Hustle but Make It Human: Kenapa Gen Z Ingin Terlihat Sukses?
Kalau kalian lagi scroll feed atau slide story, besar kemungkinan kamu pernah ngerasa kayak lagi masuk galeri prestasi.
Daily routine flawless, startup wins, atau posting “first salary” yang penuh caption inspiratif.
Untuk banyak Gen Z, itu bukan sekadar flex, itu cara menunjukan kontrol atas hidup.
Dari obrolan gue sama tiga narasumber Gen Z, yaitu Azahra, Jeje, dan Fawwaz jawabannya tentang kenapa kita pengen “kelihatan sukses” ternyata bukan hitam atau putih, tapi itu adalah campuran antara kebutuhan, ambisi, dan tekanan sistemik yang sering kali nggak nampak.
Buat mereka, sukses bukan cuma soal duit atau jabatan. Muhammad Fawwaz (23) bilang kalau sukses itu kemampuan mengendalikan hidup sendiri. Mulai dari waktu, energi, dan pilihan kerja.
Diajeng alias Jeje (22) menambahkan bahwa sukses buatnya berarti kontrol dan konsistensi, bukti nyatanya adalah ketika dia berhasil mencapai target finansial lewat menabung rutin.
Azahra (22) punya perspektif yang lebih mikro. Katanya, sukses adalah rangkaian target kecil yang tercapai, misalnya berhasil bangun subuh tepat waktu.
Jadi, untuk banyak Gen Z, sukses adalah kumpulan micro-wins yang menandakan progres, bukan sekadar angka saldo rekening.
Motivasi hustle juga campur aduk.
Ketika diminta menilai antara kebutuhan ekonomi dan keinginan validasi, Azahra menempatkan dirinya di tengah, bukan sepenuhnya terdorong oleh ekonomi karena masih mendapat dukungan keluarga, tapi dia merasa perlu bersiap untuk mapan secara finansial after lulus.
Jeje mengakui ambisinya didorong oleh keinginan independensi.
Baginya faktor ekonomi cukup kuat tapi ada juga dorongan untuk membuktikan kapasitas juga.
Berbeda dengan Fawwaz, dia sudah hidup mandiri dan sering mengambil proyek demi biaya hidup dan safety net sebagai anak muda.
Intinya, hustle sering lahir dari kebutuhan nyata sekaligus ambisi untuk punya pilihan, sehingga banyak dari kita memilih mulai lebih awal demi keunggulan kompetitif ketika lulus.
Realitanya, banyak Gen Z memang memegang banyak peran sekaligus.
Jeje bekerja sebagai social media specialist selama sekitar 40 jam per minggu sambil menyelesaikan skripsi yang makan 15-20 jam per minggu, total jamnya mendekati 58-65 jam.
Fawwaz juga juggling antara peran sebagai trainer, project manager, dan kuliah sehingga total jamnya sering 45-55 jam per minggu.
Kalau Azahra lebih berusaha menyeimbangkan freelance editing-nya sekitar 8-12 jam per minggu dengan tuntutan skripsi dan kegiatan kampus.
Kehidupan multi-role ini bikin keliatan produktif, tapi juga jelas meningkatkan risiko burnout.
Di sini media sosial memainkan peran besar dalam bagaimana Gen Z menata citra sukses.
Semua Gen Z di sini sepakat kalau social media adalah semacam “shop window” yang penting untuk reputasi dan peluang kerja.
Namun, yang ditampilkan seringkali adalah versi terbaik.
Contohnya, Jeje jarang mengunggah hari-hari kacau dan memilih menyimpan sisi rapuh untuk circle terdekat.
Fawwaz sering mem-posting video training yang rapi tanpa menampilkan proses begadang sampai jam 3 pagi.
Azahra mengunggah dokumentasi magang bukan sekadar untuk pamer, tapi untuk berbagi informasi, meski dia sadar publik bisa menafsirkan itu sebagai validasi dan pamer.
Burnout bukan mitos, itu nyata dan berulang. Kalau kalian bangun tidur tetap merasa lelah, mood datar, kerja berubah jadi autopilot, dan cenderung menarik diri dari relasi, tandanya kalian lagi burnout.
Cara pulih menurut tiga teman Gen Z yang menurutnya efektif ternyata sesederhana tidur cukup, detoks media sosial, journaling, dan curhat pada satu orang yang dipercaya.
Jeje dan Fawwaz sama-sama menyebutkan bahwa recovery paling efektif bukan sekadar motivasi, melainkan kembali ke kebutuhan dasar tubuh dan ruang aman untuk cerita.
Hustle sering kali bukan sebuah pilihan melainkan kebutuhan, tekanan ekonomi, tanggung jawab keluarga, hingga aturan kampus yang memaksa Gen Z bekerja ekstra.
Azahra ingat betul tugas kampus dan kegiatan asrama yang bikin begadang, bukan karena mau, tapi karena sistem.
Fawwaz sempat nge-highlight perannya lebih besar karena early-career trust sering dinilai dari tampilan, bukan proses.
Dari perspektif kebijakan, para Gen Z setuju bahwa solusi harus datang dari instansi dan brand.
Jika instansi menuntut banyak skill, kompensasi harus sepadan. Magang perlu dibayar, kontrak harus transparan, dan sistem kerja harus menjunjung waktu istirahat.
“Kalau mau minta skill banyak, ya bayar yang bener.” ujar Jeje.
Desain kerja yang human-friendly, jam fleksibel, target jelas, mentorship, dan penghargaan yang adil, akan mengurangi normalisasi hustle 24/7.
Untuk teman-teman Gen Z, jika kalian ingin terlihat sukses itu manusiawi, tapi lakukan dengan cerdas, pakai media sosial sebagai portofolio, tetapkan batas, dan hustle smart, bukan hustle hard.
Ambil satu hal kecil dari tulisan ini dan coba praktikkan sekarang juga untuk set alarm dan tidur lebih awal.
Katanya Gen-Z nggak suka baca, apalagi soal masalah yang rumit. Lewat artikel ini, Kompas.com coba bikin kamu paham dengan bahasa yang mudah.