Membangun Ekonomi Sirkular dari Dapur MBG
Dimas Choirul, Bogor
Di sebuah kawasan yang berjarak setengah jam dari pusat Kota Bogor, sebuah dapur gizi berdiri dengan megah dengan ciri khas tembok bercat biru muda. Di sana, puluhan relawan tampak sibuk keluar masuk dapur: ada yang masih memasak, menata lauk, hingga menyiapkan paket makanan untuk didistribusikan.
Dapur tersebut tak hanya sekadar ruang memasak. Ia menjadi titik temu antara perjuangan melawan stunting, kemandirian pangan, dan pengelolaan limbah tanpa sisa.
Dari tempat inilah Jimmy Hantu, panggilan akrabnya, Pembina Yayasan Mutiara Keraton Solo (YMKS) sekaligus mitra Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) Bogor Tamansari Sukamantri, Kabupaten Bogor, memulai langkah sunyi yang kini berdampak pada ribuan anak.
Jauh sebelum terlibat dalam program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang diusung Badan Gizi Nasional (BGN), Jimmy lebih dulu membuka “Rumah Cegah Stunting” secara mandiri. Program itu dimulai pada November 2024 dengan satu prinsip sederhana: anak-anak stunting harus makan bersama, setiap hari, dengan gizi yang terukur.
“Karena sebelumnya saya bagi-bagi telur, beras, dan lain-lain, tapi angka stunting tidak pernah berhasil turun,” ujarnya kepada Jawapos.com, Selasa (16/12).
Pendekatan itu membuahkan hasil cepat. Dalam satu bulan pertama, pria kelahiran Sragen itu menyebut 57 persen anak yang ikut program dinyatakan bebas stunting. Anak-anak tidak hanya menerima bahan pangan, tetapi makanan siap santap yang langsung dikonsumsi bersama.
“Akhirnya, anak-anak stunting itu saya kumpulkan semua setiap hari di tempat kami,” katanya.
Selain gizi, aspek pemantauan tumbuh kembang juga menjadi perhatian. Setiap Sabtu, di sebuah aula miliknya, anak-anak serta balita kembali dikumpulkan untuk penimbangan dan evaluasi. “Kita cek lagi berat badan, tinggi badan, sampai IQ-nya seperti apa,” kata Jimmy. Baginya, pencegahan stunting tidak cukup hanya dengan makan, tetapi juga pendampingan berkelanjutan.
Kolaborasi dengan BGN
Keberhasilan inilah yang kemudian menarik perhatian BGN. Awal Januari 2025, Jimmy diminta membuka dapur SPPG untuk mendukung program andalan Presiden Prabowo Subianto tersebut.
Dari yang semula untuk ibu hamil, ibu menyusui, balita, dan kelompok kekurangan energi kronis (KEK), kini anak sekolah juga menjadi penerima manfaat. “Posyandu dan Ibu Hamil diutamakan. Itu sebenarnya melanjutkan program stunting kami yang dulu, jadi sekali jalan,” kata pria yang pernah bekerja sebagai wartawan di salah satu media nasional tersebut.
Saat ini, terdapat dua dapur SPPG di lokasi tersebut dengan kapasitas produksi masing-masing sekitar 4.000 porsi per harinya. Jumlah itu direncanakan dibagi ke satu dapur lagi—yang belakangan masih tahap pembangunan—agar sesuai aturan terbaru BGN yakni maksimal 3.000 porsi per dapur.
Konsep Zero Waste
Di samping fokus pada pencegahan stunting, yang membuat dapur SPPG ini berbeda dari yang lainnya adalah bukan dari penerima manfaatnya, melainkan cara Jimmy memastikan tidak ada makanan yang terbuang atau sisa limbah dari hasil produksi makanannya.
Limbah makanan yang tidak mengandung lemak diberikan ke ikan, sementara yang berminyak dimanfaatkan untuk pakan unggas seperti bebek, entok, dan kalkun. Daun-daunan diolah menjadi kompos, kayu dimanfaatkan sebagai bahan bakar pabrik tahu miliknya. Sistem ini membuat dapur berjalan tanpa beban limbah. “0 persen. Justru berapa pun limbah saya butuh,” ujarnya.
Pengelolaan limbah tersebut terhubung langsung dengan ekosistem pangan yang menopang program MBG. Jimmy memiliki kebun, kolam ikan, peternakan, hingga pabrik tahu. Dengan ekosistem ini, biaya produksi sedikit bisa ditekan. Meski demikian, Ia juga menggandeng Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) di sekitar untuk menyokong kebutuhan dapurnya.
"Kalau bahasa kerennya Ekonomi Sirkular, tapi kalau saya menyebutkan 'The Real Food Estate," ungkapnya.
Ekosistem dapur SPPG yang dibinanya ini pun memberi dampak sosial lebih luas. Sebanyak 98 persen pekerja berasal dari warga sekitar, dengan rentang usia 18 hingga 50 tahun, termasuk penyandang disabilitas. Seluruhnya digaji, bekerja dengan sistem shift, dan terdaftar BPJS Ketenagakerjaan. “Sekarang anak muda di sini tidak ada yang tawuran atau neko-neko lagi, karena saya kumpulkan semua,” ujarnya.
Dari dapur yang nyaris tanpa sampah itu, Jimmy membuktikan bahwa perang melawan stunting bisa dimulai dari hal paling mendasar makanan yang benar-benar dimakan, lingkungan yang berkelanjutan, dan keberpihakan total pada masa depan anak.