Tak Ada Garansi Pilkada via DPRD Bisa Lebih Murah dan Lebih Baik
- Ide sejumlah elite politik untuk menghidupkan kembali pilkada tidak langsung berdiri di atas harapan pilkada yang lebih murah dan kepala daerah yang lebih baik.
Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian pernah mengatakan, selain biaya mahal, pilkada dengan pemilihan langsung tidak menjamin hasil kepala daerah yang baik.
"Jadi bahan evaluasi kita ini kira-kira, termasuk evaluasi mengenai mekanisme rekrutmen kepala daerah. Ternyata kan Pilkada langsung enggak harus membuat otomatis kepala daerahnya baik," kata Tito di kantor Kemendagri, Jakarta, Kamis (11/12/2025).
Karena alasan itu juga, Tito sebagai representasi pemerintah menggaungkan wacana pilkada dipilih melalui DPRD.
Dia mengatakan, pilkada lewat DPRD tak dilarang asalkan berlangsung secara demokratis.
Konstitusi juga disebut tak melarang hal tersebut. Sehingga menurut dia, patut untuk dilakukan kajian lebih dalam, apakah perlu pilkada dipilih secara tidak langsung.
Meski menyebut pilkada secara langsung tak menjamin kepala daerah yang baik, Tito juga tidak memberikan jaminan pilkada dipilih DPRD akan lebih baik dari pilkada yang dipilih secara langsung.
Katanya "semua tergantung daripada kepala daerah sendiri integritasnya."
Tak ada garansi bakal lebih murah
Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Siera Tamara menjelaskan bahwa tak ada garansi pilkada yang diselenggarakan lewat DPRD bakal punya biaya lebih murah ketimbang pilkada langsung.
Karena, pemilu pada umumnya mahal bukan karena penyelenggaraan secara langsung.
Biaya tinggi, kata Siera, disebabkan oleh tahap pencalonan yang dilakukan dengan membayar mahar politik kepada partai agar bisa mendapatkan tiket berkontestasi.
"Jadi, biaya yang mahal itu tidak serta-merta berkaitan dengan mekanisme operasionalnya saja, tapi faktor-faktor yang tadi, termasuk juga faktor-faktor lain seperti adanya banyak praktik politik uang yang turut menjadikan biaya ini mahal," katanya kepada Kompas.com, Senin (15/12/2025).
Faktor transaksi di lorong gelap inilah yang ia nilai sebagai masalah utama yang seharusnya dibenahi oleh pembentuk undang-undang.
Memindahkan pemilihan secara langsung ke DPRD tak akan memberikan jaminan biaya yang lebih murah.
Yang diperlukan saat ini, kata Siera, memperkuat penegakan hukum dan pengawasan berjalannya pemilihan kepala daerah.
Karena sejauh ini, belum ada partai yang mendapat sanksi atas transaksi-transaksi gelap yang terjadi di tengah pemilihan kepala daerah.
Selain itu, Siera juga menyoroti prakti politik uang yang terjadi akan tetap terjadi pada pemilihan secara tidak langsung di DPRD.
Hanya saja, proses politik uang akan bergeser dari yang dulunya kepada masyarakat beralih pada para elit politik di DPRD saja.
Pernah terjadi pada Pilkada 2000
Merujuk dua artikel Kompas berjudul ”Politik Uang Pemilihan Kepala Daerah: Anggota Dewan, Kiri-Kanan Oke” (14 Maret 2000) dan ”Politik Uang Pemilihan Kepala Daerah: Kejarlah Calon Gubernur, Uang Kutangkap” (15 Maret 2000), yang diulas kembali dalam liputan bertajuk "Jejak Politik Uang Saat Kepala Daerah Masih Dipilih oleh DPRD" politik uang terjadi saat pilkada melalui DPRD.
Praktik "biaya lain-lain yang merusak moral bangsa" itu digambarkan secara gamblang dalam pemilihan bupati Sukoharjo pada Januari 2000.
Saat itu, hampir semua bakal calon dilaporkan mengeluarkan dana besar untuk mengamankan dukungan fraksi. Sejumlah kandidat disebut menghabiskan hingga Rp 500 juta hanya untuk tahap pencalonan.
Fenomena serupa muncul di Boyolali pada Februari 2000 ketika suara fraksi mayoritas DPRD justru berpindah dalam pemungutan suara.
Rumor yang beredar saat itu menyebutkan harga satu suara anggota DPRD berkisar Rp 50 juta hingga Rp 75 juta, disertai praktik ”karantina” anggota dewan di rumah calon menjelang pemilihan.
Praktik transaksi politik lebih vulgar di Lampung Selatan, dalam proses pemilihan bupati periode 2000–2005, tim sukses calon bupati mendatangi rumah anggota DPRD, menginapkan mereka di hotel, dan memberikan uang tunai dengan nilai bervariasi.
Sejumlah anggota DPRD mengaku menerima uang antara Rp 10 juta hingga Rp 25 juta, bergantung pada posisi mereka sebagai anggota atau pimpinan fraksi.
Praktik politik uang tersebut merebak di berbagai daerah dari tingkat provinsi hingga kabupaten/kota.
Kondisi Pilkada 2000 dikhawatirkan terulang
Hal ini yang disebut peneliti Pusat Studi Konstitusi Universitas Andalas, Beni Kurnia sebagai bentuk tidak adanya jaminan biaya pilkada menjadi lebih murah.
Pasalnya, praktik transaksi di lorong gelap justru akan semakin kuat, seperti yang pernah terjadi pada 25 tahun silam.
"Yang lebih mungkin terjadi adalah pergeseran locus politik uang, dari pemilih rakyat ke elit politik di DPRD. Dalam konteks praktik pemerintahan daerah, transaksi politik semacam ini justru lebih sulit diawasi karena berlangsung dalam ruang tertutup dan dibungkus dalam proses politik internal lembaga perwakilan," katanya.
Dia juga menegaskan, problem mahalnya biaya pilkada tak bisa dikatakan sejalan dengan bentuk pemilihan secara langsung.
Pilkada yang mahal, kata Beni, adalah masalah tata kelola pengawasan politik uang dan transaksi tiket pencalonan oleh partai politik yang selama ini sulit untuk dijatuhi sanksi.
Tak ada jaminan kepala daerah menjadi lebih baik
Pengajar Hukum Pemilu, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Titi Anggraini mengatakan, tak ada jaminan kepala daerah yang dipilih melalui DPRD akan lebih baik dibandingkan pemilihan langsung oleh masyarakat.
Dia justru menilai, pemilihan melalui DPRD justru akan menjadi buah simalakama, menjadikan kepala daerah hanya membeo kepada suara elit politik.
Dalam kondisi ini, suara masyarakat jadi terabaikan, dan figur kepala daerah hanya sebagai simbol yang tersandera oleh kepentingan legislatif.
"Pemilihan melalui DPRD tidak menjamin kepala daerah terbebas dari sandera politik. Justru sebaliknya, kepala daerah berpotensi lebih tunduk pada kepentingan fraksi dan elite DPRD yang memilihnya, sehingga relasi akuntabilitas bergeser dari rakyat kepada segelintir aktor politik," ucapnya.
Pakar pemilihan umum Titi Anggraini saat memberikan keterangan, Senin (28/10/2024).
Dalam konteks ini, Titi menilai wacana menghapus pilkada langsung berisiko menurunkan kualitas demokrasi lokal dan melemahkan akuntabilitas kekuasaan di daerah.
"Alih-alih mundur dari pilkada langsung, agenda reformasi seharusnya difokuskan pada pembenahan pendanaan politik, penguatan pengawasan, dan penegakan hukum agar pilkada benar-benar berjalan sesuai asas-asas pemilu sebagaimana diperintahkan konstitusi," ucapnya.
Tag: #garansi #pilkada #dprd #bisa #lebih #murah #lebih #baik