayar, seperti mengasuh anak, merawat keluarga, dan mengelola rumah tangga, jauh lebih tinggi dibanding laki-laki.

Padahal, kerja ini menopang stabilitas sosial dan ekonomi, tetapi hampir tidak pernah dihitung dalam Produk Domestik Bruto (PDB). Negara menikmati hasilnya, tetapi jarang mengakuinya sebagai fondasi pembangunan.

Di sinilah bahasa kekuasaan kerap gagal memahami bahasa ibu. Kebijakan dirancang seolah-olah keluarga adalah unit yang selalu stabil, padahal stabilitas itu diproduksi melalui kerja perawatan yang berat, tidak terlihat, dan sering kali menguras energi perempuan.

Hari Ibu seharusnya menjadi momen refleksi, apakah negara telah hadir untuk meringankan beban itu, atau justru menambahnya?

Program Pemerintahan Prabowo

Dalam konteks pemerintahan Presiden Prabowo Subianto, sejumlah program sosial besar layak dibaca sebagai ikhtiar awal negara untuk berbicara lebih dekat dengan bahasa ibu.

Program Makan Bergizi Gratis (MBG), misalnya, secara eksplisit menyasar kebutuhan paling dasar keluarga, seperti gizi anak, ibu hamil, dan kelompok rentan.

Di era ini, negara sepertinya tidak lagi hanya berbicara tentang bonus demografi dan daya saing global, tetapi turun langsung ke meja makan anak-anak Indonesia.

Secara kebijakan, MBG memiliki landasan kuat. Data BPS dan Kementerian Kesehatan menunjukkan bahwa stunting dan malnutrisi masih menjadi masalah struktural, terutama di rumah tangga miskin dan rentan.

Ketika negara memilih intervensi gizi sebagai prioritas, ia sedang mengakui bahwa ketimpangan tidak bisa diselesaikan hanya dengan pertumbuhan ekonomi.

Bahkan dalam banyak kesempatan, Prabowo menyampaikan bahwa keadilan sosial dimulai dari tubuh yang sehat dan gizi yang layak.

Dari perspektif anggaran, komitmen ini juga terlihat. Kementerian Keuangan dalam berbagai dokumen fiskal menegaskan bahwa belanja perlindungan sosial terus meningkat dalam beberapa tahun terakhir, dan menjadi salah satu porsi terbesar APBN.

Anggaran besar ini mencerminkan kesadaran negara bahwa ketahanan nasional tidak bisa dilepaskan dari ketahanan keluarga.

Namun, bahasa ibu tidak hanya menuntut niat baik dan anggaran besar. Ia menuntut kepekaan pada kualitas pelaksanaan.

Tantangan MBG – mulai dari kesiapan dapur, distribusi pangan, hingga pengawasan kualitas – menunjukkan bahwa bahasa kebijakan sering kali lebih cepat daripada kapasitas sistem publik.

Dalam bahasa ibu, keadilan bukan hanya soal “ada program”, tetapi soal rasa aman ketika anak mengonsumsi makanan yang disediakan negara.

Hal serupa berlaku pada Program Cek Kesehatan Gratis (CKG). Akses pemeriksaan kesehatan rutin adalah kebutuhan yang sangat dipahami ibu, terutama dalam konteks pencegahan penyakit.

Data BPS menunjukkan bahwa akses layanan kesehatan masih timpang antarwilayah dan kelompok sosial.

Ketika negara memperluas layanan preventif, ia sedang menggeser paradigma dari mengobati menjadi merawat. Ini adalah bahasa kekuasaan yang lebih dekat dengan logika keluarga.

Namun sekali lagi, bahasa ibu menuntut lebih dari desain kebijakan. Ia menuntut pelayanan yang manusiawi, akses sederhana, dan sistem yang tidak menyalahkan warga ketika prosedur rumit gagal mereka pahami.

Banyak keluarga miskin gagal mengakses layanan bukan karena tidak mau, tetapi karena sistem terlalu rumit untuk realitas hidup mereka.

Upaya memperkuat ekonomi lokal melalui koperasi desa dan program pemberdayaan juga dapat dibaca dalam kerangka yang sama.

Ketika negara mendorong ekonomi berbasis komunitas, ia sesungguhnya mengakui bahwa keluarga dan ibu di dalamnya, adalah unit paling dasar ketahanan ekonomi.

Data Kementerian Keuangan menunjukkan bahwa UMKM dan ekonomi lokal menyerap mayoritas tenaga kerja, termasuk perempuan. Kebijakan yang memperkuat sektor ini berarti memperkuat daya tahan keluarga dari bawah.

Data pemerintah menunjukkan bahwa sektor usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) adalah tulang punggung ekonomi Indonesia.

Berdasarkan statistik terbaru, lebih dari 65,5 juta UMKM telah menyerap sekitar 119 juta tenaga kerja, menjadikan sektor ini sebagai penyerap tenaga kerja terbesar di negeri ini.

Lebih jauh, sekitar 64 persen UMKM dikelola oleh perempuan, yang menunjukkan peran dominan perempuan dalam aktivitas ekonomi lokal dan rumah tangga.

Kontribusi UMKM terhadap perekonomian juga signifikan, yakni sekitar 61 persen Produk Domestik Bruto (PDB), di mana hal ini mempertegas peran ekonomi lokal dalam ketahanan sosial dan ekonomi keluarga di seluruh Indonesia. (Kemenkopmk.go.id)

Refleksi Hari Ibu

Namun, refleksi Hari Ibu menuntut kejujuran yang lebih dalam. Bahasa ibu yang sejati tidak boleh berhenti pada kebijakan karitatif atau simbolik.

Ia harus menjelma dalam cara negara mendengar dan melibatkan pengalaman perempuan dan keluarga dalam proses pengambilan keputusan.

Program besar tanpa partisipasi dan evaluasi yang sensitif berisiko kembali menjadi bahasa kekuasaan yang satu arah.

Di sinilah pentingnya data gender dan anak. Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) selama ini menunjukkan bahwa kerentanan perempuan dan anak sering kali bersifat struktural, berkaitan dengan akses pendidikan, kesehatan, dan ekonomi.

Tanpa data yang peka, kebijakan akan terus berbicara dalam bahasa rata-rata, bukan bahasa mereka yang paling terdampak.

Anggaran responsif gender (ARG) menjadi ujian etis berikutnya. Kementerian Keuangan telah mendorong pengarusutamaan gender dalam penganggaran, tetapi tantangannya adalah memastikan bahwa kebijakan itu benar-benar mengurangi beban kerja perawatan perempuan, bukan sekadar mencantumkan label administratif.

Dalam bahasa ibu, anggaran yang adil adalah anggaran yang terasa meringankan kehidupan sehari-hari.

Pada akhirnya, Hari Ibu mengingatkan bahwa kekuasaan sejati bukan hanya soal kapasitas memerintah, tetapi kemampuan merawat. Negara yang kuat bukan negara yang paling keras berbicara, melainkan yang paling mampu mendengar.

Bahasa ibu bukan bahasa kelemahan, melainkan bahasa kedewasaan politik. Yakni bahasa yang mengakui kerentanan sebagai bagian dari kehidupan bersama, dan menjadikannya dasar keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Jika program-program sosial pemerintahan Prabowo ingin dikenang lebih dari sekadar angka dan proyek, maka ukurannya bukan hanya serapan anggaran atau skala nasional.

Ukurannya adalah pertanyaan sederhana, apakah ibu-ibu di rumah merasa lebih tenang, lebih terbantu, dan lebih dihargai oleh kehadiran negara?

Di sanalah Hari Ibu menemukan makna politiknya yang paling jujur. Bukan sekadar perayaan, melainkan cermin etis bagi kekuasaan.

Karena hanya ketika negara mampu berbicara dengan bahasa ibu, bahasa yang dekat, adil, dan berpihak pada kehidupan, keadilan sosial benar-benar turun dari dokumen negara ke ruang hidup rakyat. 

Selamat merayakan Hari Ibu bagi seluruh rakyat, terutama perempuan Indonesia.

Tag:  #ketika #kekuasaan #berbicara #dengan #bahasa

KOMENTAR